Berita Nasional Terpercaya

Borok Di Kepala Bono

0

Bernas.id – Di sebuah kamar berukuran 3×4 meter, Bono tidur bersama sembilan temannya yang lain. Mereka berjajar seperti ikan-ikan yang sedang dijemur. Lampu di kamar itu redup cenderung gelap. Hawa pengap mendominasi, membuat penghuninya terlelap dengan hanya memakai kolor dan kaos oblong atau bahkan bertelanjang dada, alih-alih mengenakan setelan baju tidur ataupun jaket dan selimut tebal. Meski hanya beralaskan kasur lantai, nampaknya mereka semua tidur dengan nyenyak. Ada yang tidur tengkurap, menumpangkan kaki ke tubuh temannya, memeluk teman sebelah bagaikan guling, mulut menganga, kaki di kepala kepala di kaki. Hanya Bono yang tidur dengan posisi meringkuk menghadap dinding sambil terus menggaruk kepalanya tanpa ia sadari.

Sudah sejak lama Bono menggaruk-garuk batok kepalanya itu dengan brutal. Teman-temannya banyak yang menjauhi Bono karena takut tertular semisal kepala Bono dipenuhi kutu atau singgat yang menjadi borok.

Sejak tinggal di panti, ia memang jarang memotong rambutnya apalagi menyisir atau melumasinya dengan gel rambut. Sebaliknya, Bono justru memanjangkan rambutnya yang sekarang justru lebih mirip sapu ijuk itu. Tinggal menunggu waktu saja sampai menjadikannya gimbal. Selain itu, rambutnya juga jarang berinteraksi dengan sampo. Hanya sesekali Bono pernah mencuci rambutnya dengan sabun mandi, itupun kalau ia ingat mandi. Dalam seminggu, bisa dihitung berapa kali ia mandi. Meski teman-temannya sering menunjukkan ekspresi tak senang atau melontarkan kritikan sekalipun, Bono tak sakit hati bahkan tak memedulikan itu semua. Baginya, selama ia merasa bahagia dengan apa yang ia lakukan, perkataan orang lain hanyalah dengungan nyamuk yang tak jelas terdengar.

Tiba-tiba saja, tubuh Bono bergerak-gerak tak tenang sebelum akhirnya kedua matanya terbuka. Ia merasakan kantong kemihnya penuh, dan kepalanya masih terasa gatal. Mungkin benar dugaan teman-temannya, ada kutu atau singgat yang bersarang di kepalanya. Yang akhirnya menjadi borok dan membuat kepalanya dipenuhi luka bernanah. Namun, alih-alih merasakan kepalanya berlendir dan berbau, ia justru mengira kepalanya terbebani sesuatu.

Diterangi cahaya bulan purnama yang menelusup masuk ke jendela kamar itu, Bono melirik jam dinding besar yang tergantung di atas pintu. Rupanya masih pukul dua dini hari. Lampu-lampu di kamar lain juga masih belum menyala. Mau tak mau, ia harus tetap melewati tangga dan lorong yang minim penerangan untuk menuju kamar mandi. Karena ia tak mau ketahuan mengompol di tempat saat esok harinya. Namun, pantang bagi Bono membangunkan teman sebelahnya untuk menemani ke kamar mandi. Sekali pun harus berlari, itu lebih baik daripada dikatai cemen atau banci.

Setibanya di kamar mandi, Bono langsung menyalakan keran air di bak dan mengambil posisi kencing sambil berdiri. Tangan kananya menopang alat vital, sementara tangan kirinya terus menggaruk kepalanya yang gatal. Sesekali ia menguap dan memejamkan matanya yang masih terasa berat. Setelah mengguyur sisa-sisa kencingnya ke dalam kloset, tiba-tiba ia mendengar sesuatu bergemerincing jatuh ke lantai. Bono menutup aliran keran lalu memfokuskan perhatiannya ke sumber suara. Diambilnya benda yang jatuh itu lalu ditatapnya lamat-lamat.

?Ini.. Emas? Dari mana?? tanyanya pada diri sendiri.

Bono menggigit benda itu untuk memastikan hipotesisnya. Akan tetapi, giginya malah terasa ngilu setelah melakukan hal itu. Ia juga menggosok-gosokkan benda itu ke punggung tangannya. Konon, cara-cara itu berguna untuk membedakan emas itu asli atau palsu. Seketika, wajah Bono berbinar ketika benda di tangannya itu tidak berubah warna. Namun, lagi-lagi kepalanya terasa gatal. Bono kembali menggaruknya tanpa sadar. Lalu keping-keping emas lainnya mulai berjatuhan di lantai kamar mandi.

?Hahaha. Aku kaya! Aku kaya!?

Bono berteriak saking senangnya. Sebentar kemudian, ia memungut keping-keping itu dan tersadar bahwa hari masih terlampau dini. Ia pun memelankan suaranya sambil masih tertawa-tawa sendiri.

Demi menunggu pagi, Bono memilih untuk tetap terjaga. Ia hanya rebahan sambil mengagumi keping-keping berkilauan itu dalam gelap. Sebelum teman-temannya kembali terjaga, Bono meletakkan keping-keping itu dalam sebuah wadah yang diletakkan di atas almari plastik miliknya. Lagi-lagi, kepalanya terasa gatal. Namun, tentu saja ia menikmatinya.

Esok paginya, Bono bersiap-siap untuk pergi. Alih-alih hanya membasuh muka dan menggosok gigi, ia sengaja mandi pada subuh hari agar tidak perlu mengantre. Rencananya, Bono ingin pergi ke pasar untuk menjual keping-keping emas itu ke tukang jual beli emas pinggir jalan. Sambil berganti pakaian, imajinasinya melayang pada makanan-makanan enak yang sudah lama ia dambakan. Ayam goreng kaefci, bakso isi daging, es campur, kopi starbak, ah banyak sekali. Liurnya hampir berleleran di lantai jika saja teman sekamarnya tidak berdeham. Lalu, Bono ingat kalau ia sudah berdiri terlalu lama di depan cermin milik bersama. Lantas, ia hanya tersenyum canggung dan meminta maaf.

Setibanya di pasar, Bono langsung memarkir motornya di tempat parkir. Ia melepas helmnya dan menyisakan topi kupluk hitam yang tetap menutupi seluruh kepalanya kecuali bagian dahi. Langkahnya mantap mencari tukang jual beli emas yang biasanya mangkal di depan toko emas.

Senyumnya mengembang saat menemukan pak tua yang duduk terkantuk-kantuk di depan etalase kaca kecil dengan tulisan besar-besar yang khas ?BELI EMAS?. Biasanya, orang-orang yang tak punya surat-surat emas secara lengkap memanfaatkannya untuk tetap mendapatkan untung.

Bermodalkan kemampuan negosiasi yang ia pelajari secara otodidak, Bono meyakinkan pak tua itu agar membeli keping-keping emas miliknya dengan harga yang wajar.

?Benar kamu nggak nyuri?? tanya pak tua. Matanya semakin menyipit memandangi keping-keping emas Bono.

?Betul, pak.? Bono menjawab mantap dengan senyum yang dipaksakan. Tangannya tak kuasa tak menggaruk kepala.

?Dapat dari mana kamu?? Pak tua itu makin menyelidik.

?Pokoknya dijamin bukan barang curian, pak. 24 karat itu!? seru Bono lebih meyakinkan.

Sebentar kemudian, pak tua bergantian memandangi Bono dan keping emas di tangannya. Lalu ia mengeluarkan kalkulator yang sama tua dengannya. Namun, tangan keriput itu seolah memiliki nyawanya sendiri. Ia masih cekatan memasukkan angka-angka ke dalam kalkulator.

?Gimana pak??

Pak tua itu kembali menatap Bono bergantian dengan nominal yang muncul di kalkulator. Mata tuanya menyipit agar bisa melihat lebih jelas. Ditatap seperti itu, Bono memaksakan senyum terbaiknya, tentu saja sambil menggaruk kepala.

?Oke, saya beli,? kata pak tua itu pada akhirnya.

Bono tak tahan untuk tak berteriak kegirangan. Sementara tangan kanannya menjulurkan kepal ke udara, tangan kirinya masih menggaruk kepala.

Setelah peristiwa itu, Bono selalu bisa punya banyak uang. Tiap kali keping-keping emas yang berjatuhan itu ia jual pada pak tua, maka sebagai gantinya ia akan mendapatkan uang berwarna merah dan biru yang banyak sekali.

Akhirnya, Bono pun menjadi orang yang jor-joran dan sering membeli apa saja. Mulai dari makanan, pakaian, sepatu, topi, dan barang-barang tak berguna lainnya. Bahkan, ia juga sering mentraktir teman-temannya makan atau membelikan mereka barang-barang. Saat mereka bertanya dari mana Bono mendapatkan uang, ia memilih tak menjawab dan hanya tertawa puas.

?Yang penting kita hepi!?

Begitu kata-kata andalan Bono sekarang. Ia juga lebih sering terlihat mengenakan topi kupluk ke mana-mana, alih-alih menggerai rambut gondrongnya yang jarang keramas itu. Meskipun Bono masih tetap menggaruk kepalanya, teman-temannya tak lagi keberatan seperti dulu. Bahkan, mungkin mereka sudah melupakan kekhawatiran tertular penyakit dari kepala Bono. Karena kini, anak gimbal itu terkenal sebagai Bono yang dermawan dan banyak uang.

Pada suatu purnama yang lain, Bono kembali terbangun di malam hari karena kantong kemihnya penuh. Saat kesadarannya perlahan utuh, ia baru ingat kalau kepalanya tak lagi terasa gatal. Ia raba lagi batok kepala yang tertutup rambut gondrong itu. Sebentar kemudian, ia justru lupa akan kantong kemihnya yang penuh. Bono makin brutal menggaruk kepalanya yang tak lagi terasa gatal. Kemana perginya tambang emas itu?

Bono berlari sekuat tenaga menuju kamar mandi. Mengecek apa yang terjadi sebenarnya, sambil mengeluarkan air kencing sampai lega. Ia terus menggaruk kepalanya meski tak lagi terasa gatal. Karena semakin frustasi, Bono mengacak rambutnya yang membuat rambut gondrong itu mengenai mukanya. Jantungnya mencelos saat mencium bau harum dari rambutnya.

Ingatan Bono terlempar pada hari saat ia diajak teman-temannya ke salon untuk mempermak penampilan mereka. Saat kembali mengingat sesuatu, ia pun menangis tersedu-sedu seperti anak kecil kehilangan mainan. Bono lupa kalau seharusnya ia tidak boleh sekali pun keramas.

Leave A Reply

Your email address will not be published.