Berita Nasional Terpercaya

Combine dan Punahnya Rezeki Buruh Tani

0

Bernas.id – Segumpal kapas abu-abu mulai menggumpal di langit Desa Kedung Pingit. Terbang ke sana kemari tertiup angin. Kapas abu-abu itu mungkin sedang bersenang-senang bermain. Mencari tahu di mana tempat terbaik untuk menyatu dan menumpahkan setetes demi setetes air surga yang lama didamba. Sudah menjelang akhir Desember, dan hujan belum mau datang. Biasanya hujan mulai turun sejak September. Mulai dari rintik-rintik kecil yang bermutasi menjadi hujan deras sepanjang hari pada Desember. Padi sudah siap panen di bulan pertama tahun berikutnya. Tapi itu dulu. Tahun ini entah bagaimana kemarau enggan beranjak dari bumi. Membanggakan panas menyengat berbulan-bulan dan mematikan banyak rezeki. Termasuk rezekiku.

Aku yang tergesa mengumpulkan dedak sisa penggilingan padi tersenyum menyaksikan gumpalan-gumpalan kapas abu-abu itu berubah membesar. Kilasan petir terlihat malu-malu mengintip di baliknya. Dengan bergegas aku mengemas dedak sisa penggilingan padi di karung-karung yang kubawa. Mengangkatnya satu-persatu ke sepeda tua milikku. Lalu kuikat dengan sandat tali dari bekas ban dalam sepeda. Kukayuh sepedaku cepat agar tak lekas diburu hujan. Dedak itu tak boleh basah, nanti akan susah menyala. Kambing-kambingku akan rewel semalaman kalau aku tak berhasil menyalakan bediang, perapian untuk menghangatkan dan mengusir nyamuk dari kandang.

Rintik-rintik kecil air hujan mulai menetes sesaat sesampainya aku di rumah. Dedak-dedak itu kugulingkan langsung di dalam kandang. Dan aku bergegas masuk rumah menghindari hujan. Bukannya aku membenci hujan. Berbulan-bulan aku menantikan hujan, yang berarti pekerjaan untukku akan menanti. Pengangguran yang aku sandang akan hilang berganti permintaan tenagaku yang mengular. Sawah-sawah akan kembali ditanami. 

Istriku sedang menggoreng tempe dengan satu tangan menahan kepala anakku yang tertidur dalam gendongan. Aku tahu pasti di dalam hatinya pun sedang memimpikan hari-hari tanpa percekcokan. Bukan aku tak sayang padanya. Tapi uang telah membolak-balikkan hati manusia. Dia sering marah-marah karena sudah tak pegang uang, sementara kebutuhan untuk makan dan jajan anakku terus berjalan. Dan aku membalas marahnya karena aku pun pusing mencari pekerjaan.

Buruh tani di desa bukan aku seorang. Saat paceklik seperti ini mereka sama pusingnya denganku. Mencoba peruntungan lain untuk mencari uang saat sawah sudah tak bisa diandalkan. Dulu aku biasanya menjaring ikan di bantaran Bengawan Solo saat sepi tak ada pekerjaan. Hasilnya lumayan untuk makan dan aku jual. Bisa menutup kebutuhan perut esok hari. Tapi sekarang di mana lagi aku bisa menjaring ikan. Bengawan Solo yang digdaya itu tak berkutik didera kemarau yang menggila. Airnya habis tak bersisa membawa serta raibnya ikan-ikan yang biasa aku tangkap. Praktis aku menganggur.

Karena tabungan sudah habis aku nekat menggadaikan beberapa barang di rumah. Televisi dan radio sudah pindah tangan tapi kini uang di tanganku sudah tinggal beberapa lembar ribuan. Istriku ingin agar aku menjual beberapa kambingku untuk kebutuhan sehari-hari. Bosan makan nasi aking dengan lauk tempe dan sambal orek. Tapi aku bergeming. Bukannya aku pelit, tapi menjual kambing di musim seperti ini sama saja bohong. Harga turun drastis karena banyaknya penawaran tanpa diimbangi dengan permintaan. Banyak tetangga yang menjual hewan ternak mereka karena sudah putus asa. Dan mereka rela kambing-kambingnya dihargai sangat tidak manusiawi oleh tengkulak. 

Terpaksa aku dan istriku bertahan dengan nasi aking atau umbi-umbian untuk mengganjal perut agar anakku masih bisa makan layak dengan nasi dari beras yang tinggal sekaleng. Meskipun hanya buruh tani aku tidak pernah kekurangan pekerjaan. Tapi itu dulu. Di Desa Kedung Pingit, masa tanam sawah ada tiga kali dalam setahun. Dua kali padi dan satu kali selain padi. Padi mulai ditanam saat awal musim penghujan. Dibarengi dengan rintik yang masih turun satu-satu kami para buruh tani mulai terjun ke sawah. Membersihkan lahan dari tanaman liar dan menggemburkan tahan untuk proses tanam.

Di awal musim penghujan itu padi bukan ditandur melainkan di-icir, yaitu dengan menanam gabah di dalam tanah yang sudah di-caju atau dilubangi menggunakan alat dari kayu yang diruncingkan ujungnya. Setelah itu pemilik lahan akan mempekerjakan buruh tani untuk menjaga sawah dari serbuan tikus-tikus lapar yang memporak-porandakan proses tanam tadi. Biasanya untuk menanam para buruh tani akan bekerja berkelompok agar pekerjaan cepat selesai dan pindah ke lahan lain. Upahnya lumayan untuk hidup beberapa hari jika pekerjaan cepat selesai dan bisa mengerjakan lahan sampai beberapa ratus meter per hari.

?Insya Allah aku akan kembali bekerja, Bukne. Jangan marah-marah lagi. Hujan sudah mulai turun membawa rejeki untuk kita.?

Istriku hanya tersenyum dan menambahkan beberapa potong tempa di atas piringku. Tanda bahwa hatinya sedang riang. Cepat kutandaskan nasi aking di piring dan mengambil alih anakku dari gendongan ibunya.

Beberapa tahun ini banyak dari teman-temanku buruh tani yang banting setir menjadi tenaga kerja asing di Malaysia. Sebabnya karena adanya combine, mesin pemanen padi yang diciptakan oleh mereka ahli mesin yang mengakibatkan lapangan kerja untuk mereka jauh berkurang. Jika biasanya panen dikerjakan dengan mesin dos manual, tenaga kerja yang dibutuhkan akan banyak. Ada yang mengoperasikan mesin, memasukkan batangan padi ke mesin, menyabiti pohon padi, mengayak hasil gabah yang terkumpul setelah keluar dari mesin, memasukkan gabah-gabah ke dalam karung dan mengantar karung-karing berisi gabah itu ke pemilik lahan. Tapi dengan combine pekerjaan memanen padi hanya membutuhkan beberapa orang untuk mengoperasikan dan mengantar gabah ke pemilik lahan.

Aku termasuk yang beruntung. Pengalaman menjadi operator alat berat semasa muda membuatku didaulat menjadi salah satu operator combine milik juragan desa. Jadi aku masih bisa tetap bertahan di kampung. Masa tanam sampai panen padi tenagaku masih dibutuhkan. 

Selang beberapa hari musim tanam padi akan datang. Biasanya menunggu hujan turun beberapa kali sampai tanah sawah sudah bisa ditanami. Aku bersiap menuju rumah mandor untuk menanyakan kapan akan memulai turun ke sawah. Biasanya kami akan membagi kelompok menjadi beberapa untuk mengakomodasi permintaan yang mengular, agar setiap pemilik lahan dapat menanam padi secara berbarengan dan tidak terjeda lama.

Memang di saat musim tanam pertama setelah kemarau akan banyak sekali tantangan. Terutama wabah tikus yang merajalela. Butiran-butiran padi di sawah itu laksana pesta pora bagi mereka. Berbagai cara akan dilakukan untuk mencegah tikus-tikus itu merusak tanaman padi, mulai dari penggunaan racun tikus sampai setrum. Aku termasuk yang agak takut dengan setrum tikus, karena beberapa musim padi yang lalu salah satu buruh tani temanku meninggal karena terkena setrum secara tak sengaja. Dia terpeleset saat melewati tanggul sawah yang licin pasca hujan.

Beberapa minggu kemudian aku dan beberapa buruh tani lain pagi-pagi sekali sudah bersiap ke sawah. Wajah-wajah sumringah terlihat sepanjang jalan menuju sawah. Bersiap menuai rezeki di musim pertama tanam padi. Bersenda gurau bersama membayangkan pundi-pundi uang yang akan kami terima nanti.

Aku hanya bisa melongo sesampai di sawah. Ada sebuah alat kecil yang sedang digunakan oleh mandorku. Sebuah alat seperti sebuah roda yang dikelilingi semacam pipa-pipa lancip transparan yang digerakkan dengan mesin dan didorong secara manual mengelilingi sawah. Mungkin Pak Mandor sedang menggemburkan tanah dengan mesin itu. Tampilannya seperti traktor super mini dilihat dari tepi sawah. 

Mandor Dirgo menghampiri kami saat berbelok kembali ke tepi sawah. Melihat kami dia entah kenapa tiba-tiba mengehentikan alat itu sejenak, lalu dengan wajah suram berjalan ke arah kami. Aku sudah berfirasat buruk melihat wajah Mandor Dirgo yang keruh.

?Maaf, Bapak-bapak. Tenaga kalian batal dipakai. Sekarang pemilik lahan lebih memilih menanam padi menggunakan alat baru yang disumbangkan pemerintah. Dan hanya butuh satu orang untuk mengoperasikannya.? Mandor Dirgo menunduk tak berani menatap wajah-wajah kami.

Aku terduduk dengan tangan tertangkup di wajah. Keruh. Bagaimana lagi aku akan menghasilkan uang untuk menghidupi keluargaku. Setelah combine, sekarang ada lagi alat penanam padi yang menggantikan tenaga kami menanam. Tamat sudah. mungkin sudah saatnya kambing-kambingku kujual untuk menutup kebutuhan sampai aku menemukan pekerjaan baru. Pergi ke Malaysia mungkin salah satunya. (*Marwita Oktavia – Lamongan)

Leave A Reply

Your email address will not be published.