Berita Nasional Terpercaya

Di Ujung Jembatan

0

Bernas.id – Langit tampak lelah. Cahaya matahari semakin redup di pagi hari menjelang siang. Hawa dingin menyeruak, bertumbukan dengan kulitku yang bebas. Gigil mulai menusuk ke tulang. Geluduk menyambar menimbulkan suara gahar. Awan mendung bergelayut seperti muka orang cemberut, lalu hujan turun satu-satu. Gigiku bergemeletuk begitu air dari langit itu mencium puncak kepalaku, menjalar ke sekujur tubuh.

Kurengkuh tubuh ringkihku, menerobos hujan yang mulai menderas. Tak apa, setidaknya air mataku tak akan kentara. Noda-noda darah di pakaianku juga pasti segera menghilang, sebab air hujan akan membasuh segalanya. Aku pun tak perlu khawatir dengan pandangan orang-orang yang barangkali melihatku.

Lagipula, siapa juga yang akan peduli pada gadis berpenampilan compang-camping yang menangis dan berkeliaran di tepi jalan saat hujan seperti ini?

Orang-orang sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan, mungkin tak ada yang tahu kalau aku baru saja membunuh seseorang.

***

Pria tua itu selalu pulang dalam keadaan mabuk. Tubuhnya sempoyongan, tangannya memeluk botol kosong, dan tentu saja bau alkohol menguar dari mulutnya yang besar. Jika sudah begitu, barang-barang di rumah kami tak akan aman. Ada saja yang dibanting, dirusak, dipecahkan, sampai tak berbentuk lagi.

Teriakan-teriakan yang keluar dari mulut ibu juga tak pernah pria tua itu hiraukan. Yang ia tahu hanya marah-marah dan melampiaskan nafsunya, membuat ibu menangis setiap malam.

Seperti halnya tadi malam, ketika ia pulang dengan tangan kosong setelah kalah menyabung ayam. Pria tua berkumis tebal dan berperawakan tinggi besar itu memasukkanku ke kamar, lalu menguncinya dari luar. Sementara itu, bisa kudengar suara ibu yang dipukuli menggunakan benda tumpul entah di ruang tamu atau di kamar mereka.

Namun, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan ibu kecuali menangis dan terus berdoa. Semoga ibu akan tetap baik-baik saja. Semoga esok pagi tatkala pria tua itu tak ada di rumah, aku masih bisa bisa melihat ibu yang membukakan kunci pintu kamarku sambil tersenyum, meski wajahnya lebam atau kakinya pincang. Yang jelas, aku masih ingin berusaha melindunginya, walaupun tak tahu harus berbuat seperti apa agar bisa dikatakan melindungi.

Karena di sisi lain, aku memikirkan diriku sendiri yang seolah seperti pengecut karena tak bisa menyelamatkan ibu dari siksaan iblis biadab itu. Makanya, aku selalu berdoa dan meminta pada Tuhan agar diberi keberanian untuk melawan pria tua itu, atau setidaknya menyadarkannya dari seluruh kekejaman yang pernah ia perbuat pada keluarga kecil ini.

Sejak kakak perempuanku meninggalkan rumah dengan kondisi dirinya sendiri kacau dan terus menerus memukuli ibu, aku tak pernah lagi memanggil pria tua itu dengan sebutan ayah. Meski belum cukup umur untuk tahu, aku paham apa yang dilakukan pria tua itu telah mencoreng harga diri kakak sebagai anak dan juga sebagai perempuan. Maka dari itu, ibu menyuruhnya pergi tatkala pria tua itu tak ada di rumah.

Ketika menyadari hal itu, aku sempat akan menjadi korban selanjutnya. Namun, ibu menawarkan mayatnya untuk dilangkahi terlebih dahulu sebelum pria tua itu menyentuhku. Pada akhirnya, pria tua itu hanya menyiksa ibu dan mengunciku di dalam kamar.

?Lihat saja, kalau kau sudah sedikit dewasa, aku pasti akan menikmatimu juga!? ucap pria tua itu dengan tatapan beringas. Saat itu aku hanya bisa menangis dan berlindung di balik tubuh ibu.

Aku tak tahu sejak kapan pria tua itu berubah menjadi sedemikian rupa adanya. Padahal, ketika keluarga kami masih baik-baik saja, aku selalu menceritakan soal kehebatannya sebagai ayah pada teman-temanku di sekolah. Tak sedikit dari mereka yang iri padaku, karena memiliki ayah yang punya segalanya dan selalu ada untuk keluarga.

Sampai suatu ketika, tiba-tiba kerajaan yang telah susah payah dibangun dalam keluarga ini runtuh begitu saja. Puing-puingnya berserakan dan hanya menyisakan kekesalan tak berujung pada diri pria tua itu. Memang tidak ada satu orang pun yang siap kehilangan sesuatu dalam hidupnya. Apalagi, jika yang hilang itu adalah sesuatu yang selama ini ia cari dan perjuangkan dalam hidupnya, yang selama ini ia tekuni, yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya.

Di saat yang tak terduga, pria tua yang dulu kupanggil sebagai ayah itu, kehilangan harta dan tahta secara bersamaan. Ia ditipu rekan bisnisnya dan tak lagi dipercaya siapa-siapa. Lambat laun, pria tua yang kukenal hangat itu menjadi kejam dan beringas. Padahal, sejatinya ia masih memiliki wanita yang selalu setia mendampingi, yang tak lain adalah ibuku. Setidaknya masih ada orang-orang seperti keluarganya yang bisa percaya.

Namun, pria tua yang setiap malam selalu mabuk itu tak pernah bisa mendengarkan. Ia sibuk kehilangan dan menghancurkan segalanya.

***

Saat usiaku mulai menginjak tujuh belas, aku mengajak ibu untuk pergi dari rumah kami. Namun, ia malah menolak dengan alasan harus menjaga rumah ini dan seseorang yang ia yakini akan berubah. Jujur, aku tak mengerti akan jalan pikiran ibu. Bagaimana mungkin ia berpikir seseorang yang telah begitu buruk padanya bisa kembali menjadi sosok di masa lalu yang pernah ia cintai? Dengan cara apa ia akan berusaha?

?Ibu percaya bahwa kesabaran sejati akan bisa mengalahkan keadaan terberat atau bahkan kejahatan macam apa pun. Pergilah kalau kau ingin pergi. Biarkan ibu yang menanggung semuanya di sini. Masa depanmu masih panjang, Nak,? ucap ibu dengan suara parau dan sedikit berbisik. Ia hampir kehilangan pita suaranya setelah entah berapa kali iblis itu mencekik lehernya.

Aku tak sanggup menjawab kata-katanya, hanya bisa menangis sebagai jawaban. Bagi ibu, meskipun fisik dan batinnya terluka di sana-sini, selama masih memiliki kesabaran, ia tak akan pernah putus asa.

?Apa hanya dengan kesabaran yang ibu punya, laki-laki brengsek itu akan berubah seperti sedia kala?? tanyaku di sela isakan yang makin panjang. Aku bahkan tak lagi bisa menyaring kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri.

?Jangan berkata yang tidak sopan, biar bagaimanapun, dia itu masih ayahmu!? tukas ibu yang tak senang dengan kata-kataku.

?Aku tak pernah punya ayah sepertinya, Bu. Dia bahkan bukan ayah kandungku!?

Tanpa sadar, aku berteriak di depan wajah ibu. Namun, aku merasa benar ketika mengatakannya. Ayah kandungku memang telah meninggal sejak aku kecil. Sementara itu, ibu juga sempat menjanda selama beberapa tahun, sebelum akhirnya menjadi pelunas hutang kakek dengan menikahi pria tua itu.

Ah, kenapa setiap pria tua yang kukenal semuanya brengsek?

Setelahnya aku meninggalkan ibu sendirian dan menangis di kamarku. Namun, beberapa saat kemudian kudengar bunyi pintu depan seperti didobrak dan dibuka dengan paksa. Bau alkohol menguar sampai kamarku. Berapa botol saja yang sudah masuk ke pencernaan pria tua itu? Kenapa ia tidak mati saja karena keracunan minuman atau apa?

PRANGGG!

Sepertinya pria tua itu melempar botol kosongnya ke dinding. Teriakan ibu dan suara laki-laki brengsek itu tumpang tidih jadi satu, melengking memecah kesunyian rumah ini. Aku ketakutan setengah mati. Namun, yang bisa kulakukan sekali lagi adalah menangis dan berdoa.

Aku merasa bersalah telah membentak ibu sebelumnya. Aku juga tak bisa terus bersembunyi seperti pengecut macam ini. Mungkin, inilah saat yang tepat untukku menyelamatkan ibu. Perlahan, kutanggalkan segala macam ketakutan yang menyelimuti sekujur tubuhku di kamar ini. Kali ini, giliran aku yang menyelamatkan ibu.

Namun, ketika aku hampir memutar gagang pintu, ia telah terbuka dengan sendirinya. Sebuah tangan bersimbah darah muncul pertama kali dalam pandangan mataku. Sontak, langsung kubekap mulut ini agar tak berteriak keras dan membuatnya menyadari keberadaanku.

?Tenang saja, Nak. Ayahmu sudah kuhabisi. Sekarang giliran kita,? ucap suara itu parau dan lemah.

Apa aku tak salah dengar? Bukankah ibu selalu mengajarkan kesabaran? Bukankah ia juga yang bilang kalau masa depanku masih panjang?

?Setelah ini kita akan pergi ke surga bersama, sementara pria tua itu akan ke neraka,? ucapnya lagi dengan suara yang lebih pelan daripada sebelumnya.

Aku makin membekap mulutku sendiri, kurasakan air mata meleleh di kedua pipiku. Bagaimana mungkin ia bisa berubah secepat ini?

Saat menemukanku sedang membekap mulut, ibu menyeringai secara menyeramkan. Namun, ketika ia akan menancapkan pecahan botol kaca ke tubuhku, tangannya justru bergerak ke arah dadanya sendiri. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, tubuhnya roboh di hadapanku, sementara wajahnya tersenyum puas.

?Tidaaaaak!?

***

Aku masih berjalan di tengah hujan, hampir menuju ujung jembatan. Namun, sepertinya orang-orang berseragam mulai mengejarku dari kejauhan. Ya, kupikir aku telah membunuh ibu dan ayah tiriku sendiri. Makanya, mereka mencari seseorang yang bisa disalahkan dengan dijebloskan ke penjara.

Akan tetapi, mereka mengejar orang yang salah, karena aku sudah bersiap melompat ke sungai di ujung jembatan ini.

?Selamat tinggal dunia tipu-tipu!?

(*Risma Ariesta)

Leave A Reply

Your email address will not be published.