Salju yang Turun di Gunung Pandan

Bernas.id – Januari. Orang-orang Kedung Pingit?sebuah desa di kaki Gunung Pandan?menyebutnya sebagai hujan turun sehari-hari. Membawa banyak cerita mitologi. Tentang hujan yang konon akan turun sejak pagi hari mengguyurkan air berlimpah rezeki, ketika matahari baru naik sejengkal bersama pergantian tahun bangsa Tiongkok Kuno: Imlek. Pergantian hari pertama di bulan pertama pada kalender Huang Di yang jatuh antara akhir Januari hingga pertengahan Februari jika dihitung dengan kalender Masehi.
Ini adalah bulan Januari pertama sejak aku memutuskan keluar dari Suikerfabreiken Tjeweng. Meninggalkan perusahaan gula milik pemerintah kolonial Belanda itu, lalu memutuskan hidup menepi, bertani dan menjadi peternak sapi bersama seorang perempuan Kedung Pingit yang mengubah jalan hidupku.
Empat bulan sebelumnya, aku juga mendengar kabar bahwa Suikerfabreiken Tjeweng telah disita Nipon. Tuan Ruud van Lekerveld, teman kerjaku di pabrik gula itu menceritakan bahwa sebagai konsekuensi jatuhnya Pearl Halbour ke tangan Nipon, Belanda sebagai bagian dari Sekutu harus ikut menyerah. Semua aset di Hindia Belanda ikut diambil alih. Tak terkecuali Suikerfabreiken Tjeweng.
Akhir Januari di tahun 1942. Kabar jatuhnya Suikerfabreiken Tjeweng itu datang bersama berita yang tak kalah gempar di Kedung Pingit.
Aku ingat, itu adalah tahun baru Tiongkok. Sehari sebelumnya, Nyo Lai Wa, pemilik toko bahan pangan di kota kecamatan melakukan persembahyangan untuk leluhurnya. Nyo adalah pelanggan hasil perkebunan tembakau dan cengkeh yang aku tanam di Kedung Pingit. Dari persembahyangan keluarga Nyo itulah aku tahu bahwa bangsa Tiongkok sedang merayakan Imlek.
Hari itu, tanpa pernah terjadi sepanjang sejarah, tiba-tiba Gunung Pandan diguyur hujan lebat sekali. Hujan yang membawa butiran-butiran lembut dan dingin berwarna putih. Langit ikut memutih. Pemandangan ini membuat orang-orang Kedung Pingit takjub sekaligus heran. Cuaca mendadak berubah menjadi sangat dingin. Semua orang sibuk memakai kain sarung untuk selimut. Mereka belum mengenal jas musim dingin. Hujan bersama butiran-butiran berwarna putih baru sekali ini terjadi.
?Tuan Vonk, lihatlah!?
Serta merta aku berlari ke halaman rumah. Kulihat perempuan berkebaya itu sudah menangkap gumpalan-gumpan warna putih, lalu mengulurkan kepadaku.
?Ya Tuhan. Salju. Ini salju, Nyai,? gumamku.
Perempuan berkebaya putih itu memain-mainkan butiran salju di telapak tangan. Membiarkannya meleleh sampai habis.
Oh, iya. Aku ceritakan kembali. Perempuan berkebaya itu bernama asli Suliyem. Sejak meminangnya, aku memberi dia nama Nyai Doutzen, yang berarti anggun. Iya, wajah perempuan itu memang selalu tampak anggun di hadapanku. Lidah orang-orang pribumi memanggilnya Nyai Dusun, sebab sulit mengucapkan kata doutzen. Tak ada salahnya, Nyai Doutzen memang berasal dari sebuah desa di kaki Gunung Pandan. Sejak menemaniku tinggal di rumah dinas Suikerfabrieken Tjeweng pula, dia berhak memakai kebaya warna putih. Warna kebaya yang hanya boleh dipakai perempuan terhormat. Entah siapa yang membuat simbol gila itu. Simbol yang kemudian dijadikan aturan pembeda terhadap kasta-kasta perempuan pribumi. Barangkali karena warna putih dianggap serupa dengan warna kulit kami sebagai orang benua biru.
Sementara itu, dalam waktu yang singkat, Kedung Pingit telah tertutup salju. Atap-atap rumah, lahan sawah, kebun tebu, cengkeh, dan tembakau berwarna putih merata. Puncak Gunung Pandan bahkan jika dilihat dari desa kami telah berubah menjadi Everest. Tampak juga salju-salju di puncak itu sesekali berguguran, lalu meluncur turun ke lerengnya. Orang-orang semakin bingung dengan fenomena ini.
?Seperti inilah kondisi kampung halaman kakekku di lereng Pegunungan Alpen, Nyai,? terangku kepada Nyai Doutzen, ketika mendadak ingatanku terbang ke benua biru. Sementara butiran salju terus melayang, melayang, dan melayang membasahi kami.
Orang-orang mulai menduga-duga. Barangkali ini kutukan dari Mbaureksa Gunung Pandan, sebab marah atas perilaku orang-orang yang mulai mengusik hutan gunung. Sejak Gubernur Jendral Johannes Van den Bosh memberlakukan cultursteelsel, beberapa petak hutan di Gunung Pandan dibuka untuk perkebunan tebu. Pantas jika penunggunya menurunkan kutukan berupa hujan lebat disertai cuaca dingin dan salju. Lain halnya dengan pendapat Nyo Lai Wa. Menurutnya, salju yang turun di Gunung Pandan bersamaan dengan tahun baru bangsa Tiongkok adalah simbol alam bahwa tak lama lagi bangsa Hindia Belanda akan menemukan kebahagiaan. Kebebasan dari cengkeraman bangsa lain.
Nyo mengibaratkan dengan kejayaan negeri leluhurnya di masa kuno. Bahwa Tiongkok pernah berjaya menjadi penguasa separuh luas bumi saat dipimpin Jenghis Khan. Konon, dia berasal dari sebuah suku yang menghuni Pegunungan Kenthii di utara Tiongkok. Sebuah tempat berlembah-lembah yang senantiasa diselimuti salju.
Dugaan Nyo tentu membuatku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sebagai seorang Belanda yang pernah hidup di kampung halaman kakekku di Pegunungan Alpen, aku tidak percaya dengan simbol-simbol alam macam dugaan Nyo.
Berhari-hari salju itu terus turun. Beritanya dengan cepat juga menyebar ke kota. Orang-orang berduyun-duyun datang ke Kedung Pingit untuk menyaksikan hujan salju yang menutupi puncak Gunung Pandan.
Satu dari sekian banyak orang yang datang itu adalah seorang pemuda yang mengenakan pakaian tidak lazim sebagai orang Jawa. Dia tidak memakai udeng, justru topi lebar macam yang aku kenakan setiap hari. Bajunya pun tak beda dengan baju orang-orang Eropa. Tapi aku yakin dia bukan pemuda Eropa. Satu hal yang masih menunjukkan bahwa pemuda itu seorang pribumi adalah kain batik yang melilit kakinya.
Sesaat pemuda itu menatapku. Hal sama yang juga aku lakukan. Mungkin dia heran dengan wajah Eropaku yang berada di tengah orang-orang Kedung Pingit.
?Goodenmiddag,? sapa pemuda itu dengan tatapan mata penuh selidik.
?Goodenmiddag,? jawabku.
?Hoe heet je??
?Ik heet Gothard Van den Vonk, en jij??
Pemuda itu hanya tersenyum, tak mau menyebutkan namanya.
?Wat doe je hier??
?Ik woon hier.?
Aku takjub. Tak banyak bumiputera yang mengenali bahasa Belanda. Obrolan kami berlanjut. Ketika dia mengajukan pertanyaan tentang pendapatku terhadap salju di Gunung Pandan, aku katakan bahwa ini adalah fenomena alam biasa. Aksi dan reaksi partikel-partikel di langit. Sebuah proses ketika terbentuk awan dalam suhu yang sangat rendah, lalu membeku, mencair sebagian, membentuk gumpalan-gumpalan, dan menjatuhkan gumpalan itu menjadi salju. Kebetulan saja proses terciptanya tepat di atas Gunung Pandan.
?Itu teori fisika yang diagung-agungkan bangsa Eropa,? sanggah pemuda itu.
?Maksud Tuan??
?Bangsa-bangsa Eropa seperti Tuan Vonk tidak pernah diajari budi pekerti dan kemanusiaan. Itu sebabnya kalian terus berambisi menaklukkan tanah-tanah baru di benua timur!?
?Tidak semua orang Eropa berwatak seperti itu, Tuan.?
Pemuda itu masih menatapku dengan pandangan penuh selidik.
?Lalu apa pendapat Tuan tentang kejadian di Gunung Pandan ini??
?Aku justru sepemikiran dengan Tuan Nyo Lai Wa. Salju ini bisa turun di Gunung Pandan, tanah leluhur kami. Ternyata bukan saja Eropa yang berhak menikmati salju, Hindia Belanda pun sama. Seperti halnya kemerdekaan. Ia adalah hak segala bangsa.?
Nada bicara pemuda itu masih tinggi. Tatapan matanya juga tetap menyiratkan kecurigaan ketika dia bergegas meninggalkan aku.
Siapa sebenarnya pemuda itu? Tak ada yang mengetahuinya. Orang-orang hanya mengatakan bahwa dia seorang anak priyayi dari selatan. Apakah benar bahwa alam bisa memberikan simbol-simbol bagi jalannya kehidupan? Mendadak aku teringat Suikerfabrieken Tjeweng, apakah jatuhnya pabrik gula milik pemrintah kolonial Belanda ke tangan bangsa Asia juga merupakan simbol? Pertanyaan-pertanyaan itu tiada henti memenuhi seisi ruang benakku.
Satu minggu sesudahnya, aku baru tahu bahwa pemuda itu bernama Raden Gondo Seminingrat. Bumiputera dari kaki Gunung Wilis itu bekas anggota Indische Vereeneging yang banyak menimba ilmu kepada Raden Soebroto, mendiang pemilik majalah Panjebar Semangat yang dulu sering aku temui di Bubutan, Surabaya.
Semakin takjub aku dengan sepak terjangnya. Setakjub Nyai Doutzen kepada keanehan salju yang seminggu ini terus mengguyur Gunung Pandan. (*Heru Sang Amurwabumi)
Catatan kaki:
Huang Di = Leluhur bangsa China yang memerintah pada 2697 ? 2597 SM. Hari kelahirannya dijadikan acuan sebagai tahun baru China.
Suikerfabreiken Tjeweng = Pabrik gula milik pemerintah kolonial Belanda, PG Lestari Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur sekarang.
Pearl Halbour = Pangkalan militer Amerika Serikat di Hawai.
Everest = Puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya.
Pegunungan Alpen = Pegunungan terpanjang di Benua Eropa.
Cultursteelsel = Sistem tanam paksa.
Jenghis Khan = Kaisar China dari Mongolia yang memerintah pada 1206 ? 1227 M.
Pegunungan Kenthii = Pegunungan di Provinsi Tov dan Kenthii, Mongolia.
Goodenmiddag (bahasa Belanda) = Selamat siang.
Hoe heet je (bahasa Belanda) = Siapa namamu.
Ik heet (bahasa Belanda) = Nama saya.
En jij (bahasa Belanda) = Dan kamu.
Wat doe je hier (bahasa Belanda) = Apa yang kamu lakukan di sini.
Ik woon hier (bahasa Belanda) = Aku tinggal di sini.
Indische Vereeniging = Perhimpunan Hindia, organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia di Belanda.
Panjebar Semangat = Majalah berbahasa Jawa yang didirikan oleh R. Soebroto atau Dr. Soetomo.