Berita Nasional Terpercaya

Bagian Dua – Laki-laki Itu Bernama Bang Landung

0

Bernas.id –  Sebelum memutuskan untuk membangun Rumah Pelangi, Bang Landung sudah khatam menjadi orang jahat. Dulu, dia mantan kepala preman yang punya banyak anak buah. Catatan kejahatannya tersebar di mana-mana. Kota C hanyalah salah satunya. Dia pernah melakukan perjalanan keliling negeri ini, dan meninggalkan napak tilas kejahatannya di setiap kota. Entah mencopet, memperkosa, bahkan membunuh. Namun, lama-lama dia merasa lelah dan bosan melakukan semua kejahatan itu. Sampai setibanya di kota C, Bang Landung bertemu dengan Ustadz Sofyan. Bagaikan takdir, pertemuan mereka berawal dan berlangsung secara dramatis.

Saat itu Bang Landung kehabisan uang di kota C. Lantas ia pergi ke pasar untuk mencari mangsa sendirian tanpa anak buahnya. Kebetulan, saat itu ada kerumunan di toko sembako yang sedang mengadakan potongan harga akhir tahun. Tanpa melihat wajah orang-orang dalam kerumunan, Bang Landung mengambil dompet salah satu pembeli secara acak. Setelahnya dia langsung pergi tanpa ketahuan. Tidak ada yang sadar akan kedatangan dan kepergian Bang Landung. Hal ini pulalah yang menyebabkan Bang Landung tidak dikejar orang-orang. Semesta seolah merestuinya saat itu. Dengan begitu, dia jadi bisa leluasa mengambil isi dompet yang tadi diambilnya. Namun, ternyata dompet itu tidak berisi uang. Melainkan secarik kertas yang seolah sengaja diselipkan di sana. Sebaris alamat dan beberapa kalimat.

Esok paginya Bang Landung mendatangi alamat yang tertulis pada secarik kertas itu. Ternyata, itu alamat pesantren milik Ustaz Sofyan. Penampilan Bang Landung kontras dengan lingkungan pesantren. Otomatis, dia langsung menjadi pusat perhatian para santri. Tidak ada yang berani mendekat atau bahkan menyuruh Bang Landung pergi. Sampai akhirnya seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

?Kamu cari saya?? Begitu kira-kiranya Ustaz Sofyan berkata, sepaket dengan senyuman di wajahnya. Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju ndalem, tempat Ustadz Sofyan dan keluarganya tinggal.

Ada banyak makanan yang terhidang di meja ruang tamu, seperti sudah disiapkan sebelumnya. Ustaz Sofyan menyilakan tamunya masuk dan duduk. Namun, Bang Landung masih bingung dengan semua itu. Kenapa tiba-tiba langkahnya tergiring ke pesantren? Kenapa pula orang yang sama sekali tak pernah dikenalnya, memberikan perlakuan sedemikian rupa? Lagipula, apakah benar orang itu adalah sang pemilik dompet? Di tengah-tengah kebingungan itu, Ustaz Sofyan justru bersikap sangat santai dan menyilakan tamunya menikmati perjamuan. Suasana mendadak akrab setelah Ustaz Sofyan lebih banyak mengajak Bang Landung mengobrol.

?Kenapa Bang Landung memutuskan untuk datang ke alamat itu?? tanya saya penasaran dengan cerita Dodit.

?Katanya dia tertarik pada tulisan di secarik kertas,? jawab Dodit datar.

?Memang apa bunyinya?? Saya makin penasaran.

?Nggak tahu. Aku nggak pernah nanya.?

?Terus apa yang terjadi setelah pertemuan itu??

?Yang jelas, Bang Landung makin rajin datang ke pesantren setelahnya. Dia menjadi santri kalong. Ikut belajar ngaji di pesantren, tapi nggak ikut tinggal di sana. Dia juga bertemu Bang Idoy dan Kang Ujang yang sekarang mengajar kami di Rumah Pelangi. Banyak perubahan baik yang terjadi pada Bang Landung setelah bertemu Ustaz Sofyan. Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk menetap di Kota C ini,? jelas Dodit yang sepertinya sudah ingin mengakhiri ceritanya.

Akan tetapi, bagi saya cerita ini belum benar-benar usai. Sedangkan, anak-anak lain sudah bergegas pergi begitu saja. Mau Salat Asar kata mereka. Mereka mengajak saya, tapi saya tidak ikut. Sudah lupa bagaimana caranya.

Sementara anak-anak itu shalat, saya memilih duduk-duduk di teras. Sesekali melamun, mengingat-ingat cerita Dodit tentang Bang Landung, lalu ingat kisah hidup saya sendiri. Jika diibaratkan lomba lari, mungkin sebentar lagi Bang Landung hampir menyentuh garis finish. Sedangkan saya masih di belakang garis start. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin saya tanyakan saat Dodit bercerita tadi. Hanya saja, mungkin dia hanya tahu sedikit saja.

?Lagi mikirin apa?? Suara Bang Landung tiba-tiba memecah lamunan saya.

?Eh, enggak kok, Bang. Lagi duduk-duduk aja.?

?Oh. Lo udah Salat Asar??

?Engg.. Udah lupa caranya, Bang. Hehe.?

?Hahaha. Lo sama aja kayak gue dulu. Nggak inget caranya ngomong sama Tuhan. Tapi gue beruntung, sih. Dia masih ngasih kesempatan buat gue untuk berubah.?

?Oh ya, tadi Dodit udah banyak cerita tentang abang. Tapi saya masih pengen nanya-nanya ke Bang Landung.?

Sepertinya saya makin banyak bicara karena terlanjur penasaran.

?Ah, anak itu. Pasti dia selalu berhenti di bagian gue ketemu Ustaz Sofyan dan ngebangun Rumah Pelangi. Haha. Dia emang paling nggak bisa sih lihat gue menderita,? ucap Bang Landung seperti bisa membaca pikiran Dodit. Setelahnya, ia pun bercerita melanjutkan kisahnya sendiri.

Setelah pertemuan pertamanya dengan Ustaz Sofyan, kebingungan Bang Landung belum juga hilang. Bagaimana semesta bisa mempertemukannya dengan orang seperti Ustaz Sofyan? Saat itu mereka juga langsung akrab karena pertanyaan-pertanyaan Bang Landung berhasil dijawab dengan baik oleh Ustaz Sofyan. Namun, Bang Landung masih tetap ragu. Apakah benar selama ini dia mencari kebenaran? Apakah Tuhan akan menerima tobatnya? Apakah ada tempat yang mau menampung orang seperti dirinya?

Pada akhirnya, keraguan itu dipatahkan oleh Ustaz Sofyan.

?Selama manusia masih bernapas, itu artinya Tuhan masih membuka pintu taubat selebar-lebarnya. Setiap dosa dan kesalahan akan termaafkan kecuali menyekutukan-Nya. Dengarkan kata hatimu, apa yang sebenarnya kamu cari??

Itu kata Ustaz Sofyan yang selalu Bang Landung ingat. Namun, bagaimana bisa Ustaz Sofyan repot-repot melakukan itu semua? Apa betul beliau tahu dompetnya akan dicopet Bang Landung?

?Mungkin, itulah permainan takdir,? ucap Bang Landung menyimpulkan.

Ustaz Sofyan memang dikenal nyentrik dan berbeda dengan ustaz-ustaz lain pada umumnya. Beliau lebih tertarik dengan kehidupan anak jalanan yang biasanya tak banyak dijamah orang. Selain itu, beliau juga punya keistimewaan ilmu yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu.

Pesantren yang beliau dirikan pun berbeda dengan pesantren-pesantren pada umumnya. Para santrinya kebanyakan adalah anak jalanan, mantan preman, dan orang-orang terbuang. Tidak ada pendaftaran yang rumit maupun pembayaran yang melilit tiap bulannya. Tapi mereka bisa hidup cukup dan mengaji setiap hari berkat usaha-usaha mandiri yang juga dirintis oleh Ustaz Sofyan.

?Kenapa Bang Landung nggak milih tinggal di pesantren aja?? tanya saya memotong cerita Bang Landung.

?Sebenernya niat gue juga gitu tadinya. Tapi, saat itu keadaannya nggak memungkinkan,? jawab Bang Landung dengan tatapan datar. Ia pun melanjutkan ceritanya lagi setelah menghela napas cukup panjang.

Setelah bertemu dengan Ustaz Sofyan, kehidupan normal Bang Landung sebagai kepala preman merangkap copet berjalan tidak seperti biasanya. Dia justru lebih sering datang ke pesantren daripada nongkrong bersama anak buahnya dan merencanakan aksi pencopetan. Lama-lama, perubahan Bang Landung itu diketahui para anak buahnya. Tidak sedikit dari mereka yang kecewa, memaki dengan kata-kata kotor, mengatai munafik, bahkan mengancam untuk membunuh. Kata Ustaz Sofyan, wajar jika hal itu terjadi. Karena ujian seseorang yang ingin mengubah hidupnya ke arah kebaikan memang tidak main-main. Akan ada banyak godaan yang menghalangi dan melemahkan niat untuk berubah itu sendiri.

Akhirnya, Bang Landung memilih jalan tengah. Di satu sisi dia tetap tinggal di jalanan bersama para anak buahnya. Sedangkan, di sisi lain dia selalu datang ke pesantren untuk belajar. Mulai dari sana, makin banyak orang yang jadi tak takut pada Bang Landung. Beberapa meremehkan, tidak sedikit yang mencibir, tetapi ada juga yang mendoakan.

?Semoga istikamah, ya.?

Begitu kata orang-orang yang mendoakan. Namun, saat itu Bang Landung tak paham maksudnya. Saat menanyakan arti kalimat itu pada Ustaz Sofyan, beliau menerjemahkannya dengan sikap teguh pendirian dan selalu konsisten.

?Setelah sering ngaji, hati gue emang jadi lebih tenang. Beda bangetlah sama sebelum-sebelumnya. Ajaib emang. Gue yakin semuanya bukan gara-gara Ustaz Sofyan, beliau cuma perantara. Ini semua karena Allah masih sayang sama gue. Padahal ya, lo tahu kelakuan gue sebelumnya kayak gimana, kan??

Lagi-lagi Bang Landung bernapas dengan berat.

?Jujur, sebelum ketemu Ustaz Sofyan hidup gue kayak nggak punya aturan atau tujuan aja gitu. Tapi dari hati gue yang terdalam, gue terus mencari dan bertanya. Bahkan sering juga gue nantang Tuhan. Apakah Tuhan itu ada? Apakah Dia memang berkuasa? Kalau iya, coba ubah hidup gue yang udah berantakan ini! Dan saat gue tiba di kota ini, akhirnya gue jadi berasa nggak ada apa-apanya,? ungkap Bang Landung dengan mata berkaca-kaca.

Saya menyimak dengan penuh semangat. Mendengarkan setiap kata yang Bang Landung ucapkan dengan penuh perasaan. Sesekali, dia menyeka pipinya yang mungkin basah. Sejak saat itu, saya tidak lagi takut pada penampilan luarnya yang menyeramkan.

?Lo jangan sampe kayak gue, ya. Udah cukup gue aja yang bejat, yang lain jangan. Makanya gue milih jadi santri kalong karena gue nggak mau egois jadi baik sendiri. Gue masih punya tanggung jawab buat ngebenerin akhlak gue sendiri, juga anak-anak buah gue yang sempat terjerumus.?

?Terus sekarang mereka di mana??

?Sebagian besar udah dibawa Ustaz Sofyan,? ucap Bang Landung sambil terkekeh.

?Mereka jadi santri??

?Kira-kiranya begitulah.?

?Lalu kenapa Bang Landung nggak ikut mereka??

?Karena Rumah Pelangi. Gue pengen ngumpulin anak-anak yang hidupnya di jalanan, yang kurang bener atau kurang beruntung hidupnya, biar jadi lebih baik. Anak-anak seusia kalian harus punya impian dan masa depan yang cerah. Itulah sebabnya gue sampe mati-matian cari bantuan dana, tenaga pengajar, dan apapun selama itu halal buat ngebangun Rumah Pelangi ini jadi tempat yang lebih layak dan menyenangkan. Selain karena dosa gue udah banyak, gue pengen menebusnya dengan memberi kebermanfaatan buat orang lain.?

Saya merasakan air mata kian membanjir di kedua pipi. Namun, sebenarnya saya masih penasaran pada satu hal yang mungkin sama sekali tidak penting.

?Oh, ya. Jadi, kenapa penampilan Bang Landung masih maaf, kayak preman?? tanya saya hati-hati.

?Ah, ini. Gue udah nyaman aja, sih kayak gini. Selain itu, gue mau lihat mana orang-orang yang cuma nilai orang lain dari penampilannya aja, dan mana yang emang serius menghargai tanpa lihat penampilan. Toh, itu bukan jaminan, kan??

Saya membenarkan dan mengangguk setuju. Setelah mengakhiri ceritanya, Bang Landung berdiri dan mengusap kedua matanya. Saya bisa melihat dia tersenyum, lebih lepas daripada sebelumnya.

?Nah, katanya lo belum sholat ashar kan? Mumpung belum adzan maghrib, lo masih punya kesempatan buat sholat. Ayo ikut gue! Gue ajarin pelan-pelan.?

Saya bangkit dan tersenyum. Sementara itu, Bang Landung sudah berjalan lebih dulu di depan saya. Namun, ada yang terjatuh dari kantong celananya. Secarik kertas dengan beberapa baris kalimat. Saya memungutnya, dan membaca tulisan itu.

?Apa yang kamu cari tidak ada di dalam sini. Mungkin selama ini kamu merasa hidupmu tak tenang saat melakukan kejahatan. Semakin enggan kamu menerima kebenaran, semakin rusaklah hidupmu. Tapi, tidak ada kata terlambat untuk berubah. Jika kamu tidak tahu caranya, akan kuberitahu segera. Datanglah ke alamat ini kapan saja. Aku akan menerimamu dengan senang hati.? Jalan Ikhlas, Gang Tawakkal. Pesantren Ora Aji. (Risma Ariesta)

Leave A Reply

Your email address will not be published.