Kasak-kusuk Kang Dirgo Kesurupan
.jpeg)
Bernas.id –
Duh, Gusti!
Bagaimana bisa? Tidak mungkin, pasti tidak mungkin!
Kabar bahwa Kang Dirgo kesurupan, dengan cepat beredar. Kabar yang sontak menjadi perbincangan orang-orang Kedung Pingit?sebuah desa di kaki Gunung Pandan. Di warung, di sawah, di ladang tepi hutan, di mana-mana, semua membicarakan peristiwa menggemparkan itu. Tentu saja, semua juga sibuk memberikan bumbu-bumbu penyedap dan dugaan-dugaan selayaknya penjual berita.
Aku sendiri belum bisa serta merta percaya kabar itu, sebab belum mendatangi Kang Dirgo.
Kang Dirgo kesurupan. Sesuatu yang tidak lazim. Bertahun-tahun ikut paguyuban seni tari jaranan bersamanya, aku tahu betul siapa Kang Dirgo. Dia sosok yang disegani. Bukan hanya karena paling tua di paguyuban, tetapi juga tersebab fisiknya tangguh dengan badan tinggi besar. Semua orang juga tahu Kang Dirgo punya nyali besar. Nyali untuk mengundang dan bermain-main dengan arwah di panggung pergelaran tari jaranan. Itu sebabnya aku belum bisa menerima kebenaran kabar yang setengah hari ini merebak di seantero Kedung Pingit.
Duh, tidak mungkin Kang Dirgo kesurupan!
Melintas dalam benakku, bayangan Kang Dirgo yang terlihat gagah jika sudah memakai udeng dan ikat pinggang warok ketika memimpin pergelaran tari jaranan. Tubuhnya yang gempal tampak kian kokoh ketika sedang memasang kuda-kuda, lalu memainkan cambuk untuk mengundang arwah ke tengah pentas. Sorot matanya yang tajam menatap kedatangan bangsa brekasakan, menegaskan anggapan bahwa dia memang orang kuat.
Biasanya, setelah arwah-arwah yang dipanggil Kang Dirgo datang, mereka akan dimasukkan ke tubuh para penari Jaranan, Celeng, dan Barongan. Itulah yang ditunggu-tunggu penonton dan kerap mendapatkan applaus. Selanjutnya para penari akan memainkan atraksi di luar kesadaran mereka. Ada yang memakan ular hidup-hidup, mengunyah pecahan kaca, sampai aksi debus. Konon, semua itu dilakukan oleh arwah yang merasuki penari.
Di akhir pertunjukan, Kang Dirgo juga yang tampil menunjukkan kepiawaiannya. Lagi-lagi, itulah yang paling ditunggu-tunggu penonton. Mendebarkan semua yang hadir di pergelaran. Dengan posisi kuda-kuda yang kokoh, Kang Dirgo memainkan cambuk di tengah-tengah panggung. Dia memperagakan gerakan hentakan cambuk yang disabetkan menghajar kulit bumi. Seolah-olah hendak menunjukkan kepada arwah-arwah yang telah merasuki para penari bahwa Kang Dirgo bukan orang sembarangan. Bahwa arwah-arwah itu harus menuruti kemauan Kang Dirgo nantinya. Selanjutnya Kang Dirgo akan melepaskan udeng, lalu diusapkan ke wajah penari yang kerasukan. Maka pergilah arwah-arwah yang tadi diundang ke pergelaran.
Bagaimana bisa Kang Dirgo kesurupan? Tidak mungkin, pasti tidak mungkin!
Kang Dirgolah yang mengenalkan aku pada Suluk Linglung?mantra untuk menyapa para Dang Hyang tanah Jawa. Darinya, aku juga mendapatkan doa-doa Kejawen?sinkretisme tasawuf islam dengan ajaran leluhur orang Jawa.
Di Kedung Pingit, Kang Dirgo dikenal sebagai orang pintar, memiliki kelebihan bisa mengobati orang yang terkena gangguan bangsa brekasakan, guna-guna, bahkan sampai kiriman santet. Percaya tidak percaya, begitulah kenyataannya. Hampir setiap ada tamu di rumahnya, bisa dipastikan bahwa Kang Dirgo sedang dimintai tolong tamu yang bermasalah dengan hal-hal gaib. Pernah juga ada tamu dari kota yang meminta pertolongan untuk mengusir bangsa brekasakan yang sering berbuat jail di tempat tinggal si tamu.
Anehnya, Kang Dirgo tidak pernah mau menerima imbalan dari orang-orang yang ditolongnya itu. Menurut Kang Dirgo, tak elok memperjualbelikan ilmu. Baginya, bisa menolong orang yang kesusahan saja sudah membuat dirinya ikut bahagia. Hatinya ikut tenang. Ikut tentram. Kebahagiaan itulah yang menurut pengakuan Kang Dirgo nilainya sudah jauh melebihi imbalan materi.
Begitulah Kang Dirgo, lelaki Kedung Pingit yang kemudian dikenal sebagai pemanggil arwah di pergelaran tari jaranan dan penasihat spiritual bagi siapa saja yang membutuhkan.
Aku sendiri tahu bahwa Kang Dirgo gemar bermain-main dengan hal gaib dan klenik. Menurut Mbah Soma?Pakde-ku yang juga Pakde Kang Dirgo, sudah sejak kecil Kang Dirgo senang bertirakat. Rajin puasa mutih dan pati geni. Itu sebabnya dia memiliki ketajaman indera keenam dan kelebihan bisa mengobati orang yang terkena gangguan bangsa brekasakan.
***
Mendadak aku ingat pada peristiwa seminggu silam. Kang Dirgo yang sehari-hari menjadi penjual kembang ziarah di pasar kecamatan jika tidak ada pentas tari jaranan, sempat mengeluh napasnya sesak. Dia juga mengaku badannya meriang. Pengakuan yang membuatku khawatir, sebab aku tahu Kang Dirgo adalah manusia yang bandel menjaga diri sejak terjadi musibah pagebluk. Enggan mencuci tangan, tak pernah memakai penutup mulut dan hidung.
?Aku tidak pernah takut pagebluk. Aku juga tidak takut kematian!?
?Tidak boleh begitu, Kang. Setidaknya kita berusaha tidak menjadi manusia yang mati konyol oleh kekerasan kepala,? sanggahku.
?Semua dari kita juga akan mati, akan menjadi arwah. Aku berkawan baik dengan banyak arwah setiap ada pergelaran tari jaranan,? kilahnya ketika aku mengingatkan.
Menurut Kang Dirgo, dia sudah sering pernah berhadapan dengan berbagai macam bangsa brekasakan. Semua bisa diatasinya. Apalagi hanya menghadapi penyakit yang disebut-sebut banyak orang sebagai pagebluk terbesar dalam kurun waktu ratusan tahun di bumi ini.
Tak ingin menebak-nebak apa penyebab Kang Dirgo kesurupan, aku langsung memacu sepeda onthel ke rumah Bidan Iin, perempuan muda yang awalnya bertugas di puskesmas kecamatan, tetapi kini ditempatkan di Polindes Kedung Pingit.
Kepada perempuan yang akhir-akhir ini sering meminta kuantar ke kota jika dia akan pulang ke tanah kelahirannya, kuceritakan tentang kabar kesurupannya Kang Dirgo. Termasuk keluhan tentang sesak napas dan batuk yang dialami lelaki pemanggil arwah itu.
?Biar lebih cepat, mari aku bonceng saja,? ajakku tidak sabar.
Bidan Iin mengiyakan, setelah membawa perlengkapan seperlunya, tanpa canggung dia naik ke boncengan sepeda onthel-ku.
Begitu kami masuk ke rumah Kang Dirgo, orang-orang yang ternyata sudah berkumpul di sana saling berbisik. Barangkali mereka heran, kenapa aku tidak mengajak seorang dukun atau orang pintar, tetapi justru bersama perempuan yang pekerjannya sudah dikenal oleh orang-orang Kedung Pingit. Aku tahu, bagi mereka ini aneh.
***
Kang Dirgo kesurupan! Dia kerasukan bangsa brekasakan penghuni pohon beringin di punden Desa Kedung Pingit. Duh, Gusti!
Sehari sebelum kesurupan, Kang Dirgo memotong-motong pohon beringin berusia ratusan tahun yang tumbang terkena sambaran petir, lalu tercerabut akarnya setelah hujan lebat disertai badai melanda Kedung Pingit. Tak ada yang berani membersihkan punden dan menyingkirkan pohon beringin tua selain Kang Dirgo.
Kabar Kang Dirgo kesurupan dengan cepat beredar. Kabar yang sontak menjadi perbincangan orang-orang Kedung Pingit. Di warung, di sawah, di ladang tepi hutan, di mana-mana, semua membicarakan peristiwa menggemparkan itu. Tentu saja, semua juga sibuk menambah bumbu-bumbu penyedap kabar.
Melihat kondisi Kang Dirgo yang ambruk seperti sekarang, siapa saja akan sulit mempercayai. Benar-benar sebuah kejadian yang berbanding berbalik dengan ketangguhan Kang Dirgo sebelumnya.
Tubuh Kang Dirgo menggigil, matanya terpejam, hanya sebentar terbuka ketika aku menyapanya, ?Kang, ini aku yang datang.?
Kang Dirgo hanya menjawab dengan batuk tiada henti sambil memegangi dada. Kemudian bibirnya mengeluarkan kalimat-kalimat yang tak bisa didengar dengan jelas. Sesekali dia juga berteriak-teriak. Mirip orang kesurupan memang.
Benarkah bahwa tataran ilmu Kang Dirgo sudah mencapai titik balik? Dugaan-dugaan itu mendadak kembali menjadi bola liar. Menggelinding tak terkendali di antara bisik-bisik warga yang berkerumanan di serambi rumah Kang Dirgo.
?Suhu badannya sangat tinggi, di atas empat puluh lima derajat,? bisik Bidan Iin.
?Lalu??
?Dalam kondisi seperti ini, pikiran manusia akan berada jauh di bawah kesadaran. Mengalami halusinasi.?
?Pantas jika Kang Dirgo terus meracau sejak siang tadi,? sahutku.
?Kang Dirgo harus segera kita bawa ke puskesmas kecamatan. Biarkan dia dirawat sampai sembuh di sana. Pagebluk ini tak boleh menyebar luas di Kedung Pingit, seperti kabar kesurupannya Kang Dirgo,? pungkas Bidan Iin.
Mungkin saja masih banyak yang menerka-nerka, bagaimana mungkin seorang lelaki pemanggil arwah, yang sudah tersohor bisa menyembuhkan orang kesurupan, justru kini kesurupan. Tetapi, aku dan Bidan Iin sudah menemukan jawaban dari peristiwa menggemparkan ini. Entah dengan orang-orang Kedung Pingit lainnya. (*Heru Sang Amurwabumi)
Catatan kaki:
Jaranan = Kuda lumping gaya Karesidenan Kediri dan sekitarnya.
Udeng = Ikat kepala tradisional Jawa.
Warok = Tokoh laki-laki khas pada seni tari Reog dan Jaranan.
Celeng = Babi hutan, salah satu sosok pada seni tari Jaranan.
Barongan = Naga, salah satu sosok pada seni tari Jaranan.
Brekasakan = Makhluk yang tidak jelas wujud dan asal-usulnya.
Dang Hyang = Makhluk penunggu sebuah tempat.
Mutih = Jenis tirakat Jawa kuno, puasa dengan sahur dan berbuka hanya nasi dan air putih.
Pati geni = Jenis tirakat Jawa kuno, tidak makan minum dan tidak boleh terkena cahaya apa pun.
Onthel = Kayuh.