Berita Nasional Terpercaya

Janji yang Menguap di Lereng Merapi

0

Bernas.id – Lima tahun yang lalu, saat geming lalu-lalang dari setiap mulut yang hadir di dalam ruangan dingin itu, pesta perayaan berlangsung. Di saat yang sama juga terjadi di sebuah kampung yang hanya berjarak empat kilometer dari  puncak Gunung Merapi. Pakaian mereka berbeda, kudapan pemantas juga berbeda. Satu hal yang membuatnya sama, mereka membicarakan nasib Indonesia di atas tangan satu orang tanpa saling tahu akibatnya.

Kustini menggoyang-goyangkan badan anaknya yang pulas di atas bale. Pagi belum matang. Namun, Ida?nama anak Kustini?harus segera bangun dan bersiap ke sekolah. Hampir setiap pagi sama saja kegiatan yang dilakukan Kustini dan keluarga. Janda yang ditinggal suaminya pamit duluan ke Tuhan itu harus mengurus dua sosok di dalam rumah sederhana yang tampak reot ke kanan. Anak dan bapaknya yang sudah banyak umurnya. Jangan tanya di mana keluarga yang lain, karena hanya sisa tiga itu saja setelah Merapi batuk-batuk dan meregang nyawa banyak orang berbelas tahun yang lalu.

Kustini sebenarnya ingin kehidupan yang lebih baik dari segi mana pun. Tempat tinggalnya terbilang terbelakang. Gir Pasang hanya kampung kecil yang berisi 34 orang dari 12 Kartu Keluarga dan beberapa ketk yang sesekali menampakkan diri di antara kandang sapi. Kampung itu berdiri di atas bukit yang dikelilingi jurang sedalam kurang lebih 150 meter. Gir Pasang masih abu-abu tertutup kabut pagi. Namun warganya sudah bangun dan mondar-mandir di dalam rumah masing-masing. Kustini akan segera meneriaki Ida jika dia masih saja tak beranjak.

?Da, Mamak nanti mau bikin nasi jagung ke kampung seberang. Pulang sekolah nanti kamu terus siapkan obatnya simbah, ya!? suruh Kustini.

Ida menjawab dengan anggukan walau tak terlihat oleh Kustini. Sebab, tanpa balasan pun Kustini tahu Ida tak akan menolaknya atau merasa keberatan. Ida anak penurut. Lebih tepatnya pendiam. Ia terlihat lesu dan mulai tak bergairah sejak bapak dan mbaknya mangkat.

Saat Ida pamit ke sekolah, Mbah Mo cukup berdeham menahan dahak. Teh hangat sudah tersaji di atas dipan depan rumah. Pagi-pagi begini, Mbah Mo harusnya duduk di sana meminum tehnya, lalu menyiapkan arit untuk ngerumput. Akan tetapi, sekarang Mbah Mo hanya melakukan hal pertama.

?Pak, Kus ambilin aritnya, po?? tanya Kustini.

?Ndak usah, hari ini bapak tidak berangkat ngerumput, kok.?

?Lho, ada apa, Pak??

?Pak Presiden baru mau ke sini.?

Kustini diam saja. Ia masuk rumah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya antara percaya atau tidak. Perkataan Mbah Mo tidak bisa sepenuhnya dianggap bualan. Apalagi terkait politik seperti itu. Mbah Mo memang tertarik dengan hal begituan. Menjadi wajar jika ia tahu berita-berita terkini. Mungkin Mbah Mo satu-satunya orang di Gir Pasang yang menempel foto presiden serta wakilnya dan rutin diganti setiap pindah periode. Sebagai sesepuh kampung yang juga disegani, jauh di dalam hatinya pasti mendamba nyala cahaya walau kecil untuk kampungnya.

Memang akhir-akhir ini Gir Pasang suka didatangi pejabat. Kampung itu menarik perhatian karena letak geografisnya. Alat transportasi juga tak ada yang mumpuni. Untuk ke kampung seberang saja perlu naik turun seribu lebih anak tangga. Ada opsi lain, naik seling?kabin kotak seperti gondola yang menggantung tanpa ada pengaman di tiap sisinya. Penggeraknya adalah mesin motor. Jangan harap ada jaminan keselamatan. Siapa saja boleh naik asal bobot tak lebih dari dua ton dan kalau terjadi apa-apa tidak menuntut siapa-siapa.

Jaringan internet di sana susah kecuali satu penyedia layanan seluler saja. Itu pun harganya mahal. Belum ada tiga tahun listrik masuk. Sebelumnya, hanya menggunakan panel surya ala-ala. Kalau ingin bepergian, dua saja pilihannya. Kaki keram naik turun tangga atau melawan ketakutan sendiri untuk naik seling.

Orang-orang yang lebih beruntung tinggal di kota pasti akan terheran-heran begitu menyaksikannya. Bagaimana bisa masih ada penduduk di satu kampung yang hidup dengan segala keterbatasan itu? Sebab, Gir Pasang masih berada di wilayah pulau Jawa. Bukan Pulau Kalimantan atau Nusa Tenggara Barat yang masih bisa ditemui suku asli di pedalaman.

Dari Gubernur sampai calon anggota DPR fraksi A, B atau yang tidak jelas pun pernah datang ke Gir Pasang. Warga Gir Pasang sendiri tak paham tujuannya apa. Mereka hanya senang jika mendapat bantuan. Artinya, kas kampung untuk pengembangan desa akan terus terisi. Namun, untuk kedatangan presiden ini, Kustini harus memastikannya lagi.

Tak lama, suara berat Pak RT yang memberitahu informasi untuk berkumpul dan menyambut kedatangan presiden baru hari ini terdengar di masjid. Bisik-bisik dari pintu rumah masing-masing, menyusul kemudian.

Kustini tak jadi nyeberang. Pembuatan nasi jagung diundur. Semua tenggelam dalam euforia penyambutan presiden. Mbah Mo paling ribut. Lupa umur. Presiden dan rombongan akan datang jam satu siang. Begitu kata pengumuman sebelumnya. Ibu-ibu memasak kudapan sambutan. Mereka berganti pakaian lebaran tahun lalu. Tidak mewah, tetapi segalanya memang terlihat begitu di Kampung Gir Pasang. Saat semua warga sudah siap dengan apa adanya, mereka cukup menunggu. Akan ada tanda-tanda keramaian dari seberang.

Tiga jam menunggu, sirine polisi terdengar mendekat. Mobil-mobil beragam merek berjejer. Kira-kira ada lima. Pelat nomornya merah. Mobil dinas. Tak salah lagi, presiden sungguhan menyambangi Gir Pasang. Penduduk harap-harap cemas menebak-nebak apa yang akan dilukakan presiden baru di kampung mereka. Wajah-wajah sumringah bertentengan di lereng Merapi membawa harapan masing-masing. Bahkan melupakan utang-utang yang tak kunjung bisa dilunasi.

Pak RT paling depan menyambut dan menjadi orang pertama yang menyalami. Binar matanya menggambarkan kekaguman tak karuan. Mungkin masih tak percaya bisa berjalan bersandingan dengan orang nomor satu di Indonesia. Dengan setelan batik lengkap dan lencana bendera Indonesia di dadanya, raut bangga dan simpati tersirat sempurna seiring langkah. Mbah Mo adalah orang kedua yang didatangi presiden sebagai sesepuh kampung. Kamera dari wartawan berebut gambar terbaik. Rombongan presiden mengawasi sekitar sambil cengar-cengir.

?Mbah siapa namanya?? tanya presiden lalu mendekatkan telinganya ke arah mulut Mbah Mo untuk menunggu jawaban.

?Mbah Suripmo, dipanggilnya Mbah Mo,? ucapnya sambil melengkungkan senyum di pipi kempotnya.

?Umurnya berapa, Mbah??

?73 tahun. Tapi masih seger waras dan kuat.?

Gelak tawa menggema di Gir Pasang.

?Sehari-hari ngapain, Mbah??

?Ngerumput. Mencari rumput untuk pakan ternak?

?Mbah, saya janji mau bangunkan jembatan untuk nyeberang di sini. Biar kalau ke puskesmas atau ke pasar tidak naik turun tangga lagi atau naik seling, bahaya. Tidak aman. Tadi saya lewat tangga ternyata capek sekali. Berarti penduduk sini kuat-kuat ya, Mbah??

?Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak Presiden. Semoga terlaksana dengan lancar. Memang begini kondisinya, Pak. Ndak ada yang dibuat-buat.?

Suara tulus penuh syukur keluar cepat dari mulut Mbah Mo. Yang lain menyimak dan terus merekam dari sudut mana saja.

Tak lama-lama kunjungan itu berlangsung. Sorenya, Gir Pasang sudah beraktivitas seperti sedia kala. Presiden baru itu sudah membangun citra baik di pojok Klaten ini. Kunjungannya masih hangat dibicarakan.

?Kehidupan akan membaik untuk ke depan,? pikir semua penduduk.

Setidaknya sudah ada yang menjamin. Mbah Mo sibuk mengelu-elukan kebaikan presiden di atas dipan. Kustini hikmat mendengarkan dan membenarkan dalam hati. Kunjungan itu membawa harapan sampai Mbah Mo tak menyadari kian pikun bahkan pada janji-janji.

***

?Kus. Fotonya presiden kok, kamu lepas??

?Sudah ganti presiden, Pak.?

?Lho, sudah ganti??

?Sampun, Pak.?

?Kalau gitu beli foto presiden yang baru, Kus.?

“Iya Pak, besok baru mau turun tangga sekalian ke pasar nganter nasi jagung. Selingnya sudah ndak beroperasi.? (*Titah Ulfiani Cholil) 

Leave A Reply

Your email address will not be published.