Berita Nasional Terpercaya

Mi Panjang Umur dan Kisah Bocah Penari Pekingsai di Malam Sincia

0

Bernas.id – Imlek. Orangorang Tionghoa di Hindia Belanda menyebutnya Sincia. Hari pertama bulan pertama pada kalender Tiongkok yang merujuk hari kelahiran Kaisar Hung Di?Kaisar Kuning, leluhur bangsa Tiongkok yang berkuasa pada 2597 ? 2697 Sebelum Masehi.

Sincia membawa banyak tradisi dan mitologi. Mulai kepercayaan hujan turun di pagi hari yang mengucurkan rezeki bersama jatuhnya air dari Kaisar Langit, tradisi pernakpernik berwarna merah, sampai keberadaan makhluk pemangsa hewan ternak dan anakanak.

Bahwa, pada masa Tiongkok Kuno terdapat makhluk mitologi bernama Nian. Makhluk yang muncul setiap pergantian tahun, lalu memangsa hewanhewan ternak. Bahkan tak jarang Nian juga memangsa anakanak.

Kemunculan makhluk ini akhirnya membuat orang-orang memiliki ide untuk menaruh makanan sebagai sesajian di depan pintu rumah setiap pergantian tahun. Mereka yakin sesajian itu mampu menyelamatkan hewan ternak dan anak-anak dari perburuan Nian. Sebab kerakusan Nian dialihkan ke makanan yang disediakan.

Akan tetapi, suatu ketika orang-orang Tiongkok Kuno justru menemukan Nian lari tunggang-langgang manakala menjumpai seorang anak yang memakai baju berwarna merah. Sejak itulah mereka yakin bahwa kelemahan Nian adalah takut pada apa saja yang berwarna merah. Peristiwa ini yang menjadi tradisi Sincia dengan memasang lampion merah, juga tirai dan pintu dihias dengan pernak-pernik warna merah untuk mengusir Nian. Untuk merayakan kebahagiaan lepas dari cengkeraman makhluk itu, orang-orang memasak makanan beraneka rupa.

Secara turun temurun selama ratusan tahun, tradisi penyambutan Sincia seperti itu selalu dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Termasuk di Singkawang, Borneo, Hindia Belanda.

Ketika malam Sincia, orang-orang Tionghoa di Singkawang akan memasak Mi Panjang Umur. Disebut panjang umur sebab selain bentuk mi itu memang panjang, ia juga disantap dengan taburan doa puja kepada Dewa-dewi. Memohon limpahan umurnya dipanjangkan. Ada juga masakan ikan bandeng dan bermacam-macam daging yang diolah dengan rempah-rempah khas pesisir barat Borneo. Tak mengherankan jika Sincia selalu ditunggu kedatangannya. Terutama oleh anak-anak Tionghoa di kampung Kali Asin?sebuah kampung Tionghoa kelas ekonomi lemah di Singkawang.

Sincia pula yang membuat wajah anak-anak Tionghoa pinggiran Singkawang berbinar. Mereka akan didaulat menjadi penari-penari Pekingsai?tarian singa utara, boneka singa berbulu lebat yang menjadi pasangan Barongsai, tarian singa selatan. Jika Pekingsai berbulu lebat, Tubuh Barongsai justru bersisik naga. Keduanya adalah tarian turun-temurun leluhur mereka dari Tiongkok Kuno. Tarian yang diciptakan sebagai pernghormatan kepada boneka-boneka singa tiruan yang dibuat oleh seorang panglima perang Kaisar Song Wen, Zhong Que, untuk menakut-nakuti dan mengalahkan pasukan gajah Kaisar Fan Yang.

Adalah Jiao Bo, bocah lelaki peranakan Tionghoa perantauan dari sebuah kota kecil di kaki Gunung Pandan, Jawa, sangat menantikan kedatangan Sincia tahun ini. Bahwa sebentar lagi dia akan memakan masakan yang enak-enak. Sebab hanya pada Sincia dia bisa merasakan Mi Panjang Umur, ikan bandeng, dan bermacam-macam daging. Begitulah ukuran kebahagiaan dan kemewahan bagi anak-anak Tionghoa Singkawang kelas ekonomi lemah. Itulah arti Sincia bagi mereka.

Liu Yifei ingin sekali membahagiakan anak lelaki semata wayangnya itu. Bagi Yifei, tak peduli belanja dengan uang apa dari mana, pokoknya Bo harus bisa memakan yang enak-enak di malam Sincia besok. Membawa sebagian Mi Panjang Umur ke klenteng, lalu memakan bersama teman-temannya para penari Pekingsai dan Barongsai.

Bo menjadi anak yatim sejak A Pa-nya yang dicap sebagai anggota Paraku menjadi pelampiasan amuk massa dalam tragedi Mangkuk Merah di Pontianak. Setelah peristiwa yang menjadi pengulangan tragedi pembunuhan leluhurnya, orang-orang Tionghoa di kaki Gunung Pandan pasca Perjanjian Renville?genosida terhadap etinis Tionghoa di Jawa, Yifei membawa Bo merantau ke Singkawang. Dia berharap bahwa kota dengan populasi Tionghoa besar itu lebih aman dari Jawa dan Pontianak.

Yifei heran, kenapa setiap terjadi pergolakan politik di tanah airnya, etnis Tionghoa selalu menjadi sasaran pelampiasan amarah. Sejak pecah Agresi Militer Belanda pasca Hindia Belanda lepas dari cengkeraman kolonial, hingga di pengujung tumbangnya penguasa tangan besi pada tahun 1998, mereka selalu divonis sebagai golongan yang pantas dijadikan tumbal pergolakan politik.

Yifei masih ingat cerita A Pa-nya yang nyaris ikut menjadi tumbal saat terjadi long march besar-besaran gerilyawan dari wilayah Van Mook menuju kantong-kantong republik. Long march yang terciderai peristiwa genosida oleh milisi di luar komando tentara resmi republik terhadap etnis Tionghoa. Padahal A Pa-nya masih berusia tujuh tahun. Beruntung ada seorang gerilyawan asal Desa Kedung Pingit?sebuah desa di kaki Gunung Pandan, Mbah Karta, menyelamatkannya dari kejaran kelompok gerilyawan lain yang memburu ribuan etnis Tionghoa laki-laki.

***

Seminggu lagi malam Sincia. Bo mengaku bahwa dia telah ditunjuk oleh A Pek Chong Wei untuk menjadi salah satu penari Pekingsai di Klenteng Hong San Kiong pada malam perayaan menyambut tahun baru. Bo juga bercerita teman-temannya bersepakat akan membawa Mi Panjang Umur, lauk ikan dan daging sebagai santapan boneka singa. Maklum, klenteng itu hanya rumah ibadah kecil dengan jemaat kebanyakan kaum Tionghoa miskin di Singkawang. Pengurus klenteng tidak memiliki uang lebih untuk menjamu anak-anak penari Pekingsai dan Barongsai.

Mendengar cerita Bo, Yifei paham bahwa anak lelakinya sedang mengharapkan dia bisa memasakkan makanan yang hanya ditemui Bo pada Sincia semata. Yifei memang tak pernah memberikan itu. Lebih tepatnya dia memang tidak memiliki uang untuk membeli makanan-makanan yang disebut Bo. Bertahun-tahun mereka hidup dalam kubangan kemelaratan.

Namun, sebagaimana tekad Yifei yang ingin membahagiakan Bo pada perayaan Sincia, pagi ini dia telah mengemas beberapa kardus berisi hio dan lilin merah.

Tak apa-apa aku jual murah barang-barang ini, asal aku bisa mendapatkan uang untuk membeli mi, ikan, daging, dan kue keranjang. Gumam Yifei dalam hati.

Hari itu, beberapa kotak lilin dan hio dagangan Yifei laku. Sebelum pulang, Yifei membeli lima potong kue keranjang.

?A Bu, besok Bo harus membayar buku-buku ini di sekolah,? ucap Bo menyambut kedatangan Yifei, sambil menunjukkan setumpuk buku pelajaran.

Seketika Yifei lemas. Tetapi demi membuat anak lelakinya tidak ikut merasakan kepedihan hidup, Yifei berusaha tersenyum kepada Bo. Iya, dia memang selalu menyembunyikan kepahitaan-kepahitan yang belum saatnya ikut dikecap Bo.

?Iya, besok A Bu beri uang untuk membayarnya, Bo.?

?Kenapa A Bu bersedih?? Tanya Bo penuh selidik.

?Ah, tidak. A Bu tidak bersedih.?

?A Bu tak punya uang??

Mendadak ganti Bo yang raut mukanya murung.

?Punya, Bo. Tadi beberapa hio dan lilin kita laku di pasar.?

?Kalau uang A Bu dipakai membayar buku-buku sekolah Bo, lantas besok Sincia kita tidak bisa membeli Mi Panjang Umur, ikan, dan daging untuk Pekingsai di klenteng??

Yifei mengelus kepala anaknya. ?Tak apa-apa. Besok A Bu akan berjualan hio dan lilin merah lagi di pasar.?

***

Hari hampir petang. Pasar nyaris tutup. Belum ada satu orang pun yang membeli hio dan lilin Yifei. Sincia tinggal sehari lagi. Artinya, mala mini Bo harus membawa masakan Mi Panjang Umur, ikan bandeng, dan daging untuk dimakan bersama teman-temannya penari Pekingsai. Yifei merogoh saku. Hanya ada beberapa lembar uang sisa pembayaran buku-buku sekolah Bo. Dengan uang itu, Yifei membeli seekor ikan bandeng berukuran kecil.

Dengan perasaan tak menentu, Yifei pulang. Bo sudah menunggunya di halaman rumah dengan wajah berseri-seri.

?Kata A Pek Cong Wei, aku yang tampil pertama menarikan Pekingsai.?

Yifei tidak menjawab. Lebih tepatnya dia tak sanggup menjawab.

?Bo.? Hanya itu yang sanggup keluar dari bibir Yifei.

?Waktuku tak banyak, A Bu. Lekas memasaklah untukku.?

?Iya, A Bu akan memasak mi instan dan ikan bandeng untukmu.?

Bo mendadak murung.

?A Bu sudah menjual hio dan lilin merah dengan harga separuh dari kulakan, tapi tetap saja belum laku.?

Bo tak berucap lagi.

?Di Tiongkok dahulu, para penari Pekingsai dan Barongsai tak makan Mi Panjang Umur, ikan, dan daging. Mereka juga tetap menari dengan rancak pada malam Sincia.?

Sesaat suasanan hening.

?Bo, Bo, Jiao Bo. Ayo ke klenteng!? Terdengar suara anak-anak memanggil Bo dari jalanan.

Yifei bergegas ke halaman rumah.

?Bo masih menunggu makanan. Dia akan menyusul nanti.?

?Ayo, Bo. Nanti terlambat. Kamu harus menjadi penari pertama Pekingsai! Cepat!?

?Iya, Bo pasti akan ikut menari Pekingsai bersama kalian.?

Yifei kembali ke dalam rumah. Bo sudah tak tampak di ruang tengah. Dia mencari ke dapur. Bo sedang memanasi air sambil menangis sesenggukan. Sebungkus mi instan sisa bantuan untuk orang miskin Singkawang tergeletak di samping tungku pembakaran. Yifei mondar-mandir gelisah, lalu melabuhkan tubuh dengan bersandar pada dinding papan. Pelupuk matanya mulai membanjir.

Dari jendela yang berkarat, perempuan Tionghoa paruh baya itu melihat halaman Klenteng Hong San Kiong riuh oleh penonton dan genderang Pekingsai yang dimainkan teman-teman Bo. (*Heru Sang Amurwabumi ? Nganjuk)

 

Catatan:

A Pa (bahasa Hokkien) = Ayah.

A Bu (bahasa Hokkien) = Ibu.

A Pek (bahasa Hokkien) = Saudara lelaki orang tua, atau lelaki yang berusia lebih tua dari ayah ibu.

Paraku = Partai Rakyat Kalimantan Utara, gerakan milisi cadangan yang dibentuk Presiden Soekarno sebagai persiapan Ganyang Malaysia. Anggotanya didominasi etnis Tionghoa Borneo.

Hio = Dupa.

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.