Berita Nasional Terpercaya

Antara Banu, Butet, dan Kematian Mbah Wira

0

Bernas.id – Malam itu bulan sempurna tenggelam ke dalam pelukan awan. Gelap-gulita memeluk tubuh-tubuh yang berusaha melepaskan diri dari sisa kemelut terik seharian. Tidak peduli orang-orang lelap dalam dengkur dan beria-ria dibuai mimpi, tangan-tangan iblis menjelma sepuluh berjari lima puluh menghabisi nyawa seorang lelaki sepuh. Lelaki itu meronta mengerahkan segenap daya yang tiada lagi berarti. Sebelum umpan baliknya menjadi perlawanan, ia ditemukan tewas mengenaskan. Matilah dia.

***

Gedoran di balik pintu berkali-kali menghentak. Banu tampak histeris saat Dirgo membuka daun pintu. Sementara istrinya, Butet membiarkan tubuhnya tetap telentang dalam balutan selimut.

?Bapak, Kak ? Bapak.?

Belum selesai Banu berbicara keduanya sudah berlari meninggalkan seonggok tubuh yang tetap diam tertutup sempurna di balik selimut tua berwarna maroon. Bisa jadi menutupi tubuhnya yang telanjang dan siapa tau kaki-kakinya sedang tak bisa melangkah untuknya. Entah apalah itu, yang jelas dia berdiam saja di situ.

Kedua bola matanya mendelik tertahan. Mulutnya tak kalah lebar mengaumkan kepedihan sesaat sebelum ajal menjemput. Kedua tangannya terangkat di atas kepalanya membentuk sudut yang menyerupai siku-siku timpang. Celananya basah. Betapa tragisnya malaikat maut menyiapkan parade keberangkatan untuk Mbah Wira.

Ke surga, ke neraka, entahlah. Kurasa tak perlulah kita berdebat perkara itu, hakikat hidup bukan otoritas siapa pun di bawah kolong langit ini. Sesama pendosa tak baik menakar sesama. Dirgo gemertak murka. Ia mereka-reka, menduga-duga, lalu rahangnya mengeras menggertakkan gigi-giginya yang merapalkan pembalasan. Pemakaman sang ayah berlangsung begitu menyayat dan penuh riuh bisik-bisik warga. Ini sebuah tragedi yang menggegerkan. Menyedihkannya, tak satu pun jua menemukan kemungkinan bagaimana dan siapa pelakunya.

?Kau ada musuh di Desa Kedung Pingit ini?? Dirgo bertanya pada Banu yang keseharian tinggal berdua bersama ayahnya.

?Tidak. Tidak ada. Kau tau, aku tidak terlalu ambil pusing apa-apa selain bapak,? ujarnya menyulut rokok. Debunya yang masih menyala tertiup angin dan mendarat di atas kulit legamnya. Ia mengaduh. Meniup-niup serupa orang linglung.

?Kapan kau bisa becus. Merokok saja kau tak lulus.? Dirgo menghela napas. Berat. Kerut-kerut berjalin suram dan sungsang menghiasi wajahnya. Sulit ia terima kehilangan macam apa yang ditakdirkan untuknya, untuk mereka. Saat ini ayahnya pasti juga merasakan hal yang sama, pikirnya. Merasa dipermainkan nasib dan dicemoh ketidakberadilan?pembalasan harus dituntaskan.

Bagaimana tidak, ia bahkan tidak pernah bersua ibunya?walau hanya dalam benaknya saja?paling tidak dalam ingatan masa kecil saat ia menyesap payudara ibu, atau saat ia memergoki ayahnya berbuat demikian. Ia tak pernah dipukul karena nakal, dipeluk karena pulang dengan angka satu di kolom rangking rapor semesterannya. Mungkin Tuhan mengambil ibunya dengan sempurna tanpa sisa.  Kini ayahnya juga diambil dengan cara yang memalukan untuk sebuah penjemputan ajal, jika memang wewenang itu hanya Tuhan yang punya. Ia merutuk, mengumpati, maka kecewalah ia pada Tuhannya.

?Tidak ada kemungkinan kecil pun untuk kita mencurigai atau menuduh??

?Tidak, Kang. Aku tidak menemukan kemungkinan itu. Tidak pernah ada kasus begini di Kedung Pingit. Bahkan sejak nenek buyut kita. Sudahlah, Kang. Tuhan tidak tidur.?

?Tidak! Sebagaimana bapak diperlakukan, demikianlah bayaran yang harus kulunaskan untuknya.? Banu terdiam menyulut rokoknya. ?Sial. Panas sekali,? umpatnya lagi-lagi mengibaskan tangannya. Angin siang itu sedikit nakal memainkan abu panas rokoknya.

Tiga hari setelah pemakaman, kala isu menyebar bersama angin dan polisi sibuk keluar masuk desa memperkarakan kematian tragis Mbah Wira, Butet tampak mengemasi barang-barang yang berantakan di dalam koper. Menyusunnya dengan rapi dan mengunci koper-koper itu rapat-rapat persis seperti tiga hari yang lalu ketika mereka tiba di rumah tua milik Mbah Wira.

?Kau mengajakku ke mari kan mengurus bapak, ia sudah meninggal, bah pulanglah kita,? katanya ketika Dirgo menyambangi ke dalam kamar dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah.

?Kau tampak begitu membenci Desa Kedung Pingit yang telah memberikanmu seorang suami. Setelah kematian Bapak, setelah ini semua membuatku menjadi anak dungu yang tolol. Kau mau aku pergi??

?Sial! Jangan tambahi pikirankulah, tiga hari ini kau maccam nagila saja. Accit ulu. Bapak sudah meninggal. Ya, sudahlah. Ikhlaskan. Pembunuh itu, biar Tuhan yang menumpas perkara dosa. Jangan kau tambahi pikiranku. Sema sedang tidak enak badan. Aku takut alerginya kumat.?  

?Heh, kau pikir, kalau tidak ada bapakku aku hanya sampah. Ingat itu.?

?Kurasa lebih dari sekadar sampah. Kau hanya tai tanpa tuan. Maksudku, berhentilah memikirkan balas dendam. Kita bahkan belum bisa mencurigai siapa pun. Biarkan polisi yang mengusutnya. Ikhlaskan Bapak, itu lebih baik untuk kita pelan-pelan menata kehilangan. Soal mengobati luka juga membalaskan sebuah kejahatan, serahkan pada sang waktu. Waktu akan selalu menjadi guru yang terbaik, mengobati hati, juga membalaskan dendam tanpa ampun, bahkan berlipat ganda tujuh kali tujuh lipatan pembalasan. Hidup kita harus berlanjut. Aku harus segera merawat Sema. Pembantu hanya akan mengingat gajinya seminggu setelah terima uang, selebihnya ia mengganggap pekerjaan itu sebuah hukuman. Bagaimana jika ia malah membunuh Sema? Ya, Tuhan ? aku bisa gila. Aku harus pulang untuk putriku.?

?Aku jadi berpikir, kau terlalu banyak cengkunek. Nampak kali bapak itu momok buatmu. Seharusnya, perempuan Batak itu tau, mengurus mertua adalah pahala. Apalagi di adat Jawa, kau sudah diajari budaya kami, harusnya ini bukan masalah bagi kita. Kita akan di sini selama aku belum menemukan pembunuh jahanam itu.?

?Apa itu bisa mengembalikan bapak? sudahlah, aku bisa pulang sendiri,? ketus Butet menutup koper sempurna. Dirgo menatapnya dengan mata merah menyala.

?Sial. Dari kita berencana ke mari kau terlalu cerewet. Sejak di sini, kau tak habis-habis mengomel. Sepertinya kau senang bapak meninggal. Atau, jangan ? jangan, kau??

Butet mendorong lelaki itu hingga terpelanting kaget. Ia tak mengira gaya dorong wanita itu melebihi yang ia bayangkan.

?Jangan sembarangan menuduh. Aku ini istrimu.? Butet terduduk lemas. Tak mengira tuduhan itu sepenuhnya ditujukan padanya. ?Aku harus pulang. Aku sudah kehilangan suamiku sejak dalam pikiranmu aku pelaku pembunuhan itu.? Ia berdiri. Matanya sendu, mengembang, dan riak-riak kecil mengaliri anakan-anakan garis waktu mengikuti gravitasi untuk akhirnya membumi. Jatuh dari wajahnya. Terhempas. Banu tertegan di depan pintu. Menatap lurus entah pada fokus yang mana di antara dinding tua atau bingkai foto bapaknya di dinding, yang tersenyum ke arahnya. Lama ia terpatung. Pandangannya kosong.

?Ban, jangan berpikiran aneh, ya. Kami lagi bertengkar. Kau tau kalau pasangan bertengkar Tuhan saja bisa disalahkan, apalagi semesta,? sahut Dirgo meninggalkan kamar sambil mengacak rambutnya. Dia masih mendengar isak wanita di belakangnya itu kian bergema memainkan perasaannya. Menarik-narik urat lehernya serupa menarik tali nasib. Begitu kuat. Ia pusing.

Banu memandangi kakak iparnya yang tak memedulikan kehadirannya. Wanita itu kini meraung tidak karuan. Dikemasinya barang-barangmya. Ia tertegun sejenak memandang lelaki di hadapannya. Mereka saling beku. Entah apa yang menghinggapi relung isi kepalanya sehingga ia menggeser tubuhnya menjadi semakin rapat.

?Selama ini, cintanya membuatku menghindarimu. Sekarang, mari kita lakukan.? Direngkuhnya kepala lelaki itu semakin merapat, mencari makna sebuah cinta tersembunyi. Foto di dinding mendesis serupa raungan tertahan. Dua suasana yang sama-sama panas. Dirgo panas memukul-mukul meja hingga patah. Di kamar dua anak manusia panas oleh sesak yang tertahan bercampur kekecewaan yang lamat-lamat membunuh cinta.

?Aku akan pergi. Jangan khawatir,? isak wanita itu setelah melihat Banu lunglai di sisinya.

?Aku yang harus pergi. Kau kembalilah ke Jakarta.? Diciumnya wanita itu. ?Aku mencintaimu.?

?Aku tahu. Makanya ke mari adalah siksa buatku.?

?Kau akan mencintaiku andai aku adalah setan yang mengerikan??

?Aku mencintaimu. Apa pun itu. Maaf, malam itu aku tak berhasil membujuknya pindah kamar.?

?Aku yang harus disalahkan, lampu kamar itu mati. Aku pikir semua akan semulus rencana kita.? Ia mencium wanita itu sembari menatap foto usang di dinding tua kamar pengap dan sesak, hingga kamar itu ingin memuntahkan dirinya sendiri.

?Setidaknya aku pernah merawatnya. Itu mungkin cukup baginya memahami mengapa ia harus berakhir begitu. Maaf, bayi kita akan kembali menjadi anaknya.? Banu mengelus-elus perut Butet. Dipandanginya bingkai di dinding yang kini tanpa foto. Di teras rumah, Dirgo mengingat-ingat sudah saatnya menebaskan golok pemberian Mbah Wira, sejak malam di mana Mbah Wira menonton siaran langsung tanpa saluran di kamar Banu. (*Erlina Siahaan Boru Toba ? Medan)

 

Catatan kaki:

Maccam nagila (bahasa Batak) = Seperti orang gila.

Accit ulu (bahasa Batak) = Sakit kepala.

Cengkunek (bahasa Batak) = Bualan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.