Sebuah Kisah yang Tidak Selesai

Bernas.id – Pada mulanya, nenek yang usianya sekitar enam puluhan itu memang sering datang ke Warung Makan Sederhana, tetapi tak pernah terlihat membeli apa-apa. Ia hanya celingukan di depan etalase kaca yang memajang beragam menu makanan seperti mencari seseorang. Sementara laki-laki tukang parkir itu, sehari-hari memang bekerja memarkirkan kendaraan yang hilir mudik ke Warung Makan Sederhana. Ia selalu memerhatikan gelagat si nenek yang terlihat mencurigakan.
Saat seharian tukang parkir itu bekerja, seharian pula nenek berambut panjang yang digelung itu terus melongok-longokkan kepala ke dalam Warung Makan Sederhana. Mungkin, ia tertarik dengan menu-menu yang dipajang di etalase kaca, tetapi tidak punya uang untuk membelinya. Jadi, nenek itu hanya bisa memerhatikan saja.
Hal itu pada akhirnya mengundang rasa iba para pengunjung Warung Makan Sederhana. Sebab, pakaian yang dikenakan si nenek terlihat cukup lusuh dan hanya itu-itu saja. Satu dua pelanggan mulai memberikan uang recehan atau lembaran yang dijatuhkan tepat di depan nenek biasa duduk sambil terkantuk-kantuk. Namun, ketika bangun nenek itu tak pernah menyadari ada uang recehan dan lembaran di hadapannya. Ketika hari sudah gelap dan apa yang ia inginkan belum juga tercapai, nenek itu pergi begitu saja meninggalkan uang-uang pemberian pelanggan.
Karena nenek selalu pulang saat Warung Makan Sederhana sudah tutup serta para pegawai juga sudah pulang, tak ada yang memerhatikan ada uang recehan dan lembaran yang terkumpul di emperan begitu saja.
Mungkin, itulah yang dinamakan keberuntungan. Tukang parkir yang sering mengenakan topi terbaliklah yang akhirnya mengemasi uang recehan dan lembaran itu dalam plastik kresek hitam.
?Terima kasih Tuhan, sudah begitu baik pada hamba-Mu ini.?
Meskipun hanya seorang tukang parkir, laki-laki itu dikenal relijius dan tak pernah lupa beribadah. Namun, mungkin ibadahnya tidak khusyuk, sehingga ia tetap menyikat uang-uang tak bertuan itu.
?Apa kubuat beli ayam goreng saja, ya untuk makan malam hari ini??
Tukang parkir itu berjalan dengan santainya sembari membawa plastik kresek berisi uang recehan dan lembaran seperti halnya menimang seorang bayi. Senyumnya merekah karena berpikir ia telah mendapatkan rejeki nomplok.
Sampai pada hari ke sekian, salah satu pelayan di Warung Makan Sederhana merasa terganggu atas kehadiran si nenek. Ia pikir, nenek hanyalah seorang gelandangan pengemis yang tak punya malu dan memanfaatkan Warung Makan Sederhana sebagai tempat mangkalnya. Karena terlanjur dikuasai emosi, pelayan itu pun memarahi nenek dan mengatakan hal-hal buruk tentangnya.
?Hei nenek tua! Aku sudah cukup sabar selama ini membiarkanmu duduk termenung menunggu belas kasihan orang di depan rumah makan ini. Tapi, sejak ada kau, para pelanggan banyak yang komplain tentang bau tak sedap yang berasal dari tubuh rentamu itu! Mau kutaruh di mana mukaku kalau bos sampai tau, ha?? tukas pelayan wanita itu dengan galak.
Dari kejauhan, tukang parkir hanya bisa melihat pelayan itu marah-marah pada si nenek, ketika rumah makan itu sedang sepi pelanggan. Padahal, setiap hari tukang parkir itu bekerja keras memarkirkan kendaraan baik roda dua atau roda empat, karena Warung Makan Sederhana memang selalu ramai dikunjungi pelanggan.
Namun, sepertinya tak ada jawaban berarti yang coba dilontarkan nenek untuk membalas kemarahan si pelayan. Ia hanya menunduk dengan wajah murung seperti biasa.
?Woy nenek gembel! Apa kau bisu juga sehingga tidak bisa menjawabku?? pelayan wanita itu terus membentak si nenek, meski temannya terlihat mencoba menghentikannya.
?Apa orangtuamu tak pernah mengajari tata krama, sehingga perilakumu keterlaluan begini pada orang tua??
Tukang parkir itu akhirnya mendekat juga setelah melihat dari kejauhan terlalu lama. Ia balas membentak si pelayan wanita dengan nada yang tak kalah galaknya. Hatinya mungkin resah melihat ketidakbenaran terjadi di depan matanya. Ia merasa keadilan harus ditegakkan. Namun, pelayan itu justru mendorong bahu si tukang parkir dan berkata meremehkan.
?Udahlah cuma tukang parkir aja nggak usah ikut campur lu!? ucap pelayan wanita itu.
Sebenarnya, apa masalah hidupnya? Pikir si tukang parkir yang pada akhirnya juga tersulut kemarahan.
?Mbak nggak sepatutnya kasar gitu, dong! Meskipun nenek ini bukan orang tua mbak, setidaknya hargailah karena beliau ini lebih tua dari mbak!? bentak si tukang parkir tak kalah garang.
Akhirnya, adu mulut pun tak terhindarkan lagi di antara pelayan wanita dengan tukang parkir. Mereka sama-sama ngotot mempertahankan pendapat masing-masing. Si pelayan wanita merasa, sejak kehadiran nenek tua tersebutlah Warung Makan Sederhana menjadi sepi pengunjung. Sementara itu, si tukang parkir tak mau kalah menyalahkan pelayan wanita karena ketidaksopanannya membentak-bentak orang tua.
Namun, di tengah perseteruan itu, nenek justru merasa ia telah mengacaukan semuanya. Padahal, kedatangannya setiap hari ke rumah makan Warung Makan Sederhana bukanlah seperti yang mereka bayangkan. Sebaliknya, yang terjadi sekarang justru adalah sesuatu yang tidak pernah ia harapkan.
Rasa cemas dan takut si nenek tergambar jelas pada raut wajah tuanya. Kulitnya yang berkeriput menggambarkan sudah lama sekali ia bertahan hidup, meski dipecundangi dunia. Air matanya jatuh satu-satu melewati kulit pipinya yang tak lagi kencang. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi dari Warung Makan Sederhana dan berjalan sambil menundukkan kepala.
Dalam hati kecil nenek, ada sesuatu yang sepertinya tersayat. Luka lama yang belum kering. Padahal, rindu yang ia miliki itu sederhana. Si nenek hanya ingin bertemu dengan sang anak yang kata tetangganya sudah sukses dan punya rumah makan di kota. Ia bahkan tidak pernah pulang lagi ke kampung selama hampir lima belas tahun lamanya.
Alhasil, karena rindu yang telah mencekik leher si nenek, ia pun memberanikan diri untuk menemui anaknya di kota berbekal menjual perhiasan seadanya. Berhari-hari ia habiskan waktu untuk mencari, sampai akhirnya bertemulah ia dengan Warung Makan Sederhana yang memiliki gambar logo serupa dengan yang ada pada petunjuk yang diberikan oleh tetangga nenek.
Berkali-kali nenek mencocokkan kertas kecil yang dibawanya dengan logo Warung Makan Sederhana yang sama persis. Nenek pun yakin kalau rumah makan itu ialah milik anaknya yang bernama Purnomo. Namun, ia bahkan tak lagi mengingat wajah anaknya yang telah lama jauh dari sisinya itu.
Saat si nenek masih berjalan dengan wajah menunduk, tiba-tiba seorang laki-laki yang berpakaian sama dengan pelayan wanita tadi, menabrak tubuh nenek yang akhirnya membuatnya terjatuh. Ketika kedua mata mereka saling bersitatap, ada keterkejutan yang seolah berusaha disembunyikan oleh pelayan laki-laki itu. Hampir saja, mulutnya mencetuskan kata ?Ibu?. Namun, nenek itu tak menyadari keterkejutan si pelayan laki-laki. ia kembali berjalan sambil menundukkan kepala.
?Mungkin, aku memang tidak lagi ditakdirkan untuk menemui anakku barang sekali saja.?
Pelayan laki-laki tadi hanya bisa melihat kepergian si nenek yang berjalan kian renta dan lesu. Ia tidak berusaha mengejar, atau menyapa lebih dulu. Sebab, ia telah mengatakan pada teman-temannya kalau ibunya telah meninggal.