Berita Nasional Terpercaya

Laki-laki yang Meneteskan Air Mata di Tepi Sungai Brantas

0

Bernas.id – Mengapa Tuhan menciptakan begitu megahnya sebuah kisah cinta, jika harus ada luka di dada?

Pertanyaan itu mengusik pikiranku, ketika Mbah Soma, sesepuh Desa Kedung Pingit?sebuah desa di kaki Gunung Pandan?menceritakan sepak terjang leluhur kami pada masa beratus-ratus tahun lalu, beserta kutukan cinta yang menyertai hikayat sebuah negeri di bantaran Sungai Brantas.

Panjalu. Orang-orang menyebutnya sebagai Kadiri. Negeri yang berpusat di kota Dahanapura itu awalnya bernama Medang i Kahuripan. Ketika Batara Airlangga memutuskan turun takhta demi menjalani kehidupan sebagai seorang pandita Waisnawa, justru pewarisnya, Sanggramawijaya Uttunggadewi menolak menduduki singgasana Medang i Kahuripan. Putri Mahkota itu mengikuti jalan ramandanya, menjadi seorang pandita. Pilihan yang mengantarkan mereka kelak dikenal sebagai Resi Gentayu Jatiningrat dan Dewi Kilisuci Sepuh.

Selain Sanggramawijaya Uttunggadewi, Batara Airlangga memiliki satu anak lagi, lelaki, bernama Rahadyan Samarawijaya dari garwa pramesywari?Dyah Sri Laksmi. Sementara dari garwa selir?Niken Amahita, dia memiliki satu anak lelaki bernama Mapanji Garasakan.

Begitu cintanya Batara Airlangga kepada dua istri dan anak-anaknya, hingga dalam keadaan mundurnya Sanggramawijaya Uttanggadewi sebagai pewaris takhta, dia bisa berbuat adil. Batara Airlangga memutuskan untuk membagi warisan kekuasaan menjadi dua yang sama rata. Mahayogi Medang i Kahuripan, Mpu Baradah yang ditugasi.

Maka, dengan kucuran air kendi sang mahayogi, terciptalah bengawan suci sebagai simbol keadilan cinta. Bengawan yang kelak dikenal dengan nama Sungai Brantas itu menjadi batas dua wilayah baru: Janggala untuk Mapanji Garasakan, dan Panjalu untuk Samarawijaya.

Namun, sepeninggal Batara Airlangga dan Sanggramawijaya Uttunggadewi, justru pembagian itu menjadi awal dari kisah panjang pertikaian sesama anak cucu Batara Airlangga. Mapanji Garasakan dan Samarawijaya menjadi dua kekuatan baru bekas Medang i Kahuripan yang tak henti-henti menumpahkan darah untuk menunjukkan klaim siapa yang paling pantas disebut sebagai penguasa tanah Jawa. Pertumpahan darah yang terus berlanjut ketika takhta Janggala diduduki Alanjung Ahyes sampai Samarotsaha, dan takhta Panjalu diduduki Sri Jitendrakara, Sri Bameswara, hingga Sri Aji Jayabhaya.

Bahwa, pertikaian demi pertikaian berdarah antara Panjalu dan Janggala kemudian diakhiri ketika Prabu Sarweyswara, penguasa Janggala dan Prabu Aryesywara, penguasa Pangjalu bersepakat menjodohkan Rahadyan Kuda Rawisrêngga dengan Dyah Ayu Sasi Kirana. Perjodohan yang kelak akan menyatukan kembali Janggala dan Panjalu.

Dyah Ayu Sasi Kirana adala pewaris takhta yang diduduki Prabu Aryesywara. Lelaki mana pun tak akan mengelak jika dinikahkan dengan Sekar Kadhaton Panjalu yang kecantikannya telah tersohor ke segala penjuru tanah Jawa. Tanpa berpikir panjang, Rahadyan Kuda Rawisrêngga menyanggupi rencana besar itu. Pun juga sebaliknya, Sasi Kirana tak kuasa menolak perjodohan dengan Putra Mahkota Janggala yang konon memiliki ketampanan sebanding dengan Batara Kamajaya.

Akan tetapi, kenyataan tidak selamanya berbanding lurus dengan rencana dan harapan. Siapa sangka, rencana besar yang sudah di depan mata itu mendadak ternodai oleh sebuah aib yang besar pula. Aib yang disebabkan oleh pertemuan tak sengaja antara Rahadyan Kuda Rawisrêngga dan Rara Anggraeni, ketika Putra Mahkota Janggala itu berkunjung ke rumah Rakryan Kanuruhan Kudanawarsa. Pertemuan yang menjadi awal dari pengumbaran jalinan asamara keduanya. Pertemuan yang mampu mengaburkan dan mengubur keberadaan Dyah Ayu Sasi Kirana di hati Rahadyan Kuda Rawisrêngga.

Bukan itu saja, di hadapan Prabu Sarmesywara dan Rakryan Kanuruhan Kudanawarsa, Rahadyan Kuda Rawisrêngga tak ragu-ragu mengutarakan tekadnya untuk menjadikan Rara Anggraeni sebagai garwa pramesywari. Sementara Dyah Ayu Sasi Kirana hanya akan dijadikan sebagai garwa selir.

Prabu Sarmeyswara murka. Hubungan Rahadyan Kuda Rawisrêngga dengan Rara Anggraeni semakin hari kian menjadi-jadi. Dia meminta petunjuk saudara perempuannya, Dewi Kilisuci Anom?pengikut jejak leluhur mereka, Batara Airlangga dan Dewi Kilisuci Sepuh menjadi pandita?yang tinggal di Gunung Pucangan. Disusunlah sebuah siasat Dewi Kilisuci Anom untuk menjebak Rara Anggraeni.

Konon, atas perintah Prabu Sarmeyswara, Rara Anggraeni dijemput sepasukan Kadhaton Janggala untuk diundang Dewi Kilisuci Anom ke Gunung Pucangan?sebuah bukit di gugusan Pegunungan Kendeng. Nahas, di tengah perjalanan, di tepi Sungai Brantas justru Rara Anggraeni dihabisi oleh orang-orang dari kabuyutan Kedung Pingit, kaki Gunung Pandan?sebuah gunung di gugusan Pegunungan Kendeng?suruhan Prabu Sarmeyswara. Di ambang ajalnya, perempuan malang itu sempat mengucapkan sumpah serapah, “Aku tak pernah bisa menerima kecurangan ini. Aku akan menghempaskan jalinan asmara orang-orang Pegunungan Kendeng dan Panjalu, seperti halnya mereka menghempaskan asamaraku dengan Rakamas Kuda Rawisrêngga. Kutukan ini adalah tumpahan air mataku. Ia tak akan berakhir sebelum Sungai Brantas kering mata airnya!?

***

Seperti halnya kakekku, Mbah Soma menuturkan hikayat cinta sebuah negeri di bantaran Sungai Brantas beserta kutukan Rara Anggraeni, aku ceritakan kembali kisah antara ibumu denganku, Nak.

Aku tahu, kau memang hanya bisa mengedipkan mata sambil menggeliatkan badan ketika mendengar cerita ini. Meskipun kau baru saja hadir di dunia ini tiga hari yang lalu, aku yakin bahwa kau bisa menyimak bagian demi bagian dari kisah ini.

Wajahmu masih merah, Nak. Anehnya hidungmu justru menyerupai hidungku. Sedikit pun tak menunjukkan bahwa itu replika dari hidung ayah atau ibumu. Ah, mungkin ini adalah teori para penghayal psikogeneologi?gen berdasarkan ikatan batin, yang mampu menyingkirkan teori hubungan biologis.

Nak, kau memang terlahir bukan dari benihku sebagai ayahmu. Tetapi roh yang ditiupkan ke ragamu tercipta dari semaian cintaku yang tak pernah lampus oleh masa. Harus aku akui, ada rasa sakit jika mengenang kembali takdir kisah itu.

Kau masih bisa mendengar ceritaku, Nak?

Ah, kau hanya menjawabnya dengan kedipan mata sambil merengek dan menggeliatkan badan. Wajahmu yang masih merah tampak semakin lucu.

Jauh sebelum kau lahir, aku dipertemukan dengan ibumu di sebuah kota perantauan. Aku anak kolong dari kaki Gunung Pandan, ibumu anak bantaran Sungai Brantas. Sama-sama menjadi perantau di tanah orang, menjadikan aku begitu tak tega melihat perempuan seperti ibumu harus mengecap kerasnya perjuangan menyambung hidup di perantauan.

Kami diberi kesamaan nasib, Nak. Sama-sama ditakdirkan sebagai orang-orang desa yang terjebak kecongkakan orang-orang kota di tanah milik mereka. Itu sebabnya, aku berusaha menjadi bagian dari perjalanan hidup ibumu. Menjadi atap peneduh ketika hatinya basah oleh hujan kesedihan. Menjadi lilin ketika pikirannya kalut oleh gelapnya gemerlap kehidupan kota. Menjadi api unggun ketika batinnya menggigil kedinginan oleh badai bernama kerinduan akan kampung halaman.

Begitulah, Nak. Kami merasa tidak sendirian di tanah perantauan. Ada nama yang kami doakan pada setiap malam. Ada sandaran yang dituju ketika jiwa kami sama-sama merasa dalam keragu-raguan. Entah apa namanya kedekatan itu. Yang pasti aku adalah seorang pengecut. Tak pernah sekali pun aku memiliki nyali untuk mengutarakan bahwa aku telah mencintai perempuan itu. Ibumu.

Bahkan, ketika suatu hari aku mengantarkan ibumu pulang ke kampung halaman, menyeberangi Sungai Brantas dengan perahu tambang, lalu menemui ayah ibunya, aku tetaplah pengecut, Nak.

Senja itu adalah senja di akhir Februari. Aku ingat, dua minggu sebelumnya, banyak yang beramai-ramai memborong cokelat di kota perantauan kami. Menurut mereka, cokelat itu akan diberikan sebagai hadiah untuk orang-orang yang mereka kasihi di hari penuh kasih. Pada senja itulah pertama kali aku tahu bagaimana rasanya menyeberangi Sungai Brantas menggunakan perahu tambang. Ibumu yang memintaku mengantarnya pulang ke kampung halaman. Oh, iya, aku juga ingat bahwa juru mudi perahu itu adalah paman ibumu, adik dari bapaknya. Aku sempat berkenalan dengannya.

Hari-hari setelah itu, aku semakin sering menyeberangi Sungai Brantas bersama ibumu, Nak. Menikmati senja bersama burung-burung pemakan ikan, pasir Brantas yang basah, siluet pohon glagah, juga perahu-perahu yang menyeberang di kejauhan. Terkadang kami juga menikmati senja di Sungai Brantas itu dengan bias sinar keemasan yang memanjakan buih-buih arus sungai yang berwarna putih seperti kapas, angin yang senantiasa berembus dengan basah. Sebasah pasir Brantas yang lembab tapi tetap hangat.

?Bolehkah aku berhayal?? tanya ibumu pada suatu senja, ketika kami berada di tepi Sungai Brantas.

?Tentu saja,? jawabku sembari menatap buih arus sungai. 

?Seandainya kelak kita bisa duduk di pelaminan, lalu memiliki anak, akan kauberi nama siapa, Mas??

?Syaqira jika perempuan. Panggil saja Syasa. Beri nama Ahnaf jika terlahir laki-laki.?

Akan tetapi, rupanya Tuhan punya rencana lain. Semua kisah itu dengan mudah Dia ubah. Antara aku dan ibumu, mendadak menjadi sepasang salah yang enggan saling mengalah. Cinta kami terhempas, seperti butiran-butiran pasir di tepi Sungai Brantas yang sirna oleh arus yang melibas. Seperti burung-burung origami kertas yang melepuh ketika aku menerbangkannya bersama ibumu pada langit yang bergerimis, Nak.

Begitulah kisah. Ketika kami melangkah bersama, berbulan-bulan kemudian kami sampai di ujung jalan bernama pisah. Ibumu menunjukkan sebuah hari dan tanggal yang dia sebut dengan nama nikah. Bukan denganku, tapi dengan lelaki Janggala yang menjadi pelabuhan hatinya setelah kami menjadi pemuja ego dalam kekerasan kepala dan pendirian masing-masing.

Ya Tuhan, betapa Kau Maha Tahu dengan segala kisah yang Kaubangun begitu megah bersama luka dada yang berlumur nanah. Ratapku ketika itu, Nak.

Barangkali benar kutukan Rara Anggraeni yang diceritakan Mbah Soma memang ada, lalu sedang menimpaku. Sebab aku berasal dari kaki Gunung Pandan di gugusan Pegunungan Kendeng.

Aku ingat, ada sebuah permintaan terakhir dari ibumu sebelum datang hari dan tanggal yang dia sebut itu. ?Untuk terakhir kali, antarkan aku pulang ke kampung halaman.?

?Baiklah. Tetapi aku tak sanggup menyeberangi sungai itu bersamamu lagi. Terlalu banyak kenangan di sungai itu. Aku antar kau hanya sampai di tepiannya. Aku juga tak sanggup berpamitan kepada ibu dan bapakmu.?

Ibumu tak menjawab. Dia hanya memalingkan wajah. Aku tahu, dari gerakan punggungnya yang berguncang-guncang, dia sedang menangis. Atau jika aku salah menerka, dia sedang mengutuk kepengecutanku selama ini, Nak.

Maka, pada suatu senja yang lain, aku mengantarkan ibumu ke Sungai Brantas entah keberapa kali. Sepanjang tiga jam perjalanan, kami sama-sama menahan diri untuk tidak membuka suara. Saling membisu. Tenggelam dalam kecamuk pikiran masing-masing.

Senja itu sekaligus menjadi senja terakhir aku menapakkan kaki di tepi Sungai Brantas bersama ibumu, Nak.

?Kita pernah bahagia, Mas. Kenang itu saja, jangan lainnya,? bisik ibumu ketika jemarinya terakhir kali aku sentuh, beberapa langkah sebelum dia naik ke atas geladak perahu tambang penyeberangan Sungai Brantas.

Mendadak ada yang terasa membanjir di pelupuk mataku, Nak. Dalam benakku berlintasan sumpah serapah Rara Anggraeni kepada orang-orang Pegunungan Kendeng. (*Heru Sang Amurwabumi-Nganjuk)

 

Catatan:

Garwa prameyswari = Permaisuri.

Garwa selir = Selir.

Janggala, Jenggala = Pecahan Medang i Kahuripan selain Panjalu setelah dibagi menjadi dua oleh Mpu Baradah atas perintah Maharaja Airlngga. Sekarang wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Panjalu, Kadiri = Pecahan Medang i Kahuripan selain Janggala setelah dibagi menjadi dua oleh Mpu Baradah atas perintah Maharaja Airlngga. Sekarang wilayah Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Pegunungan Kendeng = Gugusan pegunungan kapur utara yang terbentang dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur.

 

Rujukan:

  1. Diangkat dari legenda klasik Jawa Timur: Cerita Panji, yang telah menyebar ke seluruh Nusantara dalam berbagai versi, bahkan ke beberapa negara di Asia.
  2. Rahadyan Kuda Rawisrêngga tak lain adalah Rahadyan Panji Inu Kêrthapati. Dikenal juga sebagai Rahadyan Panji Asmarabangun, putra Prabu Lembu Amiluhur atau Prabhu Sri Sarmeyswara yang memerintah Pangjalu ? Jenggala sekitar 1159 ? 1171 Masehi (Prasasti Padelegan II, bertarikh 23 September 1159 dan Prasasti Kahyunan, bertarikh 23 Februari 1161). Diyakini sebagai titisan Batara Kamajaya?Dewa Cinta.
  3. Dyah Ayu Sasi Kirana adalah tokoh sejarah yang dalam cerita-cerita Panji dikenal sebagai Dyah Ayu Candra Kirana atau Dyah Ayu Sêkar Taji, putri Prabu Aryesywara, Prabu Amerdadu, Raja Pangjalu ? Jenggala yang bertakhta sekitar 1171 ? 1181 Masehi (Prasasti Angin, bertarikh 23 Maret 1171 dan Prasasti Jaring, bertarikh 19 November 1181?menyebutkan bahwa takhta sudah diduduki Prabu Sri Gandra). Dialah yang diyakini sebagai titisan Dewi Kamaratih, istri Batara Kamajaya dalam mitologi Jawa.
  4. Rara Anggraeni, orang ketiga dalam kisah asmara Panji Inu Kêrthapati dan Sêkar Taji, adalah putri dari Rakryan Kanuruhan Janggala, Kudanawarsa.
Leave A Reply

Your email address will not be published.