Berita Nasional Terpercaya

Partiyah Berkalung Sengsara

0

Bernas.id – Perangai Kang Dirgo semakin hari, semakin aneh saja. Keuangan kami memang mulai susah sejak dia dirumahkan. Kehidupan kami mulai terlunta-lunta. Membuka tambal ban agaknya tak menjadi penambal upah. Tak bisa aku menyalahkan jika sekarang suamiku itu mulai melirik dunia sesat dan percaya pada sesepuh Desa Kedung Pingit yang kabarnya mampu mengubah daun nangka menjadi duit.

?Itu untuk modal jualan besok, Kang.?

?Sudahlah, Par! Tahu apa kamu soal beginian? Pokoknya kita terima beres, dapat duit banyak. Sudah itu saja.?

Hari ini pun sama. Modal tiga ratus ribu untuk warungku pun raib dia bawa. Alasan yang tak pernah masuk akal. Uang itu akan berlipat-lipat di tangan Mbah Kastardji.

?Suamimu pergi ke dukun itu lagi, Par?? tanya Emak yang melihatku limbung menatap kaleng kosong tenpat uang di meja warung. ?Apa maunya si Dirgo itu? Sudah dipecat, eh, dia malah enak ongkang-ongkang ngabisin duit dikasih ke dukun. Cerai sajalah, Par!?

?Astaghfirullah, kok Emak ngomong gitu??

?Maunya gimana? Tuh, Bu Darmi sudah dua kali ke sini. Utang sepuluh jutamu sudah manak jadi seratus juta dalam setahun. Mau dibayar pakai apa? Iya kalau suamimu itu bisa dijual. Ndak laku juga pemalas dijual.?

Membuka warung tanpa modal, rentenir menjadi pelarian. Utang sepuluh juta beranak menjadi seratus juta meski aku mengangsurnya saban bulan. Mengingat muasal aku berutang rasanya tak henti diri ini kuhunjam kutukan. Perihal saran Mbah Kastardji untuk mengubah posisi rumah yang mentah-mentah kami telan. Memang benar, pintu masuk rumah berhadapan langsung dengan beringin tua yang menjadi punden desa. Menurut Mbah Kastardji, itu membawa sial, penyakit, dan menghambat rezeki datang.

Serta-merta Kang Dirgo memaksa meminjam uang untuk membongkar posisi rumah dan mengubah letak pintu. Apa setelahnya keuangan kami membaik? Tidak. Malah kehidupan kami terasa kian ambruk dengan utang bertumpuk-tumpuk. Aku nekat membuka warung kopi sekadar untuk mengganjal perut agar tak sampai perih.

?Partiyah, utangmu harus lunas dua minggu lagi, ya. Itu sudah perjanjian kita sejak awal.? Kali kedua dalam sehari ini Bu Darmi datang menagih. Kali kedua pula aku benar-benar bersimpuh di hadapannya merendahkan diri.

?Beri waktu lagi, Bu. Sungguh belum ada uang.?

?Ini bunganya sudah ndak kuhitung, lho, Par. Aku ini sudah kasihan melihatmu kesusahan dengan kelakuan suamimu yang mendukun itu. Gak apa-apa, dah, dibayar seratus juta saja. Harusnya sudah lebih dari itu.? Dengan sirih yang diinangnya, Bu Darmi tak henti mengata-ngatai suamiku.

Rasanya hidup sudah terimpit demikian sempit. Gelap mata membuatku membongkar isi laci dan mengeluarkan sertifikat rumah memenuhi saran Kang Dirgo setelah kuceritakan persoal Bu Darmi yang datang menagih. Ini harta peninggalan mendiang Bapak satu-satunya, ingin tetap kujaga, tetapi nasib begini susah. Dalam tempo sepuluh hari kami mendapat pembeli, lima puluh juta ada di tangan. Emak marah, mencaci dengan segala serapah dan aku pasrah. Senyatanya memang wajar. Ini rumah kenangan bersama Bapak, aku menjualnya tanpa persetujuan, dan kini kami tak tahu harus tinggal di mana.

Aku pikir, napas lega bisa sedikit kuhela. Separuh utang akan terbayar sudah. Kang Dirgo sudah berjanji akan mulai bekerja dan bersama melangkah dari bawah. Namun, iming-iming uang mengganda agaknya masih menggoda baginya. 

?Jangan lagi, Kang! Partiyah jual rumah untuk bayar utang.?

?Sudahlah, Par! Mbah Kastardji sudah janji akan menjadikan uang ini tiga kali lipat dalam seminggu. Bisa bayar utang kita nanti dan bangun rumah baru.?

?Coba dipikir lagi, Kang. Selama ini uang kita ndak pernah balik, ndak mengganda sepeser pun. Kang Dirgo yakin ndak kena tipu?? 

?Hush! Jangan berpikir begitu tentang Mbah Kastardji. Dia bisa baca pikiranmu. Pokoknya aku bawa dulu ini uangnya. Kamu percaya saja.? Aku seperti orang bodoh, diam membiarkan begitu saja Kang Dirgo membawa uang hasil jual rumah tanpa membantah.

***

Seminggu lewat dengan petir menyambar di siang bolong. Kang Dirgo limbung, emak pingsan, dan aku sedang tersaruk-saruk nasib buruk yang tak kupahami. Sekarung yang Kang Dirgo bawa pulang dengan wajah semringah dari rumah Mbah Kastardji, nyatanya tak pernah berisi uang. Dedaunan nangka kering yang membusuk di bagian bawahnya. Dukun itu kabur membawa lima puluh juta yang dengan bodohnya kami percayakan untuk digandakan.

?Bagaimana ini, Kang??

Seakan-akan tak bisa lagi mendengar ujarku yang berbalut tangis, Kang Dirgo beranjak, berjalan lemah menuju kamar mandi. Sepuluh menit tak juga dia kembali. Tak enak hati, aku gegas menghampiri.

?Kang!?

Terlambat. Menghadap maut lebih dipilihnya daripada melangkah bersama untuk memperbaiki segalanya. Wajahnya memucat, dingin, mulut penuh busa dengan botol cairan pembersih lantai yang tergeletak di sampingnya.

Akulah Partiyah, janda yang sedang terlantung-lantung mendorong gerobak di jalanan sambil membawa emak yang tak lagi mampu berjalan. Akulah Partiyah, perempuan pemintal utang yang kini berkalung sengsara. (*Yulistya A3 Community Gresik)

Leave A Reply

Your email address will not be published.