Berita Nasional Terpercaya

Pernah Dapat Nilai “Jeblok”, Bagaimana Kisah Dosen Favorit UGM ini Raih Beasiswa ke Australia?

YOGYAKARTA, BERNAS.ID – “Kuliah di jurusan teknik geodesi itu bisa dibilang kecelakaan. Tapi, itu kecelakaan yang indah.”

Itulah kalimat yang dilontarkan oleh I Made Andi Arsana saat menceritakan kisah hidupnya kepada Bernas.id (6/6). Pria kelahiran Tabanan, Bali, 12 Mei 1978 itu mengaku memilih jurusan teknik geodesi sebagai bidang kajian yang didalamnya selama kuliah hanya karena ingin berbeda dari yang lain.

“Saya cuma ingin beda saja sama teman-teman saya, ingib yang antimainstream,” ungkapnya.

Berbekal kemampuan akademiknya yang gemilang, ia berhasil menembus seleksi masuk Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK).

Meski awalnya ia mengaku tak paham dengan bidang kajian teknik geodesi, niatnya untuk mendalami jurusan tersebut bukan hal yang main-main belaka. Terbukti, Andi hanya mengambil jurusan tersebut saat mendaftar PMDK.

“Kalau waktu itu saya nggak lolos, ya sudah masih mikir lagi mau kuliah di mana,” tambahnya.

Menjalani hari-hari di UGM

Menjalani hari-hari sebagai mahasiswa di kampus terbaik Indonesia tentu tidak mudah. Hal itu pula yang dirasakan oleh Andi.

“Setelah lulus, saya baru sadar kalau masuk UGM itu memang tidak mudah. Keponakan saya sendiri juga mencoba daftar UGM tapi nggak lolos,”ucap dia.

Awal masuk kuliah UGM Andi berkeinginan untuk fokus belajar tanpa mengikuti organisasi. Faktanya, ia justru merasa mendapatkan energi lebih ketika disibukan dengan aktivitas organisasi.

Andi juga sempat bekerja sebagai tentor di bimbingan belajar. Sebagai anak muda di zamannya, Andi pun tak ketinggalan dari romantisme masa muda.

“Ada orang yang justru merasa punya energi saat ia sibuk, loh. Saya dulu ya organisasi, sempat kerja, bahkan pacaran layaknya muda-mudi,” ceritanya.

Semua kesibukan yang dimiliki juga sempat membuat indeks prestasi-nya jeblok. Kemudian, ia mencoba melakukan evaluasi dan berhasil memperbaikinya.

“Ya, semua memang ada konsekuensinya. Karena berbagai kesibukan itu, saya harus mengurangi waktu tidur. Tapi, saya tidak menyesalinya karena semuaitu berguna untuk masa depan,” tambahnya.

Setelah berhasil menamatkan kuliahnya, Andi sempat meniti karier di berbagai perusahaan swasta seperti Astra dan Unilever.

Kemudian nekat meninggalkan karir cemerlangnya untuk mewujudkan mimpinya menjadi dosen.

“Kebetulan di UGM saat itu ada pendaftaran dosen. Saya tinggalkan pekerjaan saya. Nggak nyangka juga bisa diterima, padahal bisa kuliah di sana aja sudah syukur,” tambahnya.

Saat dirinya masih berstatus sebagai dosen muda, tahun 2003 Andi dikirim oleh UGM ke perbatasan Atambua untuk menelusuri perbatasan di wilayah tersebut.

“Selama di Atambua itu saya menelusuri lembah, sungai, dan hutan untuk meneliti perbatasan. Selama di sana, saya melihat bagaimana tentara harus bertugas menghalangi orang-orang yang akan masuk ke perbatasan, padahal yang dihalangi adalah orang-orang dari etnis dan ras yang sama,” tambahnya.

Bagi Andi, pengalamannya bertugas ke perbatasan Indonesia dan Timor Leste tersebut membuatnya tersadar bahwa politik ternyata bisa memisahkan orang-orang dari ras yang sama.

“Tentara yang bertugas itu pun harus berpisah dengan keluarganya. Yah, mereka hanya bisa menghibur diri dengan bacaan-bacaan yang sudah usang atau bacaan dewasa. Yah, padahal itu belum tentu membuat mereka merasa bahagia. Tapi apa boleh buat, hanya itu pilihan yang ada,” tambahnya.

Melihat hal itu, Andi juga menyadari bahwa ilmu geodesi yang ia pelajari selama ini ternyata memiliki aspek politis. Hal itu pun membuatnya bertekad kuat untuk belajar tentang ilmu perbatasan secara serius hingga ke benua Australia.

Baca juga: Ingin Masuk UGM? Simak Tips dari Salah Satu Pengajarnya

Mendalami ilmu perbatasan di benua seberang

Pilihannya untuk menjadi dosen berhasil membuka jalan bagi Andi untuk berkeliling dunia. Ia berhasil lolos dalam seleksi Australian Development Scholarship di UNSW Australia dengan jurusan Sistem Informasi Survei dan Spasial.

Andi bercerita bahwa hal yang berperan penting dalam membuatnya lolos seleksi beasiswa tersebut adalah keaktifannya dalam berorganisasi, bukan karena nilai yang didapatkannya selama kuliah.

“Bukan berarti nilai IPK itu nggak penting. Saya sendiri bukan lulusan cumlaude dan pernah dapat IP jeblok saat kuliah semester 5,” ucap dia.

Menurutnya, kemampuan leadership dan bukti nyata akan dedikasi terhadap negara Indonesia adalah kunci penting yang membuatnya lolos dalam beasiswa tersebut.

Karena itu, ia merasa beruntung bisa terlibat aktif dalam organisasi selama kuliah S1.

“Ada hal lain yang tidak diajarkan di kelas seperti ilmu leadership dan cara menyampaikan gagasan. Itu semua bisa kita dapatkan penuh saat terjun langsung ke lapangan,” tambahnya.

Andi mengatakan organisasi juga menjadi hal penting untuk mahasiswa. Sebab, dalam berorganisasi kita bisa belajar untuk membuka pikiran sekaligus etika berbicara yang baik.

“Banyak mahasiswa yang saya temui dalam seleksi wawancara tidak memiliki etika yang baik ketika berbicara, padahal pengalaman organisasi dan nilainya juga bagus,” ungkapnya.

Dari apa yang ia lihat tersebut, Andi menyarankan kepada mahasiswa untuk benar-benar memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin selama kuliah agar bisa menggali ilmu dan pengalaman sebanyak mungkin, bukan hanya sekadar mengejar nilai atau riwayat organisasi tanpa kontribusi nyata.

Baca juga: Kisah Rungu: Cerita Suka dan Duka Kuliah di Perancis (Bagian3)

Suka duka di Australia

Menjalani hidup di negeri orang tentu bukan hal yang mudah, begitu pula yang dirasakan oleh Andi. Sebelum berangkat ke Australia, Andi merasa telah memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang mumpuni.

Bahkan, ia juga sempat bekerja sebagai pemandu wisata dan mendapatkan bekal pelatihan berbahasa sebelum menginjakan kaki di benua seberang itu.

Sayangnya, setibanya ia di sana Andi justru merasa minder dengan kemampuan bahasa Inggrisnya. Hal tersebut juga sempat membuat ia kembali mencicipi pahitnya mendapatkan nilai buruk saat berkuliah.

“Bahasa Inggris yang diajarkan di Indonesia rata-rata mengikuti aksen Amerika. Nah, Bahasa Inggris di Australia aksennya berbeda.  Sempat saya selama beberapa bulan nggak paham apa yang diajarkan oleh dosen sampai nilai saya jeblok,” ucap dia.

Tak ingin kembali mendapatkan IP jelek seperti yang ia alami semasa kuliah S1, Andi mencoba melakukan evaluasi dan mencari cara untuk memperbaiki keadaan.

“Di Australia ada banyak akses ke learning center untuk membantu mahasiswa yang kesulitan belajar, Saya minta bantuan kesana lalu belajar lebih keras sampai mengurangi waktu tidur,” ucapnya.

Menurut Andi, lingkungan di Australia sangat mendukung untuk proses belajar mahasiswa. Selain tersedianya akses ke learning center, para pengajar pun juga sangat akrab dengan mahasiswanya.

“Di sana, manggil dosen hanya dengan sebutan nama saja tidak masalah. Kita bisa jadi lebih akrab dengan dosen. Kedekatan mahasiswa dan dosen disana tidak dibawa ke hal-hal personal. Meski dekat, kalau memang kita dapat nilai jelek, dosen akan memberikan nilai yang sesungguhnya,” ungkapnya.

Bahkan, saat awal-awal menginjakan kaki di Australia, dosen tempat ia belajar pernah memberikannya bantuan berupa alat makan karena tahu ia belum memiliki apa-apa.

“Dosen di sana sangat hangat ke mahasiswa. Hal itu saya coba praktikkan pada mahasiswa saya di UGM namun dengan batasan tertentu sesuai budaya di Indonesia. Bagaimanapun juga, adat dan budaya di Indonesia dan Australia kan berbeda,” ucapnya.

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.