Heboh soal Rencana Sembako Kena PPN, Bagaimana Penjelasannya?
BERNAS.ID – Sembilan bahan pokok (sembako) sedang ramai diperbincangkan publik karena disebut tidak lagi termasuk objek yang tidak dikenai pajak, dalam hal ini adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Wacana itu muncul dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pada pasal 4A.
Dengan begitu, sembako akan dikenakan PPN. Sebelumnya, pada Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017, kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak dikenakan PPN.
Menanggapi hal ini, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan tentang maksud dari wacana tersebut agar tidak disalahpahami oleh masyarakat.
“Saya bisa memaklumi reaksi spontan publik yang marah, kaget, kecewa, atau bingung. Eh, kenaikan tarif PPN berarti naiknya harga-harga dong. Apalagi ini pemulihan ekonomi. Pemerintah sendiri struggle dengan APBN yang bekerja keras, mosok mau bunuh diri? Begitu kira-kira yang saya tangkap.,” kicaunya di Twitter, Rabu (9/6/2021).
Yustinus menyebutkan, rencana ini tidak serta merta diterapkan di masa pandemi. Dia menilai, beleid tersebut dirancang untuk bersiap di waktu yang akan datang.
Ketika memasuki pasca-pandemi, negara harus kembali ke optimalisasi penerimaan pajak, yang diarahkan sebagai stimulus untuk menjamin sustainabilitas di masa mendatang. Sebagai informasi, kinerja perpajakan secara nominal mengalami kenaikan selama 5 tahun terakhir.
“Tapi belum optimal untuk membiayai banyak target belanja publik agar kita transform lebih cepat. Terlebih 2020, karena pandemi penerimaan pajak tergerus cukup dalam. Kita justru kasih insentif,” jelasnya dalam akun @prastow.
Dia mengatakan, kinerja PPN Indonesia masih di bawah Thailand dan Singapura. Menurutnya, itu karena di dalam negeri masih banyak pengecualian dan fasilitas PPN.
“Indonesia negara dg pengecualian terbanyak. Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jd ruang penghindaran pajak,”cuitnya.
Yustinus menambahkan, selama ini negara belum mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi kebutuhan pokok, baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan.
Dengan begitu, kelompok masyarakat menengah ke bawah seharusnya dikenai tarif yang lebih rendah atau kurang dari 10%. Sementara, kelompok masyarakat atas akan dikenai PPN lebih tinggi.
“Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong,” kicaunya.
Dia meyakini pemerintah tidak akan membabi buta dalam memungut PNN ini. Penerapan beleid ini juga akan dilakukan secara bertahap sambil menunggu pulihnya perekonomian.
Di sisi lain, pemerintah memperkuat perlindungan sosial dengan terus memperbanyak bantuan sosial dan subsidi yang tepat sasaran.
Jenis Sembako
Dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, PPN atau VAT (Value Added Tax) merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, artinya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak, dengan kata lain penanggung pajak atau konsumen akhir tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Saat ini, Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10%. Tarif ini diwacanakan akan naik menjadi 12%. Namun dalam revisi UU No.6 Tahun 1983 yang diajukan pemerintah terdapat pasal yang menyebutkan tarif PPN 12% dapat diubah paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Terkait dengan rencana pengenaan PPN pada sembako, kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak adalah:
1. beras
2. gabah
3. jagung
4. sagu
5. kedelai
6. garam konsumsi
7. daging
8. telur
9. susu
10. buah-buahan
11. sayur-sayuran
12. ubi-ubian
13. bumbu-bumbuan
14. gula konsumsi