INDEF: Kapasitas Birokrasi Pemerintah Tidak Kokoh Hadapi Covid-19
BERNAS.ID – Kapasitas birokrasi pemerintah dianggap tidak dirancang untuk kokoh dalam menghadapi hal-hal yang serba mendadak, termasuk ketika menangani pandemi Covid-19 yang telah berlangsung lebih dari satu tahun.
Seperti diketahui, pemerintah telah memperpanjang PPKM Level 4 sampai tanggal 2 Agustus 2021 guna menekan laju penyebaran virus corona, yang kian meluas.
Apa itu PPKM pandemi? PPKM adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat selama pandemi. Saat ini, pemerintah membagi PPKM dalam beberapa level, yang sebelumnya disebut sebagai PPKM Darurat.
PPKM Level 4 menjadi level yang tertinggi karena angka kasus positif Covid-19 suatu daerah juga tinggi atau lebih dari 150 orang per 100.000 penduduk per pekan.
Baca Juga: Resmi! PPKM Level 4 Diperpanjang hingga 2 Agustus 2021
Performa penanganan Covid-19 yang lambat salah satunya diakibatkan oleh birokrasi pemerintah yang tidak kuat, baik di pusat maupun daerah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dhenny Yuartha menyatakan tingkat penyebaran Covid-19 di daerah memang berbeda, begitu pula dengan kebiasaan masyarakat dan tingkat kapasitas birokrasi.
Namun, kebijakan oleh pemerintah pusat malahan tidak mempersingkat struktur yang sudah rumit. Hal itu tercermin dari penamaan istilah pembatasan pergerakan atau mobilitas masyarakat, seperti PSBB, PSBB Ketat, PPKM, Penebalan PPKM Mikro, PPKM Darurat, dan kini PPKM Level 1-4.
“Ketika Covid masuk (ke Indonesia) dan kapasitas birokrasi nggak cukup kuat dalam menangani hal ini, makanya berbagai peforma penanganan Covid yang lambat itu terjadi,” katanya dalam Diskusi Publik bertajuk PPKM: Gonta Ganti Strategi, Ekonomi Kian Tidak Pasti, Senin (26/7/2021).
“Birokrasi kita sejak awal memang tidak didesain untuk kuat atau kokoh dalam menghadapi hal-hal yang serba mendadak,” imbuhnya.
Dia menyebutkan pemerintah perlu menyiapkan prinsip dan tujuan yang jelas dalam penanganan Covid-19. Dengan begitu, pemda dapat menerjemahkan dan mengimplementasikan kebijakan.
Selain itu, pemerintah juga harus membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan, dengan transparasi data penyebaran atau tingkat keparahan Covid-19.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Turun Kelas, Penyebabnya Pandemi atau Oligarki?
“Paling penting yaitu tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap kepemimpinan. Tapi ini masih jadi persoalan akut,” ujarnya.
Logika Penanganan Wabah
Dhenny memaparkan tiga logika penanganan wabah bersumber dari literatur Kvalsvig & Baker (2021), yang bisa diimplementasikan di level pusat dan daerah:
- Transmisibilitas
Kebijakan awal dalam penanganan sebuah wabah bisa dilakukan dengan pelacakan sehingga dapat menurunkan risiko penularan. Selain itu, penerapan protokol kesehatan dengan menjaga jarak, memperbanyak ventilasi, penggunaan masker, kebersihan tangan, dan penanganan infeksi di fasilitas kesehatan.
- Tingkat interaksi
Pembatasan mobilitas masyarakat yang ketat diterapkan untuk mengurangi tingkat interaksi pasien rentan dan terinfeksi. Hal-hal yang terkait hal itu seperti isolasi kasus dan karantina, bekerja di rumah, penutupan sekolah, pembatasan sosial dan pengaturan lalu lintas.
- Durasi (Infektivitas virus)
Berikutnya adalah menurunkan durasi infektivitas virus. Apabila transmisi penularan tidak dapat dicegah dan interaksi sulit untuk diakomodir, maka langkah yang harus diambil adalah percepatan vaksinasi.
Ketiga logika tersebut memang telah diimplementasikan oleh pemerintah, namun tidak secara ketat, tegas, dan cepat. Persoalan utamanya berkaitan dengan level sumber daya pada birokrasi pemerintahan.
Apalagi kebijakan penanganan Covid-19 masih dipengaruhi oleh komitmen politik. Belum lagi ketika awal pandemi terjadi di China, pemerintah abai dan cenderung mengeluarkan pernyataan yang tidak tepat.
“Bagaimana logika 1-3 bisa ditangani kalau misalkan langkah pengendaliannya saja masih denial. Awal-awal, pemerintah bilang kita cenderung kebal Covid dan sebagainya,” kata Dhenny.
“Pemerintah tidak memprediksi kita ini punya persoalan yang justru lebih mengerikan lagi, bagaimana pandemi ini tidak dapat diatasi dengan birokrasi yang normal,” imbuhnya.
Baca Juga: PPKM Level 4, Tito: Makan 20 Menit Cukup!
Ketika pandemi muncul sekitar November-Desember 2019, pemerintah kecolongan dengan masuknya ratusan ribu warga negara asing dari China. Padahal, negara lain telah menutup akses kunjungan WNA. Begitu pula dengan gelombang kedua Covid, di mana negara telat mengantisipasi dengan kedatangan warga dari India.
“Manajemen kasus pelacakan jadi persoalan, padahal ini penting dalam mengatasi risiko penularan virus. Kalau belajar dari Selandia Baru, bahkan mereka mendeteksi penularan hingga menggunakan CCTV hotel,” ucap ini Dhenny.
“Ini yang semestinya sejak awal dipahami karena ketika Covid masuk, ini akan jadi persoalan besar di Indonesia karena kapasitas birokrasi pemerintah pusat dan pemdanya,” tuturnya.