Berita Nasional Terpercaya

Jalan Berliku dari D-3 ke S-3

0

Jalan Berliku dari D-3 ke S-3

Cerita ini tentang proses berpikir, merasakan, dan menetapkan kemauan untuk bertindak (action) dipersembahkan kepada para remaja. Remaja saat ini berpeluang menjadi pemimpin Indonesia Emas tahun 2045. Dibidang yang ditekuni.

Jika mampir ke Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada (UGM), cobalah singgah sebentar ke ruang Window of the world (WOW) yang ramah untuk siapa saja. Jika kamu beruntung, di antara beberapa staff di ruangan itu, kita akan bertemu dengan satu perempuan dengan senyum lebar di suatu sudut dengan meja yang dikelilingi oleh hijau dedaunan yang berkesan teduh. Perempuan itu bernama lengkap Safirotu Khoir atau bisa dipanggil dengan Safira. Beberapa penggal cerita tentang perjalanannya akan kita nikmati bersama di rubrik ini. 

Dalam kehidupan fana ini, gagal dan berhasil memang berlomba menghiasi dan menjadikan kehidupan ini arena luas untuk selalu bertumbuh. Safira, sosok dengan perawakan kecil itu, mulai bercerita tentang kehidupannya sampai dia meraih gelar doktor dari Australia. Perjalanan akademiknya dimulai sejak sekolah jenjang D3. Mengapa kok D3? Mengapa tidak S1 saja? Dia sering kali dihujani pertanyaan mengelitik itu. Biasanya dia dengan enteng tanpa rasa gengsi akan menjawab, “Ya karena saya gagal masuk UGM. Hehe. Pengen sekali masuk menjadi mahasiswa di UGM”. Baginya, kegagalan itu adalah pukulan “telak”, layaknya sang pelari yang telah melakukan persiapan matang, mencapai skor untk menang, tapi kalah karena jatah pemenang lomba hanya juara 1, 2 dan 3 saja. Bagaimana tidak telak, selepas SMA dari sebuah kota kecil di pesisir pantai utara, dia berangkat ke Yogyakarta untuk mengikuti bimbingan belajar intensif selama 3 bulan untuk memastikan persiapan terbaik untuk masuk kampus idaman yaitu UGM. Berdua dengan saudaranya, setiap hari dihabiskan untuk belajar bersama dan menggeluti trik dan strategi soal-soal ujian masuk yang sangat mengintimidasi itu. Setiap hari mereka berdua berangkat ke tempat bimbingan dan pulang ke kos sembari mengayun langkah riang semangat dan menyembunyikan hati yang was-was menanti nasib digelar. Ketika pengumuman hasil UMPTN, Safira harus menerima kenyataaan bahwa saudaranya yang merupakan teman satu kamar kos diterima di Fakultas Kedokteran UGM, dan Safira harus memeluk kegagalan dan kesedihannya sendiri. Gagal! Beberapa malam dihabiskannya dengan gamang dan merenungi nasib. Air matanya menjadi kawan akrab nan setia. 

But yeah…this is life. Tekadnya untuk kuliah dan mandiri membuatnya harus “banting setir” ketika gagal sudah terhampar. Dalam keputusan yang tidak terlalu stabil, Safira mengambil jalan untuk kuliah D3 di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta. Kampusnya saat ini sudah tidak ada, melebur menjadi Universitas Teknologi Yogyakarta. Karena tak ingin bergaul akrab dengan matematika, belajar bahasa asing menjadi pilihan teratas di antara beberapa opsi. 

Baca juga : LPDP dan Kemendikbud Ristek Berikan Beasiswa Khusus Vokasi Lewat Kampus Merdeka

Waktu memang membantu mengeringkan “luka lama” akan suatu ketidakberhasilan menjadi mahasiswa kampus biru di kota pelajar. Waktu pula yang menjadi saksi bahwa kuliah D3 berjalan lancar dan Safira bahkan sempat mendapatkan beasiswa Supersemar untuk mahasiswa berperestasi. Pada semester 4, ada satu kesempatan untuk menjadi asisten dosen di UGM. Safira mencoba dan… berhasil! Hidup ini kadang lucu ya, di antara kegagalan yang sudah diikhlaskan dan dilupakan, akhirnya mimpi itu terwujud. Safira berhasil masuk ke UGM, walaupun bukan sebagai mahasiswa. Setelah menyelesaikan D3 sembari bekerja sebagai asisten dosen di UGM, Safira merasa tidak cukup hanya berbekal D3 walaupun sudah mendapatkan kerja di UGM. Diputuskannya untuk melepas peran sebagai asisten dosen dan melanjutkan S1 di Universitas Padjadjaran Bandung agar dirinya tak hanya “mentok” menjadi asisten dosen.

Usai S1, Safira kembali ke UGM dan menjadi dosen di D3 Ilmu Perpustakaan UGM. Dengan keahliannya dalam berbahasa Inggris, lulusan S1 Universitas Padjadaran itu bekerja di Perpustakaan UGM sebagai staff yang menghandle tamu – tamu Internasional. Setahun kemudian, ada kesempatan dari Australia untuk melanjutkan S2. Keasyikannya berada di dunia perpustakaan sempat membuatnya bingung, apakah harus tetap dalam jurusan Bahasa Inggris atau pindah jurusan? Berbagai diskusi dan eksplorasi pun dia mulai. Sadar bahwa jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan adalah jurusan yang tak terlalu diminati namun menjanjikan, Safira pun yakin pindah jurusan. Beberapa pandangan orang bahwa jurusan ini tidak bergengsi pun dia terima. Tapi tidak demikian yang dia pikir. Jika jurusan ini langka, tak banyak orang mau, maka justru ini kesempatan bagus untuk berkembang dan mengembangkan diri. Dia pun akan makin bangga bergelar jurusan langka. Setelah melalui rangkaian seleksi admin ketat dan proses yang sungguh tidak mudah, bahasa Inggris dan interview, Safira pun menjadi salah satu penerima beasiswa Australian Partnership Scholarship (APS) dan bersanding dengan sosok-sosok bersemangat di negeri ini.

Mengenyam kehidupan baru di negeri kangguru pun dia jalani dengan penuh seluruh. Empat unit course per semester dan tutorial dalam kelas membuatnya sibuk, tapi dia jalani dengan tekun. Pada saat yang sama, network pertemanan internasionalnya pun meluas. Tidak hanya pengalaman belajar, namun dia juga berhasil mendapatkan project substansial di Curtin University, sebuah kampus yang sangat berkembang di Australia bagian barat. Melalui seleksi ketat dengan banyak pelamar, sebuah project bergengsi menerima Safira menjadi salah satu project teamnya. Project ini fokus untuk mempreservasi karya penting dari Elizabeth Jolley (seorang sastrawan kelahiran Inggris yang hidup di Australia) untuk menjadi online reliable research collection sehingga lebih termanfaatkan.

Usai S2, Safira kembali ke UGM. Kali ini dengan tugas dan tangungjawab yang lebih tentunya. Masih melanjutkan tugas untuk menghandle urusan internasional, Safira juga aktif mengajar di S2 Manajemen Informasi dan Perpustakaan (MIP), Sekolah Pascasarjana UGM. Berjalan sekitar 4 tahun berlalu dalam proses mengajar, ternyata harus disadari bahwa mengajar S2 ternyata tidak cukup hanya berpendidikan S2. Ada kebutuhan yang berkembang, baik secara personal dan kebutuhan secara institusional, untuk mengepakkan sayap lebih lebar dengan pendidikan doktor.

Baca juga : 4 Beasiswa Australia yang Cocok untuk Pelajar Indonesia

Perjuangan mencari sekolahpun dimulai. Negeri Kangguru masih menjadi pilihan utama dengan pertimbangan  ketersediaan supervisor yang akan mendampingi. Setelah berjuang dengan lika-liku drama, dan dengan dukungan suami dan keluarga, akhirnya Safira berhasil berangkat ke Australia dengan beasiswa Australia Awards untuk yang kedua kalinya. Dia pun berkesempatan menimba ilmu level S3 nya di University of South Australia yang berada di Adelaide, sebuah kota kecil di Australia Selatan. Jika ditanya mengapa bisa mulus mendapat beasiswa Australia yang saingannya super berat itu? Safira enteng riang menjawab, “Gak tau ya, mungkin saja karena jurusan saya ini kategori “langka”, hingga di sesi interview saya hanya mengatakan, kalaupun saya diterima dan diberi kesempatan meraih gelar doktor, jumlah doktor bidang ini di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari. Negeri ini butuh lebih banyak lagi”. Sebagai catatan, sampai saat ini pun lulusan doktor dalam bidang Informasi dan Perpustakaan masih sangat sedikit. Tapi tentu saja tidak mudah mendapatkan beasiswa prestigious itu jika tanpa usaha, persiapan, kerja keras dan doa yang mengiringi. 

Saat ini, Safira aktif bekerja di Perpustakaan UGM dan menjadi staff pengajar di S2 Manajemen Informasi dan Perpustakaan (MIP), UGM. Karya akademiknya sudah menghiasi jurnal dan konferensi internasional, book chapter bereputasi baik. Selain sering diminta menjadi pembicara dalam forum akademik, dia juga aktif berperan dalam Association for Information Science and Technology (ASIS&T) sebagai sekretaris area Asia Pacific 2020. 

Dalam perbincangan penutup, dia menuturkan, “sebenarnya saya sadar bahwa saya bukan terlahir sebagai manusia jenius yang tiba-tiba bisa mendapat sesuatu tanpa usaha keras, saya hanya berusaha mengerti konsep dari sesuatu secara menyeluruh. Saya sering sekali mengulang-ulang dan mengotak-atik sesuatu untuk lebih memahami apa yang saya dapatkan. Saya akan mempelajari atau mempersiapkan sesuatu sampai saya puas dan menjadikan kegagalan sebagai ruang bertumbuh. Sehingga ketika kita merasa optimal dalam berusaha dan ternyata mendapat jatah gagal, kita tidak menyesal”. 

Menyikapi kegagalan dengan wajar itu perlu karena kita tidak pernah paham apa yang akan menjadi nasib kita ke depan. Dalam dunia pendidikan dan keilmuan, jurusan apapun yang kita ambil, akan selalu maksimal jika kita yang di dalamnya juga fokus dan bangga. Dunia ini penuh dengan pintu-pintu, jika satu pintu tertutup, mungkin saja kita bisa masuk lewat pintu lain. 

Sampai jumpa lagi suatu saat di masa Indonesia Modern dengan rakyat cerdas merata, sehat jiwa raga, dan sejahtera serta berbahagia. (Intan Auvia Whatsapp : +62 858-7768-1197).

Leave A Reply

Your email address will not be published.