Berita Nasional Terpercaya

Psikolog dan Akademisi Tia Rahmania, Putri Daerah yang Berhasil Raih Cita di Ibu Kota

0

BERNAS.ID – Namanya kerap disebutkan dalam sejumlah artikel tentang perkembangan psikologi anak dan remaja. Dia juga menyalurkan keilmuannya dengan menjadi dosen.

Kini, perempuan ini juga mengemban amanat sebagai Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina. Seorang ibu yang selalu menjadi inspirasi bagi orang sekitarnya.

Dia adalah Tia Rahmania, M.Psi. Berasal dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Tia berhasil membuktikan kegigihannya dalam meraih asa di Ibu Kota.

Dimulai dengan mengumpulkan berbagai prestasi, Tia begitu bahagia menginjakkan kaki di Jakarta setelah terpilih sebagai siswa teladan nasional. Namun, perjalanan hidupnya tidak berhenti di situ.

Baca Juga: Cerita Reza Y Purwoko, Dokter dan Peneliti Stem Cell yang Awalnya Ingin Jadi Insinyur

Masih ada banyak kisah yang dia bagikan agar bisa menjadi inspirasi bagi sesama. Tentu saja, cerita itu tidak bisa dipisahkan dengan kenangan masa kecilnya yang menyatu bersama alam. 

Bersahabat dengan Alam

Lahir di Palangkaraya, anak kedua dari tiga bersaudara ini menghabiskan waktunya di kota tersebut hingga SMA. Sejak kecil, Tia melihat kedua orangtuanya sangat aktif menjalani profesinya sebagai Pegawai Negeri Sipil atau PNS.

Dia menyaksikan ayah dan ibunya bolak-balik dari Palangkaraya ke Jakarta untuk melaksanakan tugas. Tia kecil penasaran seperti apa rupa Ibu Kota.

Namun, tentu saja dia tidak mungkin ikut kedua orangtuanya yang ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Belum lagi, harga tiket pesawat ketika itu masih sangat mahal. Tia menghabiskan hari-harinya bersama alam. Setiap pulang sekolah, dia sering memanjat pohon dan mengambil buah-buah. 

“Kami termasuk masyarakat yang lebih dekat dengan alam.Hutan masih banyak. Di Kota Palangkaraya juga masih dekat hutan,” katanya.

“Halaman rumah juga luas. Saya ingat setiap pulang sekolah memanjat pohon buah tanaman ibu saya, terus lempar-lemparin biji jambu ke bawah,” ujarnya.

Siapa sangka, dari pengalaman itulah Tia dewasa menyadari dirinya telah melakukan kegiatan yang menstimulasi sensorinya.

“Main nggak pakai sandal, merasakan tajamnya batu, menyentuh pasir, berlari, memanjat pohon, itu ternyata melatih keseimbangan sensori. Sekarang ini di perkotaan, itu jadi hal yang sangat mahal,” jelasnya.

Strategi untuk Berprestasi

Tia kecil masih berpegang pada keinginannya untuk sampai ke Ibu Kota. Dia melihat ada peluang ke sana dengan menjadi siswa teladan.

Sejak itu, dia mengatur strategi untuk bisa terpilih sebagai siswa teladan. Ia mengamati keperluan apa saja yang dibutuhkan untuk bisa berprestasi.

Baca Juga: Donni Prabowo, Entrepreneur Muda Pegiat Ekosistem Startup Lokal

Tentu selain belajar, Tia mulai mengikuti berbagai kegiatan dan perlombaan untuk mengasah kemampuannya. Sertifikat-sertifikat kejuaraan perlahan-lahan dikumpulkan.

“Saya mengatur strategi memang. Jadi apa sih yang dinilai. Saya belajar dari kakak saya, dia banyak kegiatan, mengumpulkan sertifikat, atau prestasi,” ucapnya.

Tak hanya akademik, Tia juga mengikuti berbagai kegiatan organisasi seperti OSIS dan Pramuka. Dia juga melatih bakat menari dan baca puisi. 

Strategi tersebut pada akhirnya mengantar Tia ke Jakarta setelah ia terpilih sebagai Siswa Teladan Nasional pada 1992 (SMP) dan 1995 (SMA).

Fisika dan Psikologi

Tia menempuh bangku SMA dengan memilih penjurusan Fisika, sebuah hal yang berbeda dengan bidang yang kelak ia tekuni. Pada suatu ketika, sang ayah memberinya buku tentang informasi berbagai jurusan dan universitas di Indonesia. Lalu, dia membaca tentang ilmu psikologi dan mulai penasaran,

“Jadi psikologi itu mempelajari manusia, bagaimana manusia berinteraksi dengan manusia lain, bagaimana manusia bisa mempengaruhi atau dipengaruhi lingkungan sosial dan sebagainya,” ucapnya.

Karena berbagai prestasinya semasa sekolah, langkah Tia untuk meneruskan kuliah terasa lebih mudah. Dia berhasil mendapatkan kesempatan untuk kuliah di dua universitas negeri.

Namun, hatinya tetap menuntunnya pada pilihan berbeda dengan jurusan Fisika, seperti yang ia pelajari ketika SMA. Ya, Tia akhirnya memutuskan untuk belajar psikologi di Universitas Indonesia.

Jika saat itu dia terbiasa untuk memecahkan permasalahan dengan rumus-rumus fisika, ternyata psikologi menawarkan hal lain. Dia memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan keilmuan, yang pada awal kuliah harus lebih banyak berhadapan dengan hafalan.

Tak heran, apabila pada semester-semester awal ia sempat keteteran. Bahkan, nilainya juga tidak secemerlang seperti dulu. Tia berusaha untuk bangkit dan tetap aktif dalam berbagai organisasi.

Baca Juga: Perjalanan Yudi Darma, Mencintai Fisika hingga Menjadi Guru Besar ITB

“IP saya nggak terlalu tinggi amat, standar saja. Rata-rata nggak sampai 3 koma di semester awal, tapi don't worry, saya paham saya nggak senang hafalan,” katanya.

“Saya baru keluar dari daerah, saya ingin eksplor di kampus yang pada saat itu yang paling bagus. Saya manfaatkan waktu di akademik dan nonakademik,” imbuhnya.

Menurutnya, sebagai seorang individu, kita harus banyak mengeksplor banyak hal sehingga membantu dalam pencarian passion. Dari situ, kita akan paham dengan keunggulan dan kelemahan diri.

Bagian yang unggul itulah yang harus terus diasah. Apabila sudah menemukan passion, maka langkah selanjutnya juga tak kalah penting yaitu jangan membandingkan diri dengan orang lain.

“Setelah menemukan itu, jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Karena kamu adalah kamu. Yang sekarang ini adalah untuk masa depan,” ujarnya.

“Walaupun teman kamu punya pencapaian lebih, boleh dilihat. Kalau dia melakukan itu karena suka bidang itu, belum tentu kamu juga suka,” imbuhnya.

Menyukai Anak-anak dan Pendidikan

Setelah lulus S1, Tia melanjutkan Magister sebagai psikolog di Universitas Indonesia. Namun sebelum itu, dia sempat mengajar anak-anak prasekolah selama satu tahun.

Siapa sangka, momen itu menyadarkan bahwa dirinya sangat menyukai anak-anak. Dia mengaku, sebelumnya dia tidak telaten mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan anak-anak.

“Ternyata (anak) lucu juga, akhirnya dari situ S2 saya magister psikologi dengan major perkembangan anak, minornya industri organisasi,” ucapnya.

Selalu ada sisi kekanak-kanakan dari setiap orang dewasa. Begitu katanya ketika ditanya mengapa memilih mempelajari psikologi anak.

Selain itu, apapun yang berhubungan dengan tumbuh kembang anak dan remaja selalu berkaitan dengan orangtua atau dewasa awal dan pertengahan.

“Ditambah ilmu psikologi sebagai dosen, kemudian baca jurnal, buku, jadi praktik juga, saling melengkapi. Akhirnya tulisan saya dan karya-karya saya itu ya temanya seputar anak,” katanya.

Selain sebagai dosen, saat ini Tia menjabat sebagai Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina. 

“Yang pasti apapun yang diberikan ke saya, amanah itu saya lakukan sebaik-baiknya,” ucapnya.

Ada kisah menarik terkait penamaan nama fakultas Falsafah dan Peradaban. Nama itu diberikan oleh pendiri Universitas Paramadina Prof. Dr. Nurcholish  Madjid atau yang dikenal sebagai Cak Nur. Dia mengatakan, sebagai cendekiawan Muslim, Cak Nur begitu mengagumi peradaban Islam di masa lalu yang terbuka, inovatif, dan kreatif.

“Beliau ingin kita menjaga keberlanjutan untuk menyerap unsur-unsur terbuka, inovatif, kreatif, dalam unsur akademik,” ujarnya.

Fakultas yang membawahi beberapa program sarjana, termasuk psikologi ini membawa cita untuk menerapkan keilmuan dengan kebijaksanaan.

Kecintaan akan kebijaksanaan ini dipakai untuk mengembangkan kebudayaan Islam, yang dikoneksikan dengan pertumbuhan pengetahuan, inovasi, dan kreativitas sehingga mencapai peradaban yang madani.

Memberi Manfaat

Sebagai seorang psikolog, Tia menyadari semakin banyak orang yang menyadari kebutuhan terkait kesehatan mental di masa pandemi. Banyak individu yang stres akibat perubahan yang terjadi.

Tak hanya itu, dari segi pendidikan, dia menyebut jumlah mahasiswa yang ingin mendalami ilmu psikologi juga semakin meningkat.

Baca Juga: Kisah Irzan Nurman, Jembatani Dunia Kedokteran dengan Teknologi dan Bisnis

“Kalau sekarang termasuk program studi yang dicari oleh mahasiswa baru. Itu tren perkembangan mahasiswa baru di psikologi Universitas Paramadina selama 3 tahun ini terakhir terus meningkat,” jelasnya.

Tia telah berpengalaman selama 17 tahun sebagai psikolog. Namun, masih ada beberapa hal yang ingin dicapai, seperti membesarkan anak-anaknya untuk menggapai cita. Menurutnya, keluarga merupakan struktur organisasi terkecil yang sangat mempengaruhi individu di dalamnya, termasuk anak-anak.

Selain itu, dia juga ingin semakin bermanfaat bagi masyarakat, baik melalui ilmunya maupun untuk membantu mendukung kesehatan mental masyarakat. Ada pedoman hidup yang selalu menuntunnya dalam kehidupan sehari-hari.

“Pedoman saya, pertama berusaha. Ketika jatuh bangkit lagi, usaha lagi, sambil berdoa dan berpikir positif,” ucapnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.