Berita Nasional Terpercaya

Jatuh Cintalah, dan Semesta Membalasnya

0

Jatuh Cintalah, dan Semesta Membalasnya

Hai, sahabat remaja, sungguh unik jalan kakak seniormu ini. Selamat membaca.

“Saya tidak pernah menyangka bahwa sekarang saya ada di Jerman, menyelesaikan pendidikan jenjang paling tinggi, mengenal dunia-dunia baru, dan mengembangkan ilmu sastra ke wilayah yang lebih luas,” tutur Ramayda Akmal, dosen muda di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Universität Hamburg, Jerman. 

“Semua dimulai dengan kebiasaan masa kecil saya, yaitu membaca. Apa saja, di mana saja. Mungkin sebagian orang berpikir itu adalah kebiasaan yang mewah, yang membutuhkan waktu luang dan situasi yang nyaman. Namun bagi saya, itu bukan latar belakang sebenarnya untuk membaca. Saya membaca buku-buku bekas, majalah yang sudah digunting-gunting, buku-buku pelajaran paman dan bibi saya yang beberapa tahun lebih tua dari saya, atau buku panduan memasak dan menjahit yang dibawa Ibu saya dari sekolahnya. Saya membaca sambil bekerja membantu ibu, atau membantu teman saya yang orang tuanya pembuat tempe kedelai, yang mendapatkan banyak koran-koran atau buku bekas sebagai pembungkus. Koran atau buku-buku bekas itu seringkali kehilangan lembar-lembar terakhirnya, atau sobek di bagian tertentu, sehingga saya harus menebak bagaimana akhir cerita yang saya baca itu. Keadaan ini tidak pernah mengurangi niat atau kebahagiaan saya membaca. Sejak awal saya sudah terbius dengan kehebatan kata-kata, dengan dunia cerita. Bahkan saya tidak menyadarinya sebagai hobi, karena itu benar-benar menjadi kebiasaan saya.” Lanjut Ramayda, yang juga seorang novelis yang telah menerbitkan dua novel berjudul Jatisaba (2015) dan Tango & Sadimin (2019).

Bagi Ramayda, kebiasaan masa kecil itulah yang tanpa disadari menunjukkan jalan untuk menjadi dirinya yang sekarang ini. Ia juga bercerita, setelah fase membaca, ia mulai menikmati fase menulis terutama sejak di bangku sekolah menengah pertama. Dengan teman-temannya, ia mengarang cerita-cerita pendek yang bersumber dari pengalaman sehari-hari. Seringkali cerita pendek itu bertokohkan tetangganya atau teman-temannya sendiri. Cerita itu ditulis tangan di buku tulis dan disirkulasikan ke teman-teman sekolahnya. Lagi-lagi, bagi Ramayda, menulis itu menjadi kegiatan sehari-hari yang tidak bisa dipisahkan dari hidupnya. Kebiasaan itulah yang kemudian membuat ia memutuskan untuk memilih jurusan Sastra Indonesia UGM sebagai pilihan pertama ketika ia hendak melanjutkan studi ke jenjang sarjana.

Ia yang merupakan anak dari keluarga sederhana yang tumbuh di daerah pesisir selatan Cilacap merasa kejatuhan bulan ketika benar-benar diterima di UGM, di jurusan Sastra Indonesia, yang selama ini nama besarnya cuma ia dengar dari jauh.

Baca juga: 4 Beasiswa Australia yang Cocok untuk Pelajar Indonesia

Di jurusan Sastra Indonesia itulah, ia mendapatkan pemahaman baru tentang membaca dan menulis, terutama sastra. Kegiatan yang dulunya sama dengan aktivitas sehari-hari yang lain, tiba-tiba menjadi sebuah objek baru yang ia pelajari secara formal. Kenyataan itu membuatnya sangat antusias di satu sisi, tetapi juga kaget di sisi yang lain. Ada saat-saat ia takut menulis dan merasa tidak bisa lagi menulis setelah mengetahui teori-teori baru kesastraan. Ditambah dengan keharusan bekerja paruh waktu untuk membantu perekonomian orang tua, Ramayda mengaku sempat kehilangan energi untuk menggeluti bacaan seperti waktu dulu. Apalagi saat itu, beberapa saudara jauh juga kerap mempertanyakan dan mengkhawatirkan masa depan orang-orang lulusan jurusan sastra. Namun, semua itu tidak membuat Ramayda berhenti. Di sela-sela waktu kerjanya, ia berhasil merampungkan manuskrip novelnya yang berjudul Jatisaba dan memberanikan diri mengirimkannya ke sayembara Menulis Novel DKJ tahun 2010. Novel itu berhasil menjadi satu dari empat novel unggulan yang memenangkan sayembara tersebut dan telah dicetak ulang beberapa kali, dan bahkan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Momen inilah yang menjadi salah satu pendorong terkuat Ramayda, untuk semakin menggeluti dunia sastra, baik sebagai penulis, pembaca atau peneliti seperti yang diajarkan di kuliahnya.

Setelah merampungkan sarjana di tahun 2009, Ramayda kemudian melanjutkan studi jenjang master di FIB UGM. Pada masa itu, Ramayda semakin menggeluti sastra secara akademis dan mulai magang di almamaternya sebagai asisten. Ia sangat menikmati kegiatan belajar-mengajar tersebut. Meskipun ia tidak pernah berkata bahwa cita-citanya adalah menjadi pengajar, tetapi ibunya yang seorang guru, telah dan selalu menjadi inspirasi terbesarnya dalam hal ini. Sejak kecil, ia selalu mendengar pengalaman-pengalaman mengajar ibunya yang kadang menyenangkan dan lucu, tetapi juga seringkali mengharukan. Satu pesan yang selalu ia ingat dari ibunya sampai sekarang, yang selalu memantapkan jalan Ramayda adalah: Dengan mengajar, kamu tidak akan berhenti memberi.

Baca juga: 5 Beasiswa Korea Selatan yang Bisa Kalian Coba, Cocok untuk Penggemar K-Pop

Ramayda pun meraih gelar master di tahun 2012 sebagai lulusan terbaik FIB UGM. Tesisnya juga menjadi salah satu tesis terbaik di tahun itu, yang kemudian diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press dengan judul  Melawan Takdir: Subjektivitas Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Perburuan (2015). Sejak itu pula, ia diangkat menjadi dosen muda di almamaternya, Jurusan Sastra Indonesia, UGM. Sembari menimba pengalaman, keinginan dan kebutuhan untuk studi lanjut pun muncul sebagai prioritas. Ketika jurusannya mendorong Ramayda untuk studi di luar negeri, ia pun merasa sangat tertantang. Ia ingat nasihat senior-seniornya yang mendorongnya ke luar negeri kala itu. “Menjadikan seseorang pintar, bisa dilakukan di mana saja, juga di UGM ini. Namun, menjadikan seseorang berpengalaman, mengetahui dunia yang jauh, masyarakat yang berbeda, membutuhkan kesempatan yang juga berbeda. Itulah alasan mengapa kamu perlu ke luar negeri.”

Meskipun rasa takut dan tidak percaya diri sempat bergelayut sebab ia tidak memiliki bayangan sama sekali tentang luar negeri, pun kemampuan bahasanya masih terbatas, Ramayda menerima tantangan itu. Sempat bolak-balik menjalankan wawancara dan mencari universitas, tahun 2015 ia diterima di Universität Hamburg, Jerman. 

Ketika ditanya, rahasia dibalik seluruh kesuksesan yang telah ia peroleh, Ramayda menyela dan mengoreksi beberapa hal sebelum memberikan kalimat penutup. Baginya, kesuksesan itu bukan disusun atas sukses terus menerus. Sukses juga dan justru disusun oleh kegagalan, kekacauan, bahkan kebodohan. Dia mengaku, sampai sekarang lebih sering gagal daripada sukses. Namun, kegagalan itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang berlawanan dengan sukses, justru sesuatu yang bersandingan, sesuatu yang justru harus ada untuk menjadi sukses.

Elemen lainnya, yang Ramayda akui terdengar klise, tetapi penting dan nyata adalah cinta. Kalau bukan karena cinta, Ramayda tidak mungkin dengan senang hati dan bahkan tanpa disadari menggeluti sastra sejak kecil sampai sekarang. Jadi, sebelum melakukan atau memilih sesuatu, cintailah sesuatu itu terlebih dahulu. Dengan demikian, waktu yang dihabiskan untuknya, energi dan pengorbanan yang diberikan untuknya, tidak pernah terasa sia-sia. Yang terakhir, cinta juga harus disertai setia, fokus dan asyik masyuk di jalan yang sudah dipilih. Kefokusan itu akan menghindarkan kita dari keraguan, juga membuat kita bandel terhadap hal-hal yang justru mengganggu tujuan kita. “Jatuh cintalah, dan semesta pasti membalasnya,” ucap Ramayda di akhir perbincangan.

Sampai jumpa lagi suatu saat di masa Indonesia Modern dengan rakyat cerdas merata, sehat jiwa raga, dan sejahtera serta berbahagia. (Intan Auvia reporter dan suka mempelajari channel YouTube Sudjarwadi Ugm, Whatsapp : +62 858-7768-1197). 

Leave A Reply

Your email address will not be published.