SLEMAN, BERNAS.ID – Perkara dugaan ijasah palsu memasuki tahap pledoi atau pembelaan dari terdakwa Supriyanto. Supriyanto merupakan bendahara di Yogyakarta Independent School.
Kuasa Hukum Supriyanto, Odie Hudiyanto mengatakan, pledoi yang disampaikan dalam persidangan merupakan ungkapan kepada Majelis Hakim bahwa Supriyanto jangan mengalami hal seperti Sengkon dan Karta. “Biarlah proses yang sesat di tingkat penyelidikan dan penyidikan sampai penuntutan, itu saja. Nggak perlu sampai ditetapkan oleh hakim bahwa Supriyanto bersalah,” tuturnya seusai persidangan, Kamis (16/9/2021).
“Dalam fakta persidangan, jelas-jelas Supriyanto tidak terbukti menyuruh Anna Indah Sylvana. Itu hanya cerita tunggal,” imbuh Odie.
Odie juga mengungkap hal bahwa Adelia itu WNA yang sebetulnya yang tidak berhak mendapatkan pelajaran agama dan PPKN. “Lalu ada ijasah di bulan Juni, bagaimana bisa ijasah yang ada nilainya, tapi kemudian Supriyanto menyuruh memasukkan di bulan Oktober,” ucapnya.
“Kami meminta kepada majelis untuk tegas menyatakan, tidak ada peristiwa hukum tersebut, tidak ada perintah Supriyanto menyuruh kepada Anna Indah Sylvana, dan tidak ada sanksi atas semua rangkaian yang membuat perkara ini berujung di PN Sleman,” ujar Odie.
Ketika dimintai pernyataan, pelapor Erika Hendriati yang juga mengikuti sidang menceritakan terkait hal penulisan ijasah. “Kalau saksi Kepala Sekolah SD Karitas mengaku telah menandatangani bulan Juni 2016. Bagaimana dia atau pengacara bisa menjelaskan, tulisan di dalam ijasah itu milik Anna Indah Sylvana. Anna baru bekerja di YIS bulan Agustus,” ucapnya.
“Artinya kepala sekolah menandatangani ijasah tanpa nilai. Saya ada bukti surat kontraknya baru ditandatangani 16 Agustus 2016,” imbuhnya.
Erika mengatakan anaknya Adelia adalah WNA. “Saya masih memiliki formulir pendaftaran ketika anak saya akan masuk tahun 2013. Di dalam formulir itu, saya catat, warga negara Swiss-ndonesia. Ada nomor passport dan sebagainya,” katanya.
“Tahun 2006, Adelia telah mengajukan sertifikat kewarganegaraan yang dikabulkan Kemenkumham tahun 2009. Itu sebabnya Adelia WNI dan memiliki KTP hari ini,” imbuh Erika.
Ani Kusumaningsih, istri Supriyanto yang juga ikut dalam persidangan mengungkapkan kesedihannya suaminya bisa terseret perkara ijasah palsu. “Kami hanya keluarga kecil yang kurang tahu hukum, tapi selalu mencoba untuk menaati hukum,” ujarnya.
“Suami saya hanya selalu bekerja untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Dengan suami saya yang menjadi terdakwa saat ini, anak-anak kami kehilangan figur seorang ayah, panutan, dan teman,” imbuhnya.
Ani pun memohon doanya kepada semua pihak agar suaminya segera kembali ke rumah, dibebaskan, dan diputuskan tidak bersalah.
Berikut kisah Sengkon dan Karta
Diketahui, Sengkon dan Karta adalah korban dari sejarah kelam dunia peradilan kita. Oleh para praktisi dan pengamat hukum, Sengkon dan Karta menjadi penanda runtuhnya keadilan ketika berbicara mengenai penegakan hukum di Indonesia.
Kasus Sengkon-Karta adalah kasus pembunuhan pasangan suami istri: Sulaiman dan Siti Haya, pemilik warung kecil di Desa Bojongsari, Bekasi dengan tersangka Sengkon dan Karta pada tahun 1974.
Sesaat sebelum meninggal diceritakan bahwa pemilik warung berhasil membisikkan nama Sengkon kepada saksi yang membawanya ke rumah sakit. Sengkon dikenal sebagai jawara di wilayah tempat kejadian dan selalu bekerja bersama rekannya yang bernama Karta. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai petani.
Setelah kejadian pembunuhan, Sengkon dan Karta ditangkap polisi. Keduanya lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus perampokan dan pembunuhan sadis itu. Sengkon dan Karta dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya.
Namun karena merasa tak melakukan tuduhan yang dimaksud, Sengkon dan Karta menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Keduanya lalu disiksa oleh penyidik. Lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah dan meneken BAP.
Hakim Djurnetty Soetrisno pun lebih mempercayai cerita polisi daripada bantahan Sengkon dan Karta di pengadilan. Di bulan Oktober 1977, Sengkon akhirnya divonis penjara selama 12 tahun, sedangkan Karta divonis lebih ringan yakni 7 tahun.
Putusan itu lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Namun kebenaran memang selalu berpihak kepada mereka yang benar. Enam tahun kemudian saat berada di penjara Cipinang, Sengkon dan Karta bertemu dengan Gunel yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan terhadap penjaga warung beserta istrinya di Bekasi.
Gunel adalah keponakan dari Sengkon. Selanjutnya Gunel diadili, terbukti dan ia dihukum sepuluh tahun penjara. Berbekal pengakuan Gunel tersebut, Sengkon dan Karta dengan dibantu pengacara Albert Hasibuan mengajukan permohonan untuk membuka kembali kasusnya kepada Mahkamah Agung. Bukti pengakuan Gunel membuat Prof Oemar Seno Adji sebagai Ketua Mahkamah Agung saat itu mengupayakan cara untuk membebaskan Sengkon dan Karta karena diyakini tidak bersalah.
Pada akhirnya Sengkon dan Karta dibebaskan dengan upaya hukum peninjauan kembali. Atas kasus Sengkon-Karta, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1980 mengenai Peninjauan Kembali yang menjadi dasar melakukan upaya hukum luar biasa dalam KUHAP Republik Indonesia saat ini.
Penderitaan Sengkon bertambah. Di penjara Cipinang ketika diwawancarai wartawan, Sengkon mengatakan bahwa dia hanya berdoa agar cepat mati, karena penyakit TBC terus merongrongnya dan tidak ada biaya untuk meneruskan hidup. Sudah habis terkuras menghadapi kasusnya yang panjang.
Keluarga Karta dengan seorang isteri dan 12 orang anak juga kocar-kacir. Semua sawah dan tanah mereka sudah dijual habis untuk biaya hidup dan membiayai perkara. Tidak lama bebas dari penjara, Karta mengalami musibah tewas tertabrak truk. (jat)