Cerita Sejarah dari Pak Chandra Halim

Cerita Sejarah dari Pak Chandra Halim
Sejarah mencatat, bangsa ini menjadi suatu negara yang merdeka diawali dari sebuah gerakan nasional yang terstruktur dan sistematis. Dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, maka gerak langkah menuju kemerdekaan Indonesia semakin terbuka lebar. Itulah awal cerita Pak Chandra Halim, M.A. dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Pendidikan di Indonesia yang kala itu masih dikenal dengan Hindia Belanda dimulai pada abad ke-19. Namun kala itu yang bisa bersekolah hanyalah mereka anak-anak keturunan Belanda maupun Eropa. Sekolah seperti ELS (Europeesche Legere School) yang jika dikonversi ke masa sekarang setara dengan Sekolah Dasar, menjadi salah satu sekolah yang dibuka oleh Belanda bagi anak-anak keturunan mereka. Namun seiring berjalannya waktu, terlebih dengan adanya politik etis, ELS dibuka juga untuk semua anak-anak baik itu keturunan Belanda, Asia Timur, maupun Bumiputera. Selain ELS, pada perkembangannya dibuka juga HIS (Hollansch Indlandsche School) yang merupakan SD untuk anak bumiputra, dan HCS (Hollandsch Chineesche School) yang diperuntukkan bagi anak keturunan Tionghoa.
Pendidikan setelah ELS, terdapat MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama, dan AMS (Algemeene Middlebare School) yang berada setingkat diatas MULO. Bagi kalangan pemuda yang memiliki kecerdasan lumayan, maka mereka akan bisa bersekolah di HBS (Hoogere Burgerschool) yang setelah lulus mereka bisa melanjutkan kejenjang perguruan tinggi seperti STOVIA (Schoolen Tot Opleiding Voor Indlandsche Arsten) dan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Abtenaren). Dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Kolonial Belanda ini, melahirkan banyak pemuda cerdas dan berbakat yang dikemudian hari akan mampu menjadi inspirasi dan semangat bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Menilik dari sejarah pergerakan nasional Indonesia, semangat nasionalisme membangun persatuan dan kesatuan bangsa di awali dari terbentuknya sebuah organisasi Budi Utomo. Memang pada awalnya organisasi ini bergerak pada bidang pendidikan dan sosial saja, dengan menjunjung tinggi semangat ingin menyejahterakan masyarakat di Hindia Belanda. Namun seiring berjalannya waktu, perjuangan organisasi tersebut berubah menjadi organisasi politik meskipun tidak meninggalkan perjuangan untuk mengangkat kemajuan pendidikan para pemuda bangsa.
Budi Utomo muncul sebagai satu organisasi politik yang memang menjadi ujung tombak dari perjuangan memerdekakan Bangsa Indonesia. Perkumpulan yang dipelopori oleh para dokter seperti Wahidin Sudirohusodo dan seorang mahasiswa kedokteran kala itu bernama Sutomo. Pada awal terbentuknya, Budi Utomo bergerak dibidang pendidikan dan sosial, dimana fokus yang mereka kerjakan seputar pemberian beasiswa untuk pemuda bumiputra yang cerdas namun tidak memiliki biaya untuk bersekolah. Dalam catatan Suhartono (1994) disebutkan bahwa adanya politik etis yang diberlakukan di wilayah Hindia Belanda maka kewajiban bagi pemerintah Belanda untuk memajukan pendidikan di wilayahnya. Ternyata hal tersebut mengalami hambatan akibat kekurangan dana belajar.
Baca juga: Kisah Debbie, Jalankan Misi Sosial untuk Bantu Pengusaha Mikro Lewat INAmikro
Keadaan yang demikian itulah yang membuat Wahidin dan Sutomo mendirikan Budi Utomo (BU) pada 20 Mei 1908. Selo Soemardjan (1962) mencatat, bahwa pada masa kolonialisme Belanda, terdapat stratifikasi sosial pada masyarakat yakni Elite birokrasi yang berisi kalangan Belanda dan Indo Eropa berkedudukan penting, Priyayi Birokrasi yang berisi kelompok-kelompok bangsawan yang memiliki kedudukan, kemudian dengan adanya sekolah-sekolah modern kala itu maka melahirkan kalangan Priyayi Profesional, elite agama yang terdiri dari para ulama, dan rakyat biasa.
Gerakan pendidikan pada masa itu, seiring perjalanan waktu merambah pada kaum perempuan. Aktivitas yang dilakukan Kartini di Rembang dan juga yang dilakukan oleh Dewi Sartika di Jawa Barat menjadi momen kebangkitan perempuan dalam menyetarakan diri dengan kaum laki-laki. Perempuan menjadi lebih berpendidikan dan memiliki porsi yang sama dengan yang didapatkan oleh kaum laki-laki bumiputera seperti dalam Budi Utomo (BU). Seiring banyaknya perempuan terpelajar, ditambah juga spirit yang di dapatkan dari Budi Utomo, maka pada sekitar tahun 1912 berdiri perkumpulan perempuan yang diberi nama Putri Mardika di Jakarta dengan dukungan dari Budi Utomo.
Perkumpulan Putri Mardika ini memiliki kesamaan dengan BU yakni konsentrasi pada pemberian bantuan finansial, bimbingan dan penerangan bagi kaum perempuan bumiputra agar berani untuk bersekolah dan berani mengungkapkan pendapat di kalangan umum tanpa merasa malu. Salah satu yang menarik, organisasi perempuan dari Jakarta ini juga mampu menerbitkan majalah bulanan bernama Putri Mardika dengan isi seputar ide gagasan dan pemikiran para perempuan. Beberapa waktu setelah berdirinya perkumpulan Putri Mardika ini, berdiri pula perkumpulan-perkumpulan perempuan seperti Pawiyatan Wanito (1915) di Magelang, Wanito Susilo (1918) di Pemalang, Wanito Hadi (1915) di Jepara, Purborini (1917) di Tegal, Budi Wanito di Solo, dan Wanito Mulyo di Yogyakarta.
Selain berdiri organisasi-organisasi perempuan yang memang menjadi cikal bakal sumbangsih perempuan dalam pergerakan nasional, berdiri pula perkumpulan-perkumpulan yang lain. Memang organisasi Budi Utomo mampu menginspirasi terbentuknya perkumpulan yang kemudian fokus pada nilai-nilai menuju kemerdekaan Indonesia. Terdapat perkumpulan seperti Perhimpunan Indonesia, Serikat Islam, Muhammadiyah, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dan lain sebagainya. Bahkan PPPI yang didukung oleh perwakilan pemuda seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Islamiten bond, Jong Bataks, Sekar Rumpun, dan beberapa pemuda Tionghoa juga mengadakan kongres pemuda pertama pada 1926 dan dilanjutkan kongres pemuda kedua pada 27-28 Oktober 1928. Pada kongres pemuda kedua inilah lahir kesepakatan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dengan Isi deklarasi sumpah pemuda terdiri dari 3 pengakuan, yaitu: satu tanah air, Indonesia; satu bangsa, Indonesia; dan satu bahasa, bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Baca juga: Kisah Frans Budi Santika, Si Introvert yang Bertransformasi Jadi Trainer Spesialis Komunikasi
Menengok perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, maka pendidikan menjadi salah satu faktor penting dan penentu bagi kemerdekaan Indonesia. Di era modern ini, perjuangan bukan lagi melawan penjajahan namun justru mempertahankan keutuhan bangsa dan negara serta menumbuhkembangkan semangat Nasionalisme Indonesia. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini, situasi menjadi tidak menentu dan tentu semangat menjalani aktivitas akan menjadi sedikit berkurang. Disinilah sebenarnya pendidikan menjadi sektor penting, penentu, dan ujung tombak bagi keberhasilan mempertahankan keutuhan NKRI dan semangat nasionalisme generasi muda. Sektor ini dituntut untuk mampu mengasuh generasi muda menjadi bukan sekedar pandai dalam akademisi, namun juga peka terhadap kondisi dan situasi negara yang terdampak akibat pandemi covid-19. Pendidikan menjadi kunci bagi pergerakan nasional melawan ancaman keterpurukan bangsa dan negara dari pandemi ini. Begitulah cerita Pak Chandra Halim yang katanya bersumber dari berbagai referensi :
Ohorela, G.A., dkk., 1992, Peran Wanita Indonesia dalam masa pergerakan nasional, Jakarta: Depdikbud.
Ricklefs, M.C., 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Setiono, Benny G., 2006, Tionghoa dalam pusaran politik, Jakarta: ELKASA.
Sampai jumpa lagi suatu saat di masa Indonesia Modern dengan rakyat cerdas merata, sehat jiwa raga, dan sejahtera serta berbahagia. (Intan A reporter dan suka mempelajari channel YouTube Sudjarwadi Ugm, Whatsapp : +62 858-7768-1197).