Berita Nasional Terpercaya

Makin Diminati, Bagaimana Langkah Bank Indonesia dalam Mengawasi Aset Kripto?

0

BERNAS.ID – Perdagangan aset kripto di Indonesia makin diminati oleh masyarakat. Bahkan hingga tahun ini, investor aset kripto meningkat dengan rata-rata kenaikan 162% per tahun sejak 2015.

Menurut Investopedia, mata uang kripto atau cryptocurrency adalah mata uang digital atau virtual yang dijamin dengan kriptografi, yang membuatnya hampir tidak mungkin dipalsukan. Kiptografi sendiri adalah teknik menyampaikan pesan dengan cara tersembunyi.

Survei yang dilakukan pada Agustus 2021 oleh platform perdagangan kripto global, Luno, dengan perusahaan riset YouGov menunjukkan hasil yang mengejutkan tentang tren perilaku investors serta persepsi terhadap aset kripto.

Sebanyak 6.642 responden dari 7 negara antara Indonesia, Malaysia, Inggris, Afrika Selatan, Kenya, dan Nigeria dilibatkan dalam penelitian tersebut. Dari jumlah itu, 1.003 orang berasal dari Indonesia.

Baca Juga: Sejarah Panjang Mata Uang Crypto

Hasilnya, mayoritas investor kripto (56%) berharap profit dari aset kripto dalam jangka waktu 5 tahun ke depan. Optimisme terhadap pertumbuhan aset kripto juga cukup tinggi. Sebanyak 58% responden meyakini nilai kripto bakal melonjak dalam kurun waktu 10 tahun tahun ke depan.

Menurut Kementerian Perdagangan, jumlah pelanggan kripto per Juli 2021 telah mencapai 7,4 juta orang. Padahal, tahun sebelumnya tercatat sebanyak 4 juta orang. Nilai transaksinya mencapai Rp478,5 triliun hingga Juli 2021. Nilai tersebut melonjak drastis dari Rp 65 triliun pada 2020. Kemendag juga mencatatkan transaksi harian perdagangan kripto mencapai Rp2,3 triliun per Juli 2021.

Popularitas kripto yang menjanjikan keuntungan besar membuatnya semakin menarik, terutama di kalangan anak muda. Kebutuhan pengawasan terhadap peredaran kripto pun menjadi isu yang terus muncul.

Bank Indonesia beberapa kali menegaskan larangan penggunaan kripto di berbagai lembaga yang kerja sama dengan bank sentral tersebut. Sesuai dengan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah rupiah, sehingga criptocurrency seperti halnya Bitcoin,Ethereum, Ripple, Libra, dan lain-lain bukan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. 

Isu soal kripto bahkan menjadi salah satu masalah yang dipaparkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada Economic Outlook for 2021 dan Kebijakan BI pada 24 November 2021.

Lima Permasalahan

Pada paparannya di depan Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2021 bertajuk Bangkit dan Optimis: Sinergi dan Inovasi untuk Pemulihan Ekonomi, Perry mengatakan perbaikan ekonomi sedang berlangsung setelah 21 bulan diterpa pandemi Covid-19.

Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai 4,7%-5,5% pada 2022, meningkat dari proyeksi 2021 sebesar 3,2%-4,0%. Menurutnya, selain ekspor, konsumsi dan investasi akan meningkat karen didukung oleh vaksinasi, di mana 31% penduduk telah di vaksin. Selain itu, pembukaan sektor ekonomi dan stimulus kebijakan juga berpengaruh.

“Inflasi rendah pada 2021 dan terkendali pada 3% +-1% pada 2022 didukung suplai yang memadai, respons kebijakan BI, koordinasi pusat dan daerah,” katanya.

Dari sisi global, Perry menyebutkan pemulihan ekonomi dunia pada 2022 akan lebih seimbang seiring pemulihan Covid-19. Hal ini nampak dari pembukaan sektor ekonomi dan stimulus kebijakan di negara maju di Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat.

“Di negara emerging, India dan Asean-5 juga menyusul Tiongkok. Volume perdagangan dunia meningkat, harga komoditas tinggi,” ucapnya.

Baca Juga: Ini Beberapa Negara yang Lebih Dulu Melarang Penggunaan Mata Uang Kripto

Meski pemulihan ekonomi akan terus membaik, muncul lima permasalahan baru yang perlu dicermati oleh berbagai pihak. Kelima permasalahan tersebut antara lain:

  • Normalisasi kebijakan moneter dan fiskal negara maju
  • Scoring Effect Pandemi terhadap korporasi dan stabilitas sistem keuangan
  • Meluasnya sistem pembayaran digital antarnegara dan risiko aset kripto
  • Semakin kuatnya tuntutan ekonomi-keuangan hijau dari negara maju
  • Melebarnya kesenjangan dan perlunya inklusi keuangan

BI menyebutkan kripto sebagai salah satu dari lima permasalahan baru. Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti pernah mengatakan kripto hanyalah aset digital dan bukan mata uang di Indonesia. Kripto hanya diperlakukan sebagai aset atau komiditi digital.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat Rapat Kerja dengan Komisis IX DPR RI di Jakarta, 25 November 2021. (YouTube/DPR RI)

Pengawasan Cryptocurrency

Penggunaannya yang semakin meluas, menuntut mata uang digital ini harus diawasi. Inilah yang disampaikan oleh Anggota DPR Komisi XI Fraksi PDIP Eriko Sotarduga dalam Rapat Kerja dengan Dewan Gubernur BI pada 25 November 2021.

Menurutnya, muncul tren dalam masyarakat yang cenderung mengarahkan mereka untuk membeli aset kripto. Sementara, infrastuktur digital dan pengawasan cryptocurrency di Indonesia masih terlihat abu-abu.

“Ini abu-abu betul. Jangan nanti ini meledak karena setiap saya ketemu gen Y dan Z, mereka nggak ada yang nggak main kripto,” katanya, seperti dikutip melalui saluran YouTube DPR RI.

Dia berpendapat, banyak generasi muda yang tertarik untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi dengan modal sedikit. Eriko menegaskan fenomena kripto tidak boleh dibiarkan begitu saja.

“Dengan modal Rp20 juta, dia bisa dapat ratusan juta rupiah. Ini logis tapi nggak boleh dibiarkan begitu saja. Saya lihat nggak ada yang mau mengomentari dan menganggap ini hal simpel-simpel saja,” ucapnya.

Menanggapi komentar Eriko, Perry menyampaikan aset kripto merupakan permasalahan yang dihadapi oleh seluruh dunia. Tidak ada yang tahu siapa penyuplai kripto dan dari mana asaknya. Hal itulah yang menyebabkan BI tidak tahu valuasinya.

“Tapi yang jelas dari pernyataan kami adalah kripto bukan alat pembayaran yang sah, dan kami sudah larang seluruh lembaga yang mendapatkan izin dari Bank Indonesia untuk melayani kripto,” tuturnya.

Meski demikian, bank sentral akan menerjunkan pengawas. Saat ini, BI sedang melakukan proses percepatan penerbitan rupiah digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Perry meyakini konseptual desainnya dapat dipresentasikan pada tahun depan.

BI masih melakukan penelitian dalam menentukan konsep rupiah digital dan teknologi yang akan digunakan dalam upaya mendukung tranformasi digital di Tanah Air. Untuk mewujudkan digital currency, Perry menjelaskan tentang perlunya tiga prasyarat.

Pertama, terkait konseptual desain yang masih terus digodok. Kedua terkait dengan infrastruktur pasar uang dan sistem pembayaran yang harus saling terhubung atau tersambung.

“Ini yang sedang kami bangun. Inilah kenapa kami bangun BI FAST, BI Electronic Trading Platform (ETP) dan Central Counterparty (CCP), ini supaya RTGS (Real Time Gross Settlement) jadi  tempat untuk mendistribusikannya,” jelasnya.

Baca Juga: Ulama Indonesia Gelar Diskusi Mengenai Halal Haram Perdagangan Aset Crypto

Kemudian yang ketiga terkait dengan platform teknologi yang akan digunakan, seperti blockchain, DLT (Distributed Ledger Technology), dan stable coin. Menurut Perry, saat ini dunia masih belum sepakat mengenai teknologi yang sekiranya tepat.

BI dalam situs resminya menyebut hingga saat ini masih terus mengkaji dan melakukan asesmen guna melihat potensi CBDC dengan perekonomian Indonesia yang dapat berimplikasi pada perbedaan desain dan arsitektur yang akan dipilih serta memitigasi risiko, seperti halnya teknologi blockchain yang ada pada cryptocurrency.

Last but not least, BI meyakini perlunya literasi kepada masyarakat tentang investasi kripto yang menjanjikan keuntungan besar, namun dengan risiko yang besar pula.

“Literasi bahwa high return, high risk. Kalau dapat banyak return, ya persiapkan untuk risiko yang tinggi. Jadi itu yang harus dilakukan kepada masyarakat,” tuturnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.