Berita Nasional Terpercaya

Melihat Akar Permasalahan Antara Rusia dan Ukraina

0

Bernas.id – Tanggal 24 Februari lalu Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah mengumumkan invasi negaranya ke Ukraina. Di tanggal yang sama,  tentara Rusia pun mulai masuk ke dua wilayah Ukraina Timur, yaitu Donetsk dan Luhansk.

Invasi Rusia ke Ukraina tepat dimulai pada dini hari. Berdasarkan laporan dari US News, sebanyak 190.000 pasukan Rusia telah berkumpul di perbatasan Ukraina selama berbulan-bulan sejak akhir 2021. Pada awal tahun 2022, jumlah pasukan Rusia yang berada di perbatasan Ukraina semakin bertambah dan invasi pun terjadi menjelang akhir Februari 2022 ini.

Invasi tersebut juga dianggap oleh menteri luar negeri Ukraina sebagai tindakan agresi paling terang-terangan di Eropa sejak Perang Dunia II.

Sebelum Invasi Rusia ke Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin Memberikan dukungannya untuk wilayah Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka. Putin juga mengirim pasukan “penjaga perdamaian” ke wilayah tersebut. Hal tersebut tampaknya membuat hubungan Rusia dan Ukraina mulai menegang.

Sebagai informasi, Donetsk dan Luhansk  adalah dua wilayah di Ukraina Timur yang lepas dari Kiev pada tahun 2014. Kedua wilayah tersebut juga dianggap sebagai wilayah pemberontak karena memproklamirkan diri sebagai republik dan dikuasai oleh kelompok separatis Pro-Rusia. 

Pemimpin Rusia mengklaim bahwa tindakan militer diperlukan untuk menghentikan serangan Ukraina di dua wilayah Donetsk dan Lugansk. Presiden Vladimir Putin juga menduga bahwa Rusia dapat diserang oleh pemerintah sayap kanan Ukraina, kecuali pengaruh mereka di negara itu berkurang. Dia menuduh Bangsa Barat mempersenjatai Kyiv melawan Rusia.

Sejarah Panjang antara Ukraina dan Rusia

Para ahli kenegaraan menganggap bahwa akar ketegangan antara Rusia dan Ukraina terjadi karena kombinasi beberapa faktor, mulai dari sejarah rumit antara kedua negara tersebut, ketegangan yang sedang berlangsung antara Rusia dengan Organisasi Perjanjian Atlantik Utara, dan ambisi Putin untuk mengembalikan kejayaan Uni Soviet.

Sejak seribu tahun lalu, Rusia dan Ukraina memiliki sejarah panjang yang rumit. Pada abad terakhir, Ukraina, yang dikenal sebagai lumbung roti Eropa, adalah salah satu republik terpadat dan kuat di Uni Soviet. Ukraina juga menjadi basis industri pertanian di Uni Soviet saat itu. Akan tetapi, pada tahun 1991 Ukraina mendeklarasikan kemerdekaanya. Sejak saat itu, Rusia terus mengawasi Ukraina. 

Meski telah melepaskan diri dari Uni Soviet, kehidupan di negara tersebut masih penuh dengan gejolak. Unjuk rasa dan korupsi pemerintahan mewarnai Ukraina. Namun, Ukraina terus berambisi untuk bisa menyelaraskan diri dengan negara-negara Barat.

Bahkan, Ukraina juga menyatakan ke publik jika mereka ingin bergabung dengan NATO sebagai bagian untuk mencegah ekspansi Soviet. Sementara itu, Presiden Putin mengatakan bahwa siap berperang dengan Ukraina jika negara bekas Uni Soviet tersebut bergabung dengan NATO.

Meski akhirnya Ukraina batal bergabung dengan NATO, Rusia tetap melakukan invasi ke negara tersebut. Hal ini terjadi karena Putin ingin memastikan bahwa Amerika menjamin agar negara pecahan Uni Soviet, termasuk Ukraina, benar-benar tidak bergabung dengan NATO.

Putin juga ingin agar NATO menghentikan pengerahan senjata dan ekspansi ke negara-negara yang dianggap sebagai “halaman rumah” Rusia. Ketegangan tersebut memuncak pada 2014 setelah Ukraina menggulingkan presiden yang bersekutu dengan Rusia. Hingga akhirnya, Rusia mencaplok wilayah Krimea di Ukraina. Aksi tersebut mendapat kecaman dari komunitas internasional.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Rusia mengobarkan pertikaian di wilayah Donbas di Ukraina timur dengan tujuan untuk mendukung gerakan separatis di wilayah Donetsk dan Luhansk yang mengakibatkan konflik bersenjata.

Hingga akhirnya, daerah-daerah itu mendeklarasikan kemerdekaan karena kedua belah pihak terlibat dalam kebuntuan yang berlarut-larut. Konflik antara kedua negara telah berlangsung sejak saat itu. Akibatnya, sekitar 14.000 orang meninggal.

Baca juga: Peran Cryptocurrency dalam Konflik Rusia dan Ukraina

Dimulainya konflik Rusia dan Ukraina

Rusia mulai meningkatkan jumlah pasukan militernya di sekitar Ukraina, termasuk di Belarus, pada akhir tahun 2021. Pada bulan Desember lalu, puluhan ribu tentara Rusia telah memasuki wilayah perbatasan Ukraina sehingga memicu ketegangan yang berujung pada pembicaraan telepon antara Putin dan Presiden AS Joe Biden.

Ketegangan pun meningkat di awal tahun 2022 karena jumlah pasukan Rusia di sekitar Ukraina semakin meningkat. Sebelum invasi resmi dimulai, jumlah tentara Rusia yang berada di perbatasan Ukraina diperkirakan hampir mencapai 200 ribu orang. 

Melihat hal tersebut, Joe Biden dan Putin pun kembali berdiskusi. Dewan keamanan PBB pun turun tangan untuk membantu mengatasi krisis tersebut.

Alasan Rusia Melakukan Invasi ke Ukraina

Seperti yang disebutkan sebelumnya, hal utama yang diinginkan Rusia saat menginvasi Ukraina adalah mencegah negara tersebut untuk bergabung dengan NATO, aliansi militer antara 28 negara Eropa dan dua negara Amerika Utara yang didedikasikan untuk menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan Atlantik Utara.

Juru Bicara Istana Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa ekspansi NATO sebagai “keprihatinan mendasar”.Meski NATO saat ini tak memiliki niatan untuk merekrut Ukraina sebagai anggotanya, Putin ingin jaminan bahwa negara tersebut benar-benar tidak akan bergabung. Beberapa analis menilai bahwa Putin tidak ingin Ukraina bergabung dengan NATO karena takut wilayah tersebut menjadi garda depan NATO untuk merusak Rusia.

Selain itu, Putin juga ingin mengembalikan kejayaan Uni Soviet karena Rusia merasa dirugikan  oleh runtuhnya Uni Soviet dan merasa Rusia memiliki klaim atas bekas republik Soviet.

Keinginan Presiden Rusia Vladimir Putin

Putin memandang runtuhnya Uni Soviet sebagai bencana. Selain itu, Putin juga pernah menyerang dan menduduki negara-negara yang mendekati keanggotaan NATO. Tentara Rusia menginvasi bekas negara bagian Soviet di Georgia pada tahun 2008 saat negara itu sedang mengejar keanggotaan dalam aliansi tersebut.

Rusia dengan cepat menekan ibu kota Tbilisi sebelum mundur ke wilayah separatis yang masih mereka tempati sampai sekarang. Contoh lain adalah ekspansi Krimea di tahun 2014. Atas tragedi tersebut, Putin secara terang-terangan mengakui bahwa wilayah tersebut adalah milik Rusia.

Selain itu, wilaya memiliki cadangan mata uang asing sebesar $ 600 miliar dan memiliki sumber daya yang signifikan untuk membangun kembali tentara Rusia. Peneliti dari lembaga riset Wilson Center, Pomeranz, mengatakan bahwa kemungkinan besar Putin juga memandang Barat – termasuk AS, khususnya – sebagai memiliki berpotensi besar turun mengambil alih sumberdaya yang dimiliki Ukraina.

Kombinasi faktor – mulai dari dampak pandemi COVID-19 hingga kurangnya pengalaman politik Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy – dianggap sebagai peluang sempurna bai pemimpin Rusia untuk melakukan tindakan. 

Baca juga: Jadi Rebutan Palestina-Israel, Ini Situs-Situs Penting yang ada di Yerusalem

Langkah negara lain

Pada tanggal 23 Februari 2022, Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa dia akan mengumumkan“konsekuensi lebih lanjut yang akan dikenakan oleh Amerika Serikat dan Sekutu atas tindakan agresi terhadap Ukraina.

NATO telah menempatkan pesawat-pesawat tempur dalam keadaan siaga, tetapi aliansi negara Barat menyatakan bahwa tidak ada rencana untuk mengirim pasukan tempur ke Ukraina. Akan tetapi, mereka telah menawarkan penasihat, senjata, dan rumah sakit sebagai bantuan.

Sementara itu, 5.000 tentara NATO telah dikerahkan di negara-negara Baltik dan Polandia. 4.000 lainnya dapat dikirim ke Rumania, Bulgaria, Hongaria, dan Slovakia. Pada saat yang sama, Uni Eropa dan Inggris telah menjatuhkan sanksi pribadi kepada Presiden Putin dan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov. Uni Eropa juga ingin membatasi akses Rusia ke pasar modal dan memutus industrinya dari teknologi dan pertahanan terbaru.

Jerman juga telah menghentikan persetujuan atas pipa gas Nord Stream 2 Rusia, investasi besar oleh perusahaan Rusia dan Eropa

Inggris juga membekukan aset semua bank besar Rusia dan maskapai penerbangan nasional Rusia Aeroflot juga akan dilarang mendarat di Inggris.

Ukraina telah mendesak sekutunya untuk berhenti membeli minyak dan gas dari Rusia. Tiga negara Baltik telah meminta seluruh komunitas internasional untuk memutuskan sistem perbankan Rusia dari sistem pembayaran Swift internasional. Kota St Petersburg di Rusia juga tidak lagi dapat menjadi tuan rumah final Liga Champions tahun ini karena alasan keamanan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.