Berita Nasional Terpercaya

Waspada Penyintas Covid-19 Berisiko Demensia Alzheimer, Ini Asuransi yang Dibutuhkan

0

JAKARTA, BERNAS.ID – Kasus penularan virus Covid-19 memang sudah tampak menurun di Indonesia. Namun masyarakat tetap ditekankan untuk patuh dan disiplin dalam menjalani protokol kesehatan. Terutama bagi mereka yang memiliki komorbid dan imunitas rendah, apabila terinfeksi dan bergejala berat hingga kritis harus segera mendapatkan perawatan medis. Selain itu, usai pulih pun ada yang mengalami berbagai komplikasi penyakit dalam jangka panjang.

Virus Covid-19 telah memicu berbagai masalah kesehatan dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dampaknya bisa sampai seumur hidup termasuk memperbesar resiko terjadinya Demensia Alzheimer. 

“Virus Covid-19 dapat menyebabkan peradangan pada susunan saraf pusat. Saat virus Covid-19 merusak pembuluh darah di bagian otak maka ada sel-sel otak yang mengalami degenerasi bahkan mati. Inilah yang menyebabkan penyintas menjadi rentan terhadap risiko Demensia Alzheimer, sehingga perlu tetap diwaspadai,” jelas Dokter Spesialis Saraf & Champion ALZI, dr. Sheila Agustini, Sp.S., dalam rilis berita yang diterima Bernas.id, Selasa (15/3/2022).

Baca Juga : Avrist Assurance dan Futuready Luncurkan Avrist Tematis, Asuransi Online Perdana Khusus Penderita Diabetes

Sebagai tindakan preventif, dr. Sheila menyarankan agar para penyintas Covid-19 rajin melakukan beragam aktivitas untuk menstimulasi fungsi kognitif, seperti rajin membaca, menulis, bermain tebak-tebakan, bermain catur, mengisi TTS, dan lainnya. Termasuk juga melakukan pemeriksaan kesehatan rutin setiap 6 bulan atau bila timbul keluhan yang mengganggu. 

Dr. Sheila juga menyarankan agar masyarakat tetap patuh dan serius menerapkan protokol kesehatan, serta melakukan vaksinasi.  Karena kepatuhan masyarakat yang sehat akan membantu mencegah penularan virus kepada mereka yang beresiko tinggi terkena Covid-19, seperti ODD (Orang Dengan Demensia).

Pasien Covid-19 dengan gejala berat yang memiliki faktor resiko Demensia Alzheimer kemungkinan lebih besar terkena gangguan fungsi kognitif pada saat dan pasca infeksi. Gangguan kognitif meliputi kesulitan dalam berpikir, sulit mengingat kembali, dan gangguan penalaran dan perilaku wajar. 

“Penelitian medis lebih lanjut terkait hal ini masih diperlukan studi yang mendalam. Namun, tata laksana penanganan gangguan fungsi kognitif, seperti terapi dan obat-obatan dapat diberikan pada pasien covid-19 berdasarkan kebutuhan sejauh mana mengganggu kehidupan dan aktivitas sehari-hari,” sebut dr. Sheila.

Penyakit Kritis Menjadi Beban Bagi Pasien dan Keluarganya

Saat seseorang menunjukkan gejala demensia alzheimer, haruslah segera ditangani secara medis karena kondisi demensia cenderung memburuk dan memerlukan pengobatan secara jangka panjang. 

Baca Juga : Rey, Cara Baru Berasuransi di Indonesia

Namun, membawa pasien berobat menjadi beban finansial bagi keluarga karena tidak mampu membiayai pengobatan jangka panjang tapi memilih melakukan perawatan sendiri tanpa pertolongan medis berisiko memperburuk kondisi pasien.

Akses fasilitas kesehatan dan biaya kesehatan masih menjadi masalah nasional, pasalnya biaya kesehatan di Indonesia selalu naik setiap tahun bahkan kenaikannya jauh melebihi tingkat inflasi. 

Sementara, kenaikan inflasi kesehatan tidak selalu diikuti dengan kenaikan pendapatan sehingga banyak masyarakat yang terserang penyakit kritis tidak sanggup membayar biaya pengobatan dalam jangka panjang. 

Padahal, semakin bertambah usia ditambah faktor polusi lingkungan atau tingkat stres yang tinggi dapat membuat kondisi kesehatan semakin menurun dan mudah terserang penyakit kritis.

“Saat mengalami sakit kritis kita perlu jaring pengaman berupa asuransi penyakit kritis sebab tabungan tidak akan cukup untuk membiayai pengobatan. Sayangnya, masih banyak masyarakat pada usia produktif dan masih sehat merasa belum memerlukan asuransi. Ada pula yang merasa memiliki asuransi kesehatan saja sudah cukup,” ujar Faculty Head of Sequis Training Academy of Excellence Samuji, MPd, CFP, CPC.

“Padahal, asuransi kesehatan hanya mengganti biaya pengobatan rumah sakit. Ada biaya-biaya lain yang harus ditanggung pasien penyakit kritis yang tidak ditanggung oleh semua asuransi kesehatan, seperti biaya pengobatan eksperimental, biaya nutrisi ekstra, biaya juru rawat pribadi hingga biaya akomodasi dan penginapan keluarga selama perawatan, dan lainnya,” imbuhnya. 

Pernyataan Samuji ini cukup beralasan, pasalnya ancaman penyakit kritis juga sudah terjadi pada mereka yang berusia produktif. Penyakit kritis termasuk Demensia Alzheimer tidak hanya memperburuk kualitas hidup pasien saja tapi juga orang terdekat karena harus menanggung beban tambahan mengurus pasien yang akan menjalani fase perjalanan penyakit dari awal, menengah hingga akhir.

Saat pasien menjalani setiap fase akan membutuhkan waktu dan tenaga caregiver untuk mendampingi & merawat serta butuh biaya yang besar karena pasien memerlukan perawatan serius. Sementara, biaya hidup keluarga juga harus dipenuhi. Hal serupa terjadi juga pada pasien yang terinfeksi covid. 

Tidak mudah mendapatkan kamar di wisma atlet karena tingkat okupansinya terus bertambah. Demi bisa mendapatkan penanganan medis maka harus segera dibawa ke rumah sakit. Lagi-lagi akan berurusan dengan biaya rumah sakit yang tinggi.  

Ini belum termasuk biaya perawatan akibat long covid, seperti Demensia Alzheimer atau penyakit lainnya. Untuk itu, Samuji menyarankan agar masyarakat yang masih sehat dan tidak terpapar virus Covid-19 segera melengkapi diri dan keluarga dengan asuransi penyakit kritis.

Manfaat yang diberikan asuransi penyakit kritis akan sangat menolong keluarga Indonesia dari risiko kebangkrutan jika ada anggota keluarga yang mengalami penyakit kritis, karena terdapat Uang Pertanggungan (UP) yang berfungsi sebagai penggantian pendapatan demi kestabilan finansial keluarga. 

“UP dapat digunakan untuk pengobatan dan perawatan pasien, mengganti biaya lain di luar perawatan, menjadi pengganti penghasilan yang hilang karena tidak bisa lagi bekerja, sehingga kebutuhan hidup dapat tetap tercukupi, melunasi sisa cicilan/utang, mendanai pendidikan anak, melindungi aset keluarga yang tersisa hingga mencegah terjadinya kemiskinan akibat jeratan utang,” jelas Samuji.

Samuji menyarankan asuransi penyakit kritis yang berkonsep anti rugi. Konsep ini terdapat dalam salah satu produk Sequis, yaitu Sequis Organ and Function Insurance (SOFI). Konsep anti rugi tersebut, yaitu jika terjadi risiko maka Sequis akan membayarkan UP dan mengembalikan total premi yang sudah dibayarkan. 

Apabila tidak terjadi risiko apa-apa sampai akhir masa asuransi maka premi yang telah dibayarkan nasabah akan dikembalikan oleh Sequis. Demikian juga jika Tertanggung meninggal dunia pada masa asuransi maka premi juga akan dikembalikan.

Baca Juga : Sequis Life Hadirkan Proteksi SOFI untuk Penyakit Kritis

“Melengkapi keluarga dengan asuransi penyakit kritis sebagaimana manfaat yang diberikan SOFI maka keluarga pasien akan terbantu saat harus memberikan perawatan yang terbaik bagi anggota keluarga yang sakit kritis. Nasabah akan mendapatkan UP jika terjadi risiko penyakit kritis dan/atau risiko kegagalan sistem dan organ tubuh yang memenuhi ketentuan polis dan pengembalian premi yang telah dibayarkan,” terang Samuji.

Sebagai tambahan, nasabah yang memiliki SOFI pun dapat menambahkan Parent Protector  rider untuk memberikan perlindungan bagi orang tua dari Tertanggung sebagai langkah berjaga-jaga dari penyakit kritis Demensia, Alzheimer, Kanker, dan Parkinson. 

Termasuk jika terjadi kegagalan sistem pernafasan tahap akhir. Rider ini akan memberikan UP hingga Rp200 juta dan pengembalian premi jika terjadi risiko penyakit-penyakit tersebut. 

Selain itu, jika ternyata orang tua meninggal dunia dan tidak ada klaim selama masa pertanggungan, nasabah akan mendapatkan manfaat pengembalian total premi dari rider ini. Selain itu, apabila tidak terjadi risiko apapun sampai akhir masa asuransi maka total premi yang sudah dibayarkan juga akan dikembalikan. (*/cdr)

Leave A Reply

Your email address will not be published.