Berita Nasional Terpercaya

KLHK Sebut Peningkatan Temperatur Dunia Semakin Nyata

0

SLEMAN, BERNAS.ID – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Forum Pimpinan Lembaga Perguruan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) menggelar sosialisasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 (IFNET 2030) di Balai Senat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (27/6).

Indonesia dalam Paris Agreement telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020 dalam. Komitmen tersebut diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada tahun 2016.

Baca Juga Mendagri Ajak Seluruh Daerah Kelola Sampah Dengan Baik

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Dr Ir Ruandha Agung Sugardiman mengatakan para pemimpin dunia telah sepakat secara global tentang penurunan emisi rumah kaca. “Peningkatan temperatur dunia sudah semakin nyata dan berpengaruh kepada kehidupan dan kebutuhan manusia secara global,” tuturnya.

“Kesepakatan harus dilaksanakan di masing-masing negara, menghitung sendiri emisi rumah kacanya dan harus diturunkan berapa sehingga berkontribusi secara global untuk menurunkan emisi rumah kaca,” imbuhnya.

Lanjut tambahnya, temperatur bumi yang meningkat 2 derajat, akan menganggu kehidupan manusia apalagi kalau sampai 4 derajad, bumi sudah tidak bisa dihuni manusia. “Dampaknya gletser akan mencair dan akan menenggelamkan sejumlah pulau,” ucapnya.

Ia mengatakan Indonesia bisa menurunkan emisi rumah kaca dari sektor kehutanan. Sumber emisi di bumi ini terbesar berasal dari energi, yaitu bahan bakar fosil. “Di Indonesia, 80 persen berasal dari konversi hutan ke nonhutan. Kita saat ini mempertanyakan hutan agar tidak terjadi deforestasi. Yang kita lakukan, bukan kualitatif tapi kualintatif,” katanya.

“Di Indonesia, 2,8 juta ton CO2, kita akan turunkan sekitar 29 persen sampai tahun 2030,” imbuhnya.

Baca Juga Pemda DIY Diminta Bertanggung Jawab Kelola Sampah Secara Profesional

Ia juga menyampaikan dari satu setengah tahun lalu, KLHK sudah mengeluarkan kebijakan tidak memberikan ijin pelepasan hutan untuk kelapa sawit dengan dukungan instruksi presiden. “Yang dilakukan, meningkatkan produktivitas dan peremajaan kelapa sawit. Misalnya pascapanen, sawit segera diolah agar kualitasnya lebih baik. Belum lagi angkutan sawit yang sekarang jauh dari pabrik. Lalu, penggantian bibit yang lebih baik untuk mengganti yang pohon sawit tua,” katanya.

“Di Pulau Jawa, hutan tinggal 18 persen dengan kecukupan luas tutupan hutan dan kecukupan luas hutan dari ketentuan 30 persen. Kawasan hutan banyak tapi tidak berhutan, ya kurang,” imbuhnya.

Ia mengatakan suatu wilayah itu punya daya dukung dan tampungnya apabila ada kecukupan luas tutupan hutan dan kecukupan luas hutan. “Penduduk Indonesia, 60-70 persen hidup di Jawa, memerlukan dukungan lingkungan seperti kecukupan air. Jika hutan rusak, akan terjadi kekurangan air, banjir, dan longsor. KLHK akan terus berupaya bagaimana melakukan rehabilitasi hutan. Yang masih kurang, Jawa, Lampung, dan Bali,” tuturnya.

“Estimasi skenario untuk mencapai 30 persen, di 2030 bisa dicapai dengan kegiatan di tapak atau lapangan,” tambahnya.

Dekan Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, SHut, MP, MSc, PhD mengatakan nantinya para akademisi di perguruan tinggi akan berkontribusi untuk membantu KLHK dari sisi ilmu pengetahuan. “Nanti KLHK akan mengambil keputusan kebijakan atau melaksanakan rencana operasinya berdasarkan ilmu pengetahuan,” katanya.

Ia mencontohkan misalnya menanam bibit yang tepat agar berkualitas. “Kita berdasarkan penelitian yang ada, menanam bibit jati yang unggul, rotasinya pendek, tidak lagi 50 tahun. Bukan jati yang butuh waktu 50-60 tahun untuk tumbuh, termasuk jenis yang lain,” tuturnya.

Ia pun menyebut saat ini UGM dipercaya KLHK untuk mengelola kawasan hutan tujuan khusus di Ngawi, Jawa Timur seluas 19 ribu hektar. “Kita akan rehabilitasi agar lahan terbuka menjadi hutan yang normal lagi sehingga bisa direplikasi daerah-daerah lain,” katanya.

Untuk serapan karbon, Sigit mencontohkan misal pohon Jati Unggul usia 20 tahun dengan jarak tanam 8 x 3 meter akan menyerap 205,04 ton karbondioksida per hektarnya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.