Berita Nasional Terpercaya

APH Dituntut Sensitif Terhadap Hak Korban Kekerasan Seksual dan TPPO

0

SLEMAN, BERNAS.ID – Mahkamah Agung bersama Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) menggelar pelatihan singkat tentang “Pengadilan Sensitif Korban bagi Hakim dan Panitera Pengadilan, serta Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya” selama 3 hari (2-4 Agustus) di Yogyakarta.

Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tentang konsep dan implementasi pengadilan sensitif korban, terutama korban kekerasan seksual dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Pelatihan yang bekerjasama dengan ASEAN-Australia Counter Trafficking (ASEAN-ACT) ini masuk dalam rangkaian peringatan Hari Antiperdagangan Manusia Sedunia 2022.

Baca Juga Penembakan Dan Ledakan Bom Mewarnai Pilpres Filipina

Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo, mengatakan pelatihan ini bertujuan untuk menciptakan paradigma pengadilan yang memperhatikan hak-hak korban tindak pidana kekerasan seksual dan korban perdagangan orang, seperti pemulihan psikologi, medis dan material seperti hak restitusi (ganti rugi ke korban) yang dibayarkan pelaku.

“Salah satu yang kita bahas dengan detail adalah terkait eksekusi restitusi yang kerap terkendala karena pelaku tak mau membayar dan mengaku tak sanggup, akhirnya jadi subsider kemudian hukuman pengganti. Restitusi harus masuk bukan sebagai hukuman tambahan,” tuturnya, Selasa (2/8).

Hasto pun tak menampik eksekusi restitusi sering terkendala karena pelaku menyatakan tidak mau dan sanggup membayar meski harta bendanya sudah disita dan dilelang. Namun, dana restitusi bisa diambilkan dari dana bantuan korban.

Baca Juga Mendagri Ajak Seluruh Daerah Kelola Sampah Dengan Baik

Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo memaparkan data total restitusi yang berhasil diputus oleh hakim pada tahun 2021 dengan nilai sekitar Rp 3,2 miliar dari tuntutan jaksa Rp 4,8 miliar. Jumlah itu masih sekitar 66-70 persen dari tuntutan sehingga masih cukup rendah.

“Kita harus apresiasi karena ini perkembangan menggembirakan artinya para hakim sudah mengimplementasikan peradilan sensitif korban. Namun pekerjaan rumah bersama memastikan restitusi dibayarkan oleh pelaku,” tuturnya.

Menurut Antonius, LPSK saat ini sedang mendorong agar negara membantu membayarkan restitusi pada korban kekerasan seksual dan tindak pidana perdagangan orang. Menurutnya, negara harus turun tangan apabila pelaku tak mampu membayar setelah seluruh harta kekayaannya disita dan dilelang.

“Harta pelaku disita, dilelang dan hasilnya dipakai untuk membayar restitusi pada korban. Kalau dari lelang tidak cukup baru negara masuk, lewat dana bantuan korban,” sambungnya.

Sementara, Jupriyadi, S.H., M.Hum., Hakim Agung, Mahkamah Agung Repblik Indonesia, mengungkap kasus kekerasan seksual dan perdagangan orang berada di posisi kedua teratas daftar kasus yang ditangani MA. Sembilan bulan terakhir ia menyebut ada 1.500 perkara yang ditangani terkait kasus-kasus tersebut yang haruslah menjadi keprihatinan bersama.

“Perkara kekerasan seksual anak dan perempuan ini tidak semuanya sampai ke MA, bisa selesai di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Kalau yang sampai MA saja 1500 perkara sejak saya menjadi hakim agung selama 9 bulan ini,”tuturnya.

Jupriyadi menceritakan para pelaku kasus kekerasan seksual merupakan orang yang tahu tentang agama dan moral. Misalnya, pengasuh pondok pesantren pada santrinya, guru pada muridnya, orangtua pada anaknya, dan kakek pada cucunya. “Untuk itu, pengadilan kekerasan seksual jangan menambah penderitaan korban/saksi. Jangan sampai menambah penderitaan,” ujarnya.

“Inilah mengapa pelatihan ini sangat dibutuhkan agar bisa menjadi titik awal, lalu membuat modul melalui video pendek untuk diberikan kepada hakim-hakim di daerah. Tidak hanya transfer of knowledge, tapi sharing ilmu,” pungkasnya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.