Berita Nasional Terpercaya

Baru 42 Persen Kecamatan di Indonesia yang Punya SPBU, BBM Bersubsidi untuk Siapa?

SLEMAN, BERNAS.ID – Ketersediaan energi menjadi tugas pelayanan yang diberikan oleh negara selain pangan. Namun, faktanya, SPBU di Indonesia hanya menjangkau sekitar 42 persen kecamatan dari kurang lebih 7000 Kecamatan di Indonesia. Padahal, energi seperti BBM bersubsidi menjadi barang publik yang paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari.

Pertanyaan yang muncul “Subsidi ini sebenarnya ditujukan untuk siapa?” Hal inilah yang mengemuka dalam diskusi yang bertajuk “BBM dan Kenaikan harga BBM Bersubsdi, antara Beban APBN, Ketersediaan dan Keberlanjutan” di ruang Auditorium Mandiri, Fisipol UGM, Kamis (22/9).

Baca Juga Polisi Ungkap Sindikat Curanmor Di Sleman

Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi mengatakan negara bertanggungjawab penuh atas ketersediaan energi seperti BBM agar bisa diakses masyarakat. “Negara bertanggungjawab atas ketersediaan energi,  harus cukup, terjangkau, dan dapat diakses,” tuturnya dalam

Di sisi lain, menurut Mas’udi, Indonesia saat ini masih sangat tergantung pada sumber energi fosil. Untuk itu, perlu segera dikembangkan energi berbasis EBT (Energi Baru Terbarukan) karena Indonesia memiliki potensi dan keragaman sumber daya yang sangat besar.

Ia juga menekankan perlunya evaluasi kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi dengan tidak lagi mengatakan karena beban anggaran. ”Perlu evaluasi secara komprehensif soal tata kelola. Selama ini pengambilan kebijakan didominasi pada rezim keuangan. Jika masalah pada subsidi tidak tepat sasaran bukan dihilangkan, perlu tata kelola yang baik,” tuturnya.

Mas’udi menilai kenaikan harga BBM bukan persoalan besarnya beban anggaran subsidi, tapi harus dilihat dari perspektif tanggung jawab negara untuk memastikan ketersediaan dan akses pada energi tersebut. “Jangan sampai tidak tersedia dan tidak bisa diakses. Karenanya perlu dirancang transisi energi pada energi baru dan terbarukan. Menggantungkan pada energi fosil adalah pemikiran lampau. Saya kita kebijakan transisi energi sangat penting,” katanya.

Baca Juga Penembakan Dan Ledakan Bom Mewarnai Pilpres Filipina

Peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Agung Satrio Nugroho, M.Sc mengatakan memaparkan pendistribusian BBM bersubsidi hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat kecil karena dari hasil riset PSE, dari 7.000 lebih kecamatan di Indonesia, baru sekitar 42 persen yang memiliki penyalur distribusi resmi BBM bersubsidi atau SPBU. ”Artinya aksesibilitas fasilitas ketersediaan BBM itu belum separuh lebih sehingga kemungkinan besar salah sasaran,” katanya.

Anggota peneliti PSE UGM lainnya, Yudistira Hendra Permana, PhD., mengatakan anggaran subsidi BBM sebenarnya sudah mulai berkurang sejak tahun 2015. Lalu, pada tahun 2017 pertalite diperkenalkan dan premium mulai dihilangkan. Saat itu, masyarakat beralih ke pertalite karena harga yang lebih murah daripada BBM nonsubsidi lainnya.

“Dari kebutuhan sebelumnya hanya satu juta kiloliter per bulan dan saat ini mencapai 2,5 juta kiloliter per bulan. Tampaknya kuota nasional BBM bersubsidi harus dinaikkan dan ditambah agar bisa diakses hingga akhir tahun,” katanya.

Peneliti PSE lainnya, Saiqa Ilham Akbar, MSc menyampaikan kuota BBM yang terbatas sekarang ini adalah pasokan kuota BBM bersubsidi yang akan habis pada pertengahan Oktober. Namun bukan berarti produk BBM lainnya tidak ada. “Jika tidak ada pertalite maka masyarakat akan mengakses BBM non bersubsidi. Karena kilang minyak kita tetap berjalan memproduksi BBM,” katanya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.