Spirit Saptagati, Wujudkan Budaya Jawa Menuju Kebudayaan Global

SLEMAN, BERNAS.ID – Budaya Jawa menjadi entitas yang sangat penting sehingga perlu dilestarikan, dikembangkan, dan diberdayakan. Hal tersebut sesuai dengan simpulan Konferensi UNESCO di Meksiko September 2022 yang menyatakan kebudayaan menjadi unsur penting dalam pembangunan berkelanjutan.
Kongres Aksara Jawa III merupakan agenda yang terselengara atas kerjasama antara Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, dan DIY. Kongres Kebudayaan Jawa III diselenggarakan sebagai wadah dan sarana pembahasan masalah kebudayaan Jawa di tengah modernisasi yang terus bergulir saat ini.
Baca Juga Pemda DIY Dukung Satu Data Nasional, Minimalisir Duplikasi Ganda
Untuk itu, Kebudayaan Jawa diharapkan bisa mendunia dan dikenal di berbagai penjuru dan menjadi arah pembelajaran kebudayaan dunia.
“Menjadi salah satu tugas negara, untuk senantiasa menumbuhkan ekosistem kebudayaan yang sehat dan berkelanjutan, salah satunya melalui Kongres Kebudayaan Jawa III, sebagai melting pots pemikiran dan ide kreatif atas nilai-nilai budaya,” tutur Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X saat menjadi keynote speakers pada acara pembukaan Kongres Acara Jawa (KKJ) III, Senin (14/11).
Sri Sultan menjelaskan jika Budaya Jawa memang penuh bunga-bunga semerbak, banyak hal yang tersamar “sinamuning-samudana”, antik, artistik, dan estetis. Tak habis-habisnya jika orang ingin membicarakan budaya Jawa, terutama aspek-aspek falsafah hidup Jawa. Tidak akan membosankan, karena penuh makna dan banyak timbunan sejuta simbol filosofi yang merangsang keingintahuan.
“Percikan-percikan falsafah hidup Jawa, yang menyelinap halus dalam karya susastra lama yang memuat ajaran (piwulang) dan petuah berharga (pitutur luhur), hendaknya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya di-reaktualisasi sesuai perubahan era globalisasi,” ungkap Sri Sultan.
Baca Juga Gubernur DIY Ajak Tertib Pendataan Karya Budaya
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan), Dian Lakshmi Pratiwi mengatakan Kongres Budaya Jawa II tahun 2018 di Surabaya menghasilkan rumusan Saptagati budaya Jawa. Rekomendasi telah diberikan kepada masyarakat Jawa, melalui pemerintah tiga Provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY untuk menindaklanjuti Saptagati budaya Jawa.
“Atas dasar tersebut, Kongres Kebudayaan Jawa III tahun 2022 mengangkat tema Kabudayan Jawa Anjayeng Bawana, dari Saptagati menuju kebudayaan global,” tutur Dian
Dian menjelaskan Kabudayan Jawa Anjayèng Bawana“ dipilih sebagai tema KKJ III dengan maksud membuat budaya Jawa bisa mendunia. Menurutnya, tersebarnya masyarakat Jawa di berbagai tempat di belahan dunia, tentu tidak akan membuat mereka untuk melupakan budaya asalnya. Untuk itu, diharapkan budaya Jawa semakin dekat dengan keseharian masyarakat Jawa di mana saja berada dan lebih dikenal di dunia internasional.
Rangkain diskusi yang dilaksanakan oleh peserta dari tiga provinsi telah dilaksanakan sebelum KKJ III. Dari diskusi tersebut, menghasilkan 4 topik dari tema utama Anjayeng Bawana.
Pertama, meletakan Saptagati sebagai spirit sekaligus landasan substansi bagi dibangunnya kebudayaan Jawa sebagai gerakan global. Kedua, meletakan inovasi dan difusi sebagai pendekatan sekaligus strategi bagi dibangunnya kebudayaan Jawa sebagai gerakan global.
Ketiga, membangun sistem dan jaringan data kebudayaan Jawa yang akurat dan terpadu di ketiga Provinsi. Keempat, perlunya membangun model kelembagaan sebagai implementasi Anjayeng Bawana sebagai sebuah gerakan kebudayaan global.
Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekda Provinsi Jawa Timur, Benny Sampirwanto menyebutkan jika kebudayaan akan mengajarkan kepada kita sifat-sifat keluhuran, kehalusan, keindahan, etika dan estetika. Dalam sejarah peradaban Jawa, sifat adiluhung melekat pada tatanan hidup masyarakat Jawa sebagai sistem nilai dan ideologi juga sistem perilaku. Sifat adilihung itu juga mengindikasikan bahwa Jawa memiliki kultur yang mampu menciptakan harmoni.
Untuk itu, Benny menginginkan jika di era modern ini, kita harus cakap digital dengan kemampuan teknis memahami digital, budaya digital, etika digital. “Maka kita para budayawan juga perlu menguasai semua ini agar tidak tertinggal,” ujarnya.
Sudah selayaknya, di era yang serba modern-digital ini, falsafah hidup Jawa jangan semerta dianggap menjadi usang atau kadaluarsa. Sebaliknya, semua nilai tersebut harus direaktualisasi agar semakin ada kejelasan maknanya, seperti gagasan yang termakna dalam “Saptagati”, sebagai rumusan yang dihasilkan dalam Kongres Kebudayaan Jawa II, pada tahun 2018 silam.
Saptagati dapat dimaknai sebagai Tujuh Keutamaan Budaya Jawa, dengan menyandang unsur substansi: jatidiri, sendi pembangunan bangsa, pilar kesatuan, tuntunan perilaku kepemimpinan, benteng pelestarian budaya, daya mental, pemahaman nilai global, dan daya mental spiritual tata pergaulan internasional.
Ganjar Pranowo menjelaskan perlunya mendorong komitmen dan mengatur kelembagaan agar budaya Jawa masuk ke dalam keseharian masyarakat. Terus diulang hingga akhirnya menjadi budaya. Lalu dalam prakteknya dibutuhkan kerjasama berbagai pihak dan sistem kontrol bersama agar budaya Jawa menjadi jati diri nasional dan menjadi sendi pembangunan bangsa, seperti yang tertuang dalam Saptagati. (jat)