Berita Nasional Terpercaya

Volatilitas Keuangan Global Picu Resesi dan Inflasi Tinggi tahun 2023

SLEMAN, BERNAS.ID – Volatilitas keuangan global akan menjadi pemicu memburuknya risiko resesi dan tingkat inflasi tinggi serta diikuti ketidakpastian ekonomi tinggi pada kinerja ekonomi global tahun 2023. Untuk itu, diperlukan kebijakan ekonomi makro Indonesia yang lebih lebih ketat untuk mengatasi dampak resesi tersebut.

Perkiraan tersebut disampaikan pakar ekonomi UGM, Eddy Junarsin, PhD dalam diskusi bertajuk Guncangan Ekonomi Makro terhadap Sektor Transportasi dan Logistik di Indonesia, Rabu (14/12). “Harapannya, resesi global tidak terjadi. Mudah-mudahan koordinasi global lebih baik sehingga pemulihan menjadi lebih cepat,” katanya.

Baca Juga Bappebti Imbau Masyarakat Waspadai Perdagangan Aset Kripto

Eddy menyebut rata-rata inflasi negara global mencapai 9,2 persen dan diharapkan bisa melunak di bawah angka tersebut. Menurutnya, saat ini, tingkat inflasi negara Eropa akibat dampak perang Rusia dan Ukraina mencapai 10 persen, sedangkan Amerika Serikat mencapai 7,1 persen.

“Negara maju seperti Amerika tingkat inflasinya sampai 9 persen. Sekarang 7,1 persen. Turun 1 hingga 2,5 persen saja mereka sangat senang. Eropa sekarang, inflasi 10 persen. Indonesia sekitar 5,42 inflasinya, lebih moderat daripada negara maju,” tuturnya.

Sedangkan, tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia tumbuh di angka 5,3 rata-rata per tahun dalam enam kuartal terakhir. Menurutnya, hal itu menjadi prestasi tersendiri karena Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif dalam dua kuartal di masa awal pandemi lalu.

“Sempat mengalami pertumbuhan negatif, sekarang pertumbuhan menjadi positif. Tentu ini bukan cerminan hasil akhir, sebab berbagai faktor fundamental tidak selamanya kita kuat seperti yang kita bayangkan,” jelasnya.

Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi dan tingkat inflasi di angka 5 persen, pemerintah menurutnya tidak lekas berpuas diri sebaliknya tetap waspada terhadap ancaman resesi global.

“Dibandingkan negara maju, kita bisa optimis sekali, tapi tetap hati-hati. Saya kira Pemerintah juga berhati-hati terlihat dari pernyataan yang disampaikan berulang-ulang oleh Presiden dan menteri-menteri,” katanya.

Soal resesi, Eddy menyampaikan negara di dunia termasuk Indonesia sudah mengalaminya saat di awal pandemi ketika pertumbuhan ekonomi hampir seluruh negara menjadi negatif. Ia menilai faktor pandemi juga menjadi penyebab krisis dan resesi yang terjadi  pada tahun depan apabila terjadi.

Baca Juga Kemendag Sebut Nilai Ekspor Etanol Tumbuh Signifikan

Berbeda dengan krisis pada tahun 1998 yang melanda Indonesia yang disebabkan oleh sektor perbankan dan properti. Lalu krisis pada tahun 2008 disebabkan oleh perbankan di Amerika yang menjalar ke seluruh dunia sehingga yang menyebabkan ekonomi global menjadi lesu.

Meski setiap krisis disebabkan oleh berbagai macam faktor, tapi solusi yang dilakukan setiap negara dalam menanggulangi krisis hampir sama, yakni bank sentral membeli surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah. Lalu dana tersebut digunakan pemerintah untuk mendongkrak agar ekonomi bisa tumbuh kembali.

“Bila krisis sudah lewat, selalu ada efek samping. Hampir sama seperti kita bila minum obat. Biasanya yang akan terjadi adalah peredaran uang yang lebih banyak, akan terjadi inflasi dan agak melonjak, seberapa lama kondisi ini terjadi, itu yang perlu diatur,” pungkasnya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.