Berita Nasional Terpercaya

Penghitungan Angka Kemiskinan Yogyakarta Tak Semata Dari Sisi Pengeluaran

0

SLEMAN, BERNAS.ID – Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan membantah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi termiskin. Ia mencontohkan pengeluarannya lebih tinggi dibanding Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa berdasarkan hasil dari data BPS yang menyebutkan angka kemiskinan di DIY mencapai 11.49 persen.

Baca Juga Persiapan ATF 2023 Di DIY Sudah Mencapai 95 Persen

Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM, Prof Dr Tadjuddin Noer Effendi mengatakan angka kemiskinan yang dirilis BPS acapkali mengundang banyak reaksi meski BPS selalu merilis hasil survei susenas secara berkala. Berdasarkan  data BPS, ia menyebut penetapan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan.

“Di DIY sendiri garis kemiskinan Rp 551.342 per bulan. Pengeluarannya lebih tinggi dibanding Jawa Barat dan jawa tengah. Saya kira penetapan garis kemiskinan ada persoalan. Katanya angka kemiskinan tinggi namun pengeluarannya tertinggi di atas Jabar dan Jateng,” tuturnya.

Dari sisi tingkat ketimpangan pengeluaran atau rasio gini, DIY tertinggi di Indonesia yakni 0,439. Sementara dari angka harapan hidup, DIY menempati peringkat pertama di Indonesia dengan usia rata-rata penduduk 75 tahun. Tidak hanya itu,  nilai indeks pembangunan manusia berada di posisi kedua setelah Provinsi DKI Jakarta.

“Dari data IPM kok bisa termiskin, ada yang perlu kita koreksi. Lalu ada soal indeks kebahagiaan, DIY tertinggi kedua setelah Jawa Timur, terkait indeks kepuasan hidup, perasaan dan makna hidup,” paparnya.

Sedangkan dari jumlah penduduk lansia, diakui Tadjuddin, DIY tertinggi diikuti Jawa Timur dan Jawa Tengah. “Prosentase lansianya 4,2 persen dari jumlah penduduk DIY,” katanya.

Meski angka pengeluaran setiap keluarga masih menjadi tolak ukur internasional untuk menentukan angka kemiskinan. Namun metodologi penentuan garis kemiskinan di DIY oleh BPS menurutnya perlu diperdebatkan. “Seringkali kemiskinan ditetapkan dengan membandingkan nilai konsumsi seseorang dibanding dengan orang lain,” katanya

Selain menyoroti persoalan metodologi, Tadjuddin juga menyarankan pemerintah untuk memikirkan hal yang bersifat penanganan terutama dalam rangka pengentasan angka kemiskinan di Indonesia. “Karena sekali lagi terlalu banyak keterlibatan lembaga dalam penanganan kemiskinan. Terlalu banyak orang untuk intervensi dan hal itu cukup sulit diawasi dan barangkali kemiskinan itu juga menjadi komoditi,” katanya.

Baca Juga ATF Menjadi Ajang Investasi Dan Promosi Pariwisata DIY

Ketua BPS Kabupaten Sleman, Didik Kusdianto mengatakan menghitung garis kemiskinan tidak semata-mata pengeluaran seseorang per bulan, tapi juga ada faktor lain, yaitu nonmakanan.

“Jangan salah, pengeluaran yang dimaksud itu, bukan cuma apa yang dia beli,” ucap Didik.

Didik menyebut penghitungan garis kemiskinan berpijak dari kebutuhan dasar makanan 2100 kilo kalori per kapita per hari yang nanti dikonversi ke rupiah dan non makanan termasuk perumahan kesehatan pendidikan. “Itu dipakai untuk menghitung garis kemiskinan, tidak semata-mata cuma makanan. Ada dua faktor tadi,” katanya.

“Secara gabungan, bisa jadi secara makanan cukup, non makanan tidak cukup. Itu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, itu konsep dari World Bank sejak 1998.Ukuran yang kita ukur makro, sampling dari survei secara ilmiah bisa dibuktikan,” terang Didik.

Ia mengatakan penyebab kemiskinan bisa macam-macam, seperti tidak punya pendapatan dan salah satu faktor penyumbang kemiskinan di Yogyakarta, bantuan yang tidak tepat sasaran. “Makanya BPS diminta regsosek atau sensus oleh Pemerintah,” tukasnya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.