Pembahasan Terkait Data DIY Jadi Provinsi Termiskin di Jawa
YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Badan Pusat Statistik (BPS) terkini mencatat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa per September 2022. Data BPS tersebut benar untuk skala nasional, namun bukan berarti warga DIY benar-benar miskin, karena UMR DIY tergolong rendah dibanding daerah lain di Jawa.
Hal itu disampaikan Fungsional Statistisi Utama BPS DIY, Sentot Bangun Widoyono di dalam acara Rapat Kerja Daerah Tahun 2023 yang digelar Komisi Informasi Daerah DIY Selasa (7/2/2023).
“Satu keluarga dianggap miskin kalau pengeluarannya per bulan kurang dari Rp. 2.315.636,” ujar Sentot.
Ia menjelaskan, persentase penduduk miskin DIY pada September 2022 sebesar 11,49 persen menurun 0,42 persen poin dibandingkan September 2021, namun naik 0,15 persen poin dibandingkan Maret 2022.
“Di September ada kebijakan tentang kenaikan harga BBM yang menimbulkan dampak signifikan,” paparnya.
Ia menambahkan, data BPS tersebut diambil secara sampel secara dua kali setahun. Namun itu hanya data sensus yang tidak diambil tiap tahun, dan hanya menghasilkan data makro untuk kebutuhan evaluasi dan monitoring.
“Menurut data, di Jogja ini banyak yang dianggap miskin, tapi sebenarnya masih produktif. Jadi perlu dilakukan pemetaan lagi, dengan cara pemetaan mikro,” katanya.
Baca juga: Permohonan Sengketa Informasi Tak Diterima KID DIY, Elanto Wijoyono Lanjutkan Ke Pusat
Elanto Wijoyono selalu Direktur Combine Resource Institution (CRI) Yogyakarta yang menjadi pembicara lain di dalam acara ini mengatakan, yang penting adalah bagaimana data-data tersebut bisa diolah untuk menghasilkan kebijakan tertentu, guna mengatasi kemiskinan di DIY.
Baca juga: Netizen Kritik Penebangan Pohon Di Jalan Gejayan Sleman
Ia berpendapat, hampir semua urusan dalam proses perencanaan pembangunan membutuhkan data. Namun ia mempertanyakan, apakah proses penggalian data di masyarakat yang dilakukan BPS hanya menjadi suatu proses kewajiban, namun tidak terintegrasi satu sama lain dengan data dari lembaga lain.
“Yang menarik, mengapa ada beberapa pemerintah kabupaten termasuk di DIY yang punya keinginan mengintegrasikan data-data, yang biasanya itu diselenggarakan dan dikelola kementrian atau lembaga,” ujarnya.
Ia berharap aparat pemerintah desa bisa melakukan analisis guna mengetahui potensi dan kapabilitas wilayahnya. Karena itu kementrian dan lembaga harus lebih terbuka memberikan salinan data yang dimiliki pusat untuk dimiliki pemerintah di level desa.
“Data itu tidak dilihat hanya sebagai revolusi yang bersifat teknis, namun bagaimana efeknya terhadap keadilan sosial,” kata dia. (den)