Berita Nasional Terpercaya

Tawuran Menggerus Rasa Aman Warga Yogyakarta

Analisis Data

0

Beberapa hari berselang, rasa aman masyarakat Provinsi DI Yogyakarta (DIY) terusik dengan munculnya kasus perkelahian antara kelompok suporter sepakbola Brajamusti dengan kelompok perguruan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Pecahnya tawuran antarkelompok warga di provinsi berjuluk kota wisata, budaya, dan kota pendidikan ini terjadi untuk kesekian kalinya.

Tawuran antarkelompok suporter sepakbola juga pernah terjadi sebelumnya di DIY. Pada 27 Agustus 2022, kelompok pendukung klub sepakbola PSS Sleman mengalami penyerangan dari kelompok suporter PSIM Yogyakarta. Kejadian ini mengakibatkan salah satu suporter PSS Sleman mengalami pengeroyokan hingga meninggal dunia.

Sebelumnya, tawuran antarkelompok pendukung klub sepak bola juga pernah terjadi di DIY. Kasus ini terjadi pada 25 Juli 2022, melibatkan kelompok suporter sepak bola Yogyakarta dengan kelompok pendukung klub sepak bola dari Kota Surakarta.

Baca juga: Suporter Solo Rusuh Di Jogja, Begini Kata Sultan 

Tawuran antarkelompok warga di DIY juga pernah terjadi di luar konteks pertandingan olahraga. Pada 4 Juli 2022, bentrokan antarkelompok warga juga terjadi di kawasan utara DIY. Tawuran itu melibatkan kelompok warga dari dua kelompok massa.

Pecahnya tawuran bermula dari keributan kedua kelompok di sebuah tempat karaoke dua hari sebelumnya. Peristiwa ini menimbulkan kerugian materi cukup besar meskipun akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai.

Baca juga: Polisi Beberkan Kronologi Rusuh Babarsari Sleman 

 

10 Provinsi Teratas

Tahun 2021, DIY masuk kelompok 10 provinsi teratas untuk kategori persentase desa/kelurahan dengan kejadian tawuran antarkelompok. Hal ini terekam dalam data Statistik Potensi Desa tahun 2021.

 

 

Publikasi Badan Pusat Statistik ini memotret berbagai kondisi sosial-ekonomi yang disajikan dalam satuan jumlah dan persentase desa/kelurahan. Tercatat 1,37 persen desa/kalurahan di provinsi ini pernah terjadi kasus perkelahian antarkelompok warga. Angka itu berada di atas rata-rata nasional yang tercatat hanya satu persen desa/kelurahan dalam kurun waktu yang sama.

Pada tahun yang sama, DIY juga tercatat sebagai satu dari 10 provinsi teratas di Indonesia dalam hal kepadatan populasi penduduk. Provinsi ini menempati urutan keempat wilayah berpenduduk terpadat sesudah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.

Hal yang melatarbelakangi DI Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang mencatat persentase kejadian perkelahian antarkelompok warga di atas rata-rata nasional tentu saja tak lepas dari sejumlah faktor.

Perkelahian massal antarkelompok kerapkali diidentikkan dengan faktor pendidikan. Pelaku perkelahian hampir selalu diyakini dilakukan oleh mereka yang berpendidikan rendah. Namun, kasus berulang perkelahian antarkelompok yang terjadi di DIY agaknya bisa mementahkan persepsi tersebut. Salah satu contohnya, kasus perkelahian antarkelompok juga pernah terjadi di antarmahasiswa UPN Yogyakarta pada awal Oktober tahun lalu.

 

Baca juga: UPN Yogyakarta Bentuk Komisi Untuk Selesaikan Tawuran Antar-Mahasiswanya

 

Faktor Penyebab

Mengingat pendidikan belum tentu menjadi salah satu faktor merebaknya perkelahian massal di DIY, maka tentu ada hal lain yang melatarbelakangi kasus ini. Salah satu fakta terkini menunjukkan bahwa perkelahian massal ini bermula dari penganiayaan yang dilakukan salah satu kelompok suporter sepak bola.

Kelompok suporter yang tengah merayakan kemenangan tim kesayangannya ini tidak terima ketika diingatkan korban untuk tidak menimbulkan suara terlalu keras. Penganiayaan pun lalu berlanjut bentrokan massal karena kejadian yang menimpa korban diketahui rekan-rekannya yang merupakan kelompok salah satu perguruan pencak silat.

Melihat kronologis peristiwa tersebut, kasus perkelahian antarkelompok warga yang agaknya mempunyai keterkaitan juga dengan tindak kekerasan yang melatarbelakanginya. Secara statistik, fenomena ini dapat ditunjukkan dari analisis korelasi antara variabel persentase desa/kelurahan yang mencatat perkelahian antarkelompok, dengan persentase adanya kejadian kasus penganiayaan di tingkat desa/kelurahan pada 34 provinsi di Indonesia. Korelasi dari dua variabel ini menunjukkan hasil signifikan kendati memiliki derajat hubungan yang lemah.

 

 

Munculnya peristiwa penganiayaan yang menjadi pemicu perkelahian antarkelompok tersebut, perlu juga menimbang sisi dimensi manusia sebagai individu. Faktor perilaku individu tersebut sekurang-kurangnya turut berkontribusi dalam memicu perkelahian massal dalam kasus yang baru saja terjadi. Faktor perilaku individu ini dapat didekati dengan melihat variabel kemandirian, menggunakan pendekatan data yang Indeks Kebahagiaan yang dipublikasi Badan Pusat Statistik. Aspek kemandirian ini terkait dengan kemampuan seseorang untuk mengatasi tekanan sosial ketika berpikir dan bertindak, mengontrol perilakunya, dan mampu mengevaluasi diri.

Variabel tersebut kemudian dapat dilihat korelasinya dengan persentase desa yang pernah mengalami kejadian perkelahian antarkelompok warga. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut juga menunjukkan hubungan yang signifikan walaupun derajat korelasinya lemah.

Aspek demografi, dalam hal ini adalah kepadatan penduduk, juga dapat menjadi salah satu aspek yang berkaitan dengan kerentanan perkelahian antarkelompok warga. Kepadatan penduduk mempunyai korelasi yang signifikan dan kuat terhadap kejadian perkelahian antarkelompok warga yang terjadi di Indonesia, termasuk di wilayah DIY, menggunakan data tahun 2021.

Dalam kondisi lingkungan yang relatif padat penduduk, singgungan kepentingan boleh jadi lebih mudah memicu kesalahpahaman. Sedkit banyak situasi ini tecermin juga dalam peristiwa yang melatarbelakangi pecahnya bentrokan antarkelompok yang baru saja terjadi.  Kemungkinan ini juga sejalan dengan hasil analisis korelasi antara variabel kepadatan penduduk dengan variabel persentase desa yang pernah mengalami kejadian perkelahian antarkelompok warga. Kedua variabel ini memiliki korelasi signifikan pada derajat hubungan yang kuat.

Merujuk signifikansi korelasi sejumlah variabel tersebut, kejadian perkelahian massal antarkelompok yang terjadi di DIY, baik yang terjadi beberapa waktu lalu maupun sudah muncul sebelumnya, agaknya memberikan sinyal kuat akan pentingnya perbaikan kondisi psikologis masyarakat DI Yogyakarta. Bagaimanapun, setiap orang memerlukan rasa aman dalam menjalani hidup sebagai bagian dari masyarakat.

Kenaikan persentase wilayah tawuran antarkelompok akan diikuti dengan peningkatan risiko penduduk terkena tindak pidana. Kedua variabel ini juga menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik. Persoalannya, risiko ini bisa saja terjadi pada pelaku, namun mungkin juga justru dialami oleh masyarakat yang sebenarnya tidak terlibat.

Baca juga: Kapolda DIY Sebut Aman Secara Rasa Itu Penting

 

Upaya Pemerintah

Sejauh ini, pemerintah juga menaruh perhatian terhadap kasus gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat ini. Negara, melalui Undang-undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga memasukkan perkelahian massal sebagai tindak pidana.

Pasal 472 huruf a undang-undang tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang melibatkan beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap tindak pidana yang khusus dilakukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan.

Pelaku juga bisa dikenakan pidana denda paling banyak kategori III, jika penyerangan atau perkelahian tersebut mengakibatkan luka berat. Adapun merujuk pasal 79 ayat (1) huruf c undang-undang ini, pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori III adalah senilai Rp 50 juta. Pasal 472 huruf b UU No. 1/2023 juga mengamanatkan pidana penjara paling lama 4 tahun, jika penyerangan atau perkelahian tersebut mengakibatkan matinya orang.

Baca juga: Tantangan Besar Menyamakan Persepsi Bagi Para APH di KUHP Baru

Namun demikian, ancaman pidana dari KUHP baru tidak serta-merta efektif meredam perkelahian massal di Indonesia, termasuk di DIY. Keberadaan payung hukum lebih berfungsi efektif sebagai langkah represif alih-alih upaya preventif dalam konteks perkelahian massal. Pada akhirnya, pemerintah daerah perlu juga menyusun dan menerapkan strategi lain sebagai langkah preventif, guna mengembalikan DIY sebagai kota yang dikenal damai dan ramah bagi setiap orang. (bim)

Leave A Reply

Your email address will not be published.