Tenun Lurik Tradisional Bantarjo, Salah Satu Potensi UMKM Kulon Progo
YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Udjik Sudaryati merupakan tokoh penggerak dari UMKM Tenun Lurik Tradisional Bantarjo Kulon Progo. Ia memulai usahanya sejak tahun 2017, setelah menyadari potensi para penenun yang berada di wilayahnya.
“Saat itu, wilayah kami memang banyak yang berprofesi sebagai penenun. Saat itu, dengan niat naik kelas, saya bersama teman-teman mengajukan proposal ke Dinas Koperasi dan UMKM Kulon Progo,” kata Udjik di sela-sela Bazar UMKM yang diadakan di Kantor BRI Cik di Tiro Yogyakarta belum lama ini.
Baca Juga: Lulu Luthfi Labibi: Menyulap Lurik Menjadi Busana Cantik
Dalam proposal itu, ia mengajukan bantuan alat untuk kelompok tenun Bantarjo. Nama Bantarjo terinspirasi dari nama dukuh di mana Udjik dan anggota kelompok tenun tersebut menjalankan usaha. Tak butuh waktu lama untuk proposal itu disetujui oleh pemerintah setempat.
Para perajin di Bantarjo kemudian menerima dukungan berupa 10 unit alat tenun bukan mesin (ATBM) dari Pemkab Kulon Progo melalui Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah memberikan bantuan 10 unit ATBM kepada Kelompok Tenun Bantarjo.
Tidak hanya itu, Udjik mengatakan, para perajin di kelompoknya itu juga mendapatkan pelatihan dan pendampingan dari Tenun Mumbul Kalibawang.
Selain itu, pengembangan tenun lurik tradisional dari Desa Banguncipto, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta itu juga meningkat pesat ketika Gubernur DIY, Sri Sultan HB X, mewajibkan para ASN di wilayah tersebut untuk mengenakan pakaian tradisional gaya Jawa Yogyakarta setiap Kamis Pahing menurut penanggalan Jawa.
“Momen itu juga jadi salah satu yang kami lihat ada peluang besar agar tenun lurik tradisional bisa semakin berkembang. Di dukuh kami (Bantarjo) masyarakat sudah terampil dalam menenun menggunakan ATBM,” ujar dia.
Baca juga: Peneliti UWM Beri Pelatihan Perajin Tenun Lurik Maju Mandiri
Perlahan tapi pasti, kelompok tenun Bantarjo terus berkembang. Beberapa kali, mereka juga berpartisipasi dalam pameran, dari tingkat kabupaten hingga nasional guna mempromosikan produk.
Dukungan juga terus mengalir guna mendukung perkembangan UMKM Lurik Bantarjo. Salah satunya dari BRI yang membuka kesempatan Lurik Bantarjo untuk mengenalkan produknya ke masyarakat secara luas. Selain itu, pendampingan oleh BRI juga berperan dalam pertumbuhan usaha Lurik Bantarjo.
“Perlahan pesanan terus naik, baik untuk pakaian ASN di DIY maupun di luar daerah. Produk dari Tenun Bantarjo lantas semakin banyak dikenal,” papar Udjik.
Ia mengakui, pesanan melalui luring saat ini masih menjadi salah satu sumber pemasukan usaha terbesar dibandingkan lewat daring. Sebab, kelompok tenun Bantarjo sejak awal dikenal oleh kalangan ASN dan perusahaan-perusahaan swasta berdasarkan mulut ke mulut.
“Kami sekarang lagi ngerjain pesanan yang cukup banyak dari Puskesmas Nanggulan, PKK Tayuban, dan banyak lagi,” kata dia.
Harga lurik Bantarjo berkisar Rp35 ribu hingga Rp50 ribu per meter. Sedikit lebih mahal dibandingkan dengan lurik dari daerah lain seperti Klaten. Penyebabnya, kata Udjik, karena lurik Bantarjo dibuat dengan menggunakan ATBM.
“Lurik Bantarjo mungkin sedikit lebih mahal dari daerah lain. Penyebabnya karena penggunaan ATBM dalam pembuatannya, sehingga kita harus mengeluarkan biaya produksi untuk perajin lurik ATBM,” ujar dia.
Meskipun dihargai lebih mahal, tenun yang dibuat dengan ATBM lebih awet, memiliki varian motif, nilai estetik tinggi, serta secara kualitas benang dan pewarnaannya tidak akan memudar meski berpuluh-puluh tahun.
Lurik tradisional Bantarjo, kata Udjik, hingga kini terus berusaha untuk menjaga kualitas dengan produksi secara tradisional tanpa mesin. Alasannya, selain kualitas yang baik, juga menjaga tradisi dari para pendahulu.
Dengan kualitas yang terjaga ini, banyak pula kalangan yang suka dengan batik lurik Bantarjo. Udjik menceritakan, pesanan terbanyak yang pernah ia terima dalam satu bulan hampir 5.000 barang.
“Ketika pesanan membludak, kita juga buka lowongan untuk pekerja lepas. Biasanya teman-teman dari para perajin setempat agar pesanan bisa tetap tepat waktu,” kata Udjik.
Dengan harga berkisar antara Rp35 ribu hingga Rp50 ribu per meter. Omzet yang pernah diterima Udjik selama enam tahun menjalankan usahanya mencapai Rp120 juta dalam satu bulan.
Sedangkan rata-rata omzet yang dihasilkan Kelompok Tenun berada di angka Rp30 juta dalam sebulan.
“Tapi, kita juga pernah dalam beberapa bulan sama sekali tidak ada pemasukan. Itu saat kasus COVID-19 di Yogyakarta sedang tinggi,” kata Udjik.
Ledakan kasus wabah Virus Corona pada tahun 2021 silam berdampak cukup signifikan terhadap usaha lurik Bantarjo. Muncul klaster COVID-19 di kampungnya yang membuat usaha terpaksa berhenti karena warga takut tertular.
“Hampir satu tahun saya berhenti menjalankan usaha,” kata dia.
Namun dengan dukungan dari para penenun dan hubungan baik dengan para pembeli, Tenun Bantarjo kini kembali bangkit dan eksis hingga sampai sekarang.
“Saat itu ada konsumen yang berkali-kali minta agar kami kembali jualan. Dengan segala pertimbangan, akhirnya kami kembali dan bisa bertahan hingga saat ini,” tandasnya. (den)