YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar sarasehan Peringatan Jogja Kembali, Kembalinya Para Pemimpin ke Yogyakarta dari Pengasingan di Ruang Bima, Senin (10/7/2023). Sarasehan ini memperingati kembalinya Ibu Kota Yogyakarta ke pangkuan republik saat itu pasca Perjanjian Roem-Royen.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Yogyakarta sudah ditinggalkan oleh pasukan Belanda sejak akhir bulan Juni 1949. Pada tanggal 10 Juli 1949, Soekarno, Hatta, Agus Salim dan jajaran kabinet lainnya tiba di landasan udara Maguwo dari pengasingannya di Bangka. Rombongan pasukan gerilya Jendral Soedirman juga tiba di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.
Baca Juga: Syawalan Lintas Iman Pupuk Persahabatan Antar Umat Beragama
Sebagai narasumber, Julian Ibrahim sejarawan UGM, menceritakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Koordinator Keamanan mengeluarkan maklumat karena sebagai penanggung jawab keamanan di Yogyakarta sebagai ibukota negara kala itu.
“Sebagai tanggungjawab Sultan untuk mengamankan keadaan. Penegasan Sultan bahwa pemerintahan sipil dan militer bersifat sementara karena hanya merupakan bagian tugasnya yang diminta presiden. Itu Bukan kepentingan pribadi, tapi kepentingan bangsa dan negara,” tuturnya.
Menurutnya, benteng terakhir republik kala itu berada di tangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebab, kalau sampai terpikat tawaran Belanda, Republik Indonesia akan habis kala itu. “Ia punya mandat penuh untuk melakukan itu, mengukuhkan dirinya sebagai raja jawa. Tapi tidak dilakukan,” ucapnya.
Ia menceritakan Belanda sejak awal ingin mendekati Sultan karena di Solo kala itu, swaprajanya sudah runtuh dan tidak punya hak istimewa. Untuk itu, Sultan yang sebagai anggota kabinet tidak ikut diasingkan ke Bangka, tapi menjadi tawanan rumah.
“Harapannya Belanda masih bisa membujuk Sultan agar mendukung Belanda. Jenderal Nasution sampai menulis dalam bukunya Sri Sultan sebagai patriot sejati karena ancaman militer dan daya pikat Belanda tidak menggoyahkan tekadnya,” ucap Julian.
Narasumber kedua Baha Uddin, sejarawan UGM menyoroti cara pandang Sultan Hamengku Buwono IX yang berbeda dengan Sultan-sultan sebelumnya. Ia mengatakan, ketika Jepang menyerah, Soekarno memproklamasikan Indonesia, bisa saja mengembalikan kekuasaan Kesultanan Mataram sebelum terjadinya Perjanjian Giyanti.
“Ada perubahan yang sangat drastis cara pandang Sultan HB ke-9. Kalau Sultan sebelumnya mengurusi wilayahnya sendiri, tapi ia menjadikan Yogyakarta menjadi lebih ke nasional, Yogyakarta untuk Indonesia. Inilah menjadi titik tolak penting,” tuturnya.
Ia pun menyampaikan arsip Yogyakarta sebagai ibukota RI kini sudah diakui sebagai memori kolektif bangsa. Salah satunya arsip mengenai proklamasi yang diucapkan Sultan menjadi arsip yang dipamerkan di BPAD Janti.
“Proklamasi kedua itu inisiatif dari Sultan sendiri berdasarkan surat kewenangan dari Presiden Soekarno. Ada jeda waktu sekitar seminggu sampai kedatangan Presiden Soekarno. Perlu ada penegasan proklamasi kembali setelah Belanda menyerahkan kekuasaan. Proklamasikan kemerdekaan kedua diucapkan Sultan di Malioboro karena sebagai batas penarikan tentara Belanda,” urainya.
Baca Juga: 75 Tahun Kerja Sama Belgia-Indonesia, Diplomatik Menjadi Friendship
Sedangkan, Margana, narasumber ketiga, sejarawan dari UGM menyampaikan tidak ada catatan dokumentasi yang membuktikan koordinasi Serangan Serentak 1 Maret antara para pemimpin yang diasingkan tapi para pemimpin di bangka itu tahu.
“Ketika membaca memoar dr Soeharto, tampaknya yang terjadi di Jogja selalu dipantau dari Bangka apalagi operasi militer Serangan Serentak 1 Maret sangat penting,” ucap Margana.
Ia menyampaikan adanya kurir dan telegram atau surat dalam tulisan memoar Dr Soeharto. Dalam memoarnya, ia pernah bertemu dengan utusan dari Jenderal Sudirman dan Hamengku Buwono untuk bertemu dengan para pemimpin di Bangka.
“Termasuk penyelamatan bendera Merah Putih yang disobek dan dipisahkan kain merah dan putihnya. Sobekan bendera itu ditaruh di kotak dititipkan ke dr Soeharto,” kata Margana.
Lanjut tambahnya, komunikasi melalui radio sangat efektif untuk mendengar berita-berita dari Jogja. “Sangat mungkin Hamengku Buwono memberitahukan serangan serentak,” tukasnya. (jat)