FMSS Usulkan Solusi Persampahan ke Komisi C DPRD DIY

YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Sejak TPA Regional Piyungan, ditutup selama 1,5 bulan (Minggu, 23 Juli 2023 s.d. Selasa, 5 September 2023), muncul kedaruratan dan kerentanan dalam bermasyarakat. Kebijakan itu diambil karena TPA Regional Piyungan sudah melebihi kapasitas, tidak dapat menampung sampah dari 3 wilayah, dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul (Kartamantul), dengan rata-rata sampah yang masuk ke TPA Piyungan sebesar 742 ton/hari.
Hal tersebut mendorong inisiasi Forum Masyarakat Sadar Sampah (FMSS) DIY, yang keanggotaannya terdiri dari gabungan elemen masyarakat, yang terdiri atas perseorangan dan beberapa organisasi di DIY melakukan audiensi ke Komisi C DPRD DIY, Senin 21 Agustus 2023.
Secara khusus, Renny A. Frahesty, ketua perkumpulan Narasita yang juga menjadi salah satu elemen FMSS DIY menyatakan bahwa audiensi ini merupakan bentuk keberpihakkan kepada masyarakat terdampak dari akibat dan konsekuensi atas diterbitkannya Surat Sekda DIY tersebut.
“Audiensi ini merupakan dialog untuk menyampaikan pokok pikiran serta tinjuan FMSS DIY terhadap regulasi yang ada beserta perkembangan di tingkat masyarakat,” ungkap Renny di sela audiensi.
R. Yuli Kusworo, Direktur Arkom, salah satu elemen FMSS DIY, mengilustrasikan apabila sampah yang masuk ke TPA Piyungan dipindahkan di sepanjang Jalan Malioboro, maka akan penuh dalam waktu 5,5 hari dan apabila dipindahkan ke Stadion Mandala Krida maka akan penuh dalam waktu 8 hari dengan tinggi sebetis orang dewasa.
“Itu ilustrasi yang ekstrem dengan paradigma ‘buang’ sampah, akan berbeda jika memakai paradigma pengelolaan sampah, mulai dari produsen sampahnya,” katanya.
Ia juga mengingatkan lebih dari 50% sampah di DIY adalah sampah organik, artinya jika pengelolaan sampah dimulai dari rumah tangga yang terorgansir maka mampu mengurangi volume sampah yang dihasilkan secara signifikan.
Terdapat regulasi sampah di DIY yaitu Perda DIY No. 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, serta RAPERDA DIY 2023 tentang Pengelolaan Sampah Regional. Keduanya memiliki kesamaan yakni memakai landasan hukum UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun disisi lain, masih memiliki Paradigma ekstrem yakni ‘memindahkan masalah’, bukan menyelesaikan masalah.
“Temuan Tim Arkom dalam membedah RAPERDA DIY 2023, menemukan sentralisasi pengelolaan sampah dengan tidak melibatkan peran aktif komunitas terorganisir dalam bentuk circular economy, walaupun di Naskah Akademiknya sudah disebutkan dan terdapat praktik baik di Panggungharjo,” papar Yuli.
Baca juga: TPST Piyungan Ditutup Sampai 5 September, Begini Kata Pj Wali Kota Jogja
“Jika posisi Raperda sebagai penguat Perda DIY No. 3/2013, maka perlu diberi tekanan pada konsep yang lebih desentralistik, yakni dengan memberi ruang peran aktif komunitas terorganisir dalam aksi pengeloalaan sampah regional tersebut. Selain itu segera untuk menambahkan peraturan turunan yang lebih bersifat teknis beserta penggunaan teknologinya,” imbuh Yuli.
Sejalan dengan Yuli, Ainun Murwani, Pengurus Paguyuban Kalijawi melihat praktek pemilahan yang belum masif dilakukan di skala rumah tangga. Kalaupun sudah ada yang memilah, pada saat pengangutan dicampur kembali.
“Selain itu tidak adanya kelembagaan dan koordinasi kelembagaan pengelola sampah dari aras RW sampai aras Regional, yang bukan sekedar bank sampah,” imbuhnya.
Sementara itu Eko Winardi, budayawan sekaligus praktisi persampahan, menyampaikan persoalan sampah saat ini sudah sampai pada situasi darurat yang perlu segera untuk dilakukan aksi mitigasi. DIY telah teruji dalam menghadapi bencana Gempa Bumi dan Erupsi Merapi.
Modal sosial masyarakat DIY merupakan potensi yang mendukung bagi penyelesaian persoalan sampah. Perlunya pendidikan yang menuntun perubahan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan sampah, merupakan wujud dari ritual budaya.
“Sebagai bagian dari mengejawantahkan hamemayu hayuning bawana, pengelolaan sampah wajib dimaknai sebagai alur kehidupan dengan konsep memilah, menaruh, dan memanfaatkan. Hindari konsep membuang,” ujar Eko.
Sedangkan Agus Hartana, Ketua LSM LESTARI, menyebutkan persoalan sampah di DIY harus diatasi dari hilir (produsen sampah) sampai dengan hulu (pemrosesan akhir), dengan pendekatan Reduce (Pengurangan), Reuse (Pengunaan Kembali), Recycle (Pendaurulangan).
3R merupakan tahapan yang tidak melompat-lompat atau sesuka hati. Artinya pendekatan Reduce merupakan landasan bagi pendekatan lainnya. Reduce merupakan kunci bagi aksi selanjutnya yakni Reuse, dan Recycle.
“Hal yang sering ditemui dalam masyarakat, sampah yang sudah dipilah kembali tercampur kembali, sekaligus tidak tahu bagaimana memanfaatkannya,” ujar Agus.
Di akhir acara, FMSS DIY sepakat bahwa perlu skema yang bersifat: Darurat, Jangka Pendek, dan Jangka Menengah dalam penyelesaian persampahan di DIY. Mereka mendorong aksi nyata dalam pengelolaan sampah dengan keterlibatan dan peran semua pihak, khususnya peran aktif masyarakat.
Keterlibatan tersebut harus secara eksplisit tertuang dalam peraturan yang ada. Potensi modal sosial masyarakat DIY merupakan hal yang perlu diapresiasi. Selain Perda 3/2013 maupun Raperda 2023, diperlukan peraturan turunan yang lebih teknis dalam pengelolaan sampah secara modern. (den)