Bawaslu Bahas Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 terkait Isu Politisasi SARA
SLEMAN, BERNAS.ID – Bawaslu RI memetakan kerawanan pemilu dan pemilihan serentak 2024 terkait isu politisasi SARA.
Lolly Suhenty selaku Anggota Bawaslu RI Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat mengungkapkan, kerawanan pemilu adalah segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis.
“Sedangkan indeks kerawanan pemilu merupakan suatu pola dan metode pencegahan pelanggaran dengan mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran pemilu,” terang Lolly, saat Launching Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, Isu Strategis: Politisasi SARA di Sahid Raya Hotel & Convention Yogyakarta, Selasa (10/10/2023).
Baca Juga : Pemilu 2024 Masih Mengarah ke Politik Transaksional
Lolly menjelaskan, mengenai isu strategis yang dibahas, yaitu politisasi SARA dalam Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan terdapat larangan dalam berkampanye, yang berbunyi “Dilarang menghina seseorang, suku, agama, ras dan golongan, calon dan/atau peserta pemilu dan pemilihan lainnya”.
“Politisasi SARA termasuk sumber kerawanan yang rentan terjadi di pelaksanaan pemilu dan pemilihan. Maka dari itu pemetaan kerawanan politisasi SARA penting dilakukan sebagai upaya pencegahan agar kekerasan dan konflik karena penggunaan isu SARA dalam kampanye tidak terjadi dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilihan,” jelas Lolly.
Sementara indikator pemetaan kerawanan pemilu atas isu politisasi SARA, menurut Lolly yang pertama adalah kampanye bermuatan SARA di media sosial.
Yang kedua, kampanye bermuatan SARA di tempat umum. Selanjutnya penolakan calon berdasarkan alasan SARA. Yang terakhir adalah kekerasan berbasis SARA.
“Temuannya, kekerasan berbasis SARA merupakan muara dari berbagai indikator politisasi SARA lainnya. Namun, indikator penolakan calon berbasis SARA secara statistik berpengaruh kuat pada kekerasan berbasis SARA,” kata Lolly.
“Di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, provokasi isu SARA melalui media sosial menjadi sumber tertinggi kekerasan berbau SARA yang terjadi di lingkungan masyarakat,” imbuhnya.
Sedangkan, tingkat kerawanan tertinggi isu politisasi SARA menurut Provinsi, peringkat pertama berada di DKI Jakarta, kedua Maluku Utara, ketiga Papua Barat, keempat Daerah Istimewa Yogyakarta, kelima Jawa Barat, dan keenam Kalimantan Barat.
“Kesimpulannya adalah, kampanye bermuatan SARA dan mobilisasi penolakan calon berdasarkan SARA adalah dua strategi umum politisasi SARA yang melahirkan kekerasan atau konflim berbasis SARA,” tutur Lolly.
Kesimpulan selanjutnya, kekerasan berbasis SARA umumnya dipicu oleh kampanye bermuatan SARA atau tindakan mobilisasi massa.
“Ketika saling provokasi dan intimidasi tidak terkelola dengan baik, maka dinamika konflik akan berkembang cepat dan menjadi sangat violent (brutal). Muaranya adalah bentrokan antar kelompok atau kerusuhan antar massa yang berlarut-larut,” kata Lolly.
“Baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, politisasi SARA yang paling dominan adalah politisasi etnis dan agama,” tambahnya.
Untuk itu, muncullah rekomendasi membuat definisi dan regulasi yang jelas dan rigid mengenai politisasi SARA dan bahayanya terhadap keutuhan NKRI.
Baca Juga : Pemilu 2024 Menjadi Salah Satu Proses Penting Indonesia Emas 2045
Rekomendasi selanjutnya adalah, membuat SOP mengenai upaya penanganan kasus politisasi SARA. Lalu menyusun bank data kasus politisasi SARA lengkap dengan karakteristik dan sebarannya sebagai kajian ilmiah dalam basis pembuatan kebijakan pencegahan (evidence-based policy).
“Kemudian, edukasi pemilih secara masif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Kerjasama dengan Kemenkominfo dan Platform media sosial untuk pencegahan kampanye dan provokasi SARA di media sosial dan media massa lainnya,” kata Lolly.
Rekomendasi lainnya adalah, kerjasama dengan TNI/Polri dan BIN untuk mengidentifikasi gejala politisasi SARA dan mencegah berkembangnya politisasi SARA.
“Lakukan patroli pengawasan siber secara intensif untuk mencegah potensi berkembangnya politisasi SARA,” pungkasnya. (cdr)