YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Sejarah Majapahit punya nilai penting dalam menjaga keutuhan bangsa yang majemuk. Sebagai kerajaan besar di Nusantara, Majapahit meninggalkan warisan toleransi bermasyarakat yang relevan bagi dunia sepanjang zaman.
Hal tersebut disampaikan Herald van der Linde, seorang analis ekonomi, yang menaruh minat besar pada isu-isu sosial politis dan juga sejarah Indonesia, Senin, 22 Juli 2024 di Yogyakarta. Penulis buku berjudul “Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire” ini menyampaikannya dalam diskusi sejarah bertajuk “Karakteristik Candi era Majapahit & Ambisi Sang Mahapatih” yang digelar Periplus Tirtodipuran.
“Untuk menyatukan satu negara, kita perlu toleransi. Itu di Majapahit ada, di Indonesia sekarang juga ada,” jelas pria asal Belanda yang fasih berbahasa Indonesia ini.
Baca juga: Pintu Gerbang Majapahit Memiliki Makna Filosofis
Sikap toleransi itu dirasakan Herald saat pertama kali saat ia tinggal di Pasar Minggu Jakarta, di rumah keluarga sederhana namun sangat ramah. Ia lalu jatuh cinta pada Indonesia, termasuk sejarah dan budaya yang ada. Hingga akhirnya pada 2022 yang lalu, ia menulis Jakarta: History of Misunderstood City, sebuah buku yang melihat Jakarta secara unik, dari sudut pandang yang lebih personal namun juga mengupas sisi sosio-historis perkembangan sejarahnya dari masa ke masa.
Tahun ini, Herald kembali menegaskan kecintaannya pada Indonesia dengan menerbitkan buku keduanya tentang sejarah Nusantara, Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire. Herald mengaku membutuhkan empat tahun untuk menulis buku sejarah Majapahit dengan bahasa yang mudah dipahami.
Di dalamnya, ada bagian khusus terkait Mpu Prapanca, sang penulis Kitab Negarakertagama, yang menurut dia tokoh penting, namun kurang terkenal. Ia menjelaskan bahwa Prapanca itu seumuran dengan Raja Hayam Wuruk dan dari kecil sudah hidup di lingkungan kraton, karena ayahnya adalah pemimpin kelompok Buddhis di Majapahit.
“Tapi dia sifatnya sangat lain dengan Hayam Wuruk. Hayam Wuruk suka seni, menari, Prapanca suka baca, punya [karya] buku, suka menulis,” kata Herald.
Baca juga: Kaimana: Dari Majapahit Hingga Genggaman Belanda
Pembicara lain di diskusi ini, content creator sejarah Asisi Suhariyanto mengatakan, dalam pembuatan candi, ada rujukannya yakni kitab Manasara dari India. Namun tetap saja candi di Nusantara dibuat dengan gaya yang berbeda oleh para silpin atau pembuat candi.
“Silpin [pembuat candi] Nusantara itu terlalu kreatif. Kalau teman-teman cek candi-candi di Nusantara kemudian dibandingkan dengan candi-candi India itu beda. Banyak perbedaan. Misalnya mandapa, kemudian beda dengan kita namanya perwara,” jelasnya. (den)