Berita Nasional Terpercaya

Mengapa Generasi Ketiga Enggan Meneruskan Bisnis? Ini Jawabannya

0

HarianBernas.com – Sasa, berusia 16 tahun dan masih duduk di kelas satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta. Sasa, sebenarnya seperti kebanyakan anak remaja lainnya seusianya, memasuki puber, dinamis dan sedang sibuk dengan pencarian jati diri. Dalam pencarian jati diri, salah satunya adalah tentang rencana selepas SMA, dan ini yang kemudian menjadi “isu” di tengah keluarga besarnya.

Sasa, adalah anak kedua dari empat bersaudara, dan kakaknya tengah mengejar menyelesaikan studi sarjana di bidang desain di salah satu perguruan tinggi di Jakarta dan berencana menjadi salah satu penerus bisnis yang dicita-cita kan oleh keluarga besar.

Sasa sendiri ingin menjadi sutradara film, yang bukan merupakan gambaran bisnis yang ideal bagi keluarga besar. Apa bisnis ideal menurut keluarga besar? sebenarnya tidak banyak memberikan opsi, bahkan hanya tiga; properti, mobil dan kuliner. Jangan tanya mengapa, karena dalam konsepsi bisnis yang sukses untuk keluarga besar tersebut hanya tiga jenis bisnis tersebut.

Sasa, adalah generasi ketiga, dari keluarga berketurunan Jawa yang digadang-gadang meneruskan bisnis kuliner, sedangkan properti direncanakan untuk sang kakak sedangkan mobil adalah bisnis “side-job” keluarga.

Namun, Sasa seakan-akan memberontak dengan keputusan keluarga besar, tentunya dengan caranya sendiri. Misalnya, Sasa selalu bilang pada keluarga bahwa dia akan meneruskan bisnis kuliner, namun dia enggan masuk ke ruang dapur untuk “belajar memasak”.

Selain itu, Sasa juga tidak mengindahkan “peringatan” dari keluarga besar, manakala “diancam” untuk meneruskan bisnis kuliner karena keluarga tidak akan membiayai kuliah selain kuliah kuliner. Dari beberapa kejadian ini yang kemudian menarik untuk didiskusikan, apakah ini salah satu dari sekian banyak fenomena generasi ketiga yang tidak mau meneruskan bisnis keluarga?.

Usut punya usut, rupanya Sasa merasa “terintimidasi” dan “bosan” oleh cara salah satu pamannya yang kerap kali melakukan “sidang”. Menurut Sasa, pamannya tersebut kerap kali “memaksa” dirinya untuk berpikir bahwa “tujuan masa depan hanyalah kuliner”, yang untuk anak seusianya sebenarnya masih perlu mendapatkan impian cita-cita beragam.

Sasa mencontohkan bentuk “paksaan” dari pamannya, kembali di masa Sasa masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, rupanya setiap akhir pekan sejak kelas 1 SMP mendapatkan “wejangan” dari sang paman tentang studi selepas SMP, dan diarahkan oleh si paman untuk masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Sasa, saat berusia sangat belia memilih untuk “seakan-akan” menuruti kemauan si paman, hingga pada saatnya akan ujian nasional SMP menuju SMA terjadilah suatu kejadian. Ketika hasil UN keluar, rupanya nilai matematika Sasa sangat jauh di bawah rerata harian nilai rapornya, dan manakala sang paman (yang memang dominan dibanding kedua orangtuanya) menegur Sasa.

Sasa kala itu hanya berkata “ya bagaimana, dapatnya cuma segitu”. Sontak hal ini membuat sang paman sedikit geram, namun yang menarik, rupanya Sasa memang sengaja membuat nilai matematikanya rendah karena ia tidak berkeinginan masuk SMK melainkan SMA seperti yang pernah dilalui oleh kakaknya. 

Dan kemudian, Sasa memang tidak jadi masuk SMK seperti rencana sang paman, melainkan masuk SMA yang dulunya pernah dimasuki kakaknya. Namun isu mengenai penerusan bisnis keluarga terus bergulir, dan bahkan menjadi isu mingguan di keluarga besar. Isu ini menjadi mengemuka, karena menurut sang paman akan menjadi “musibah” buat keluarga Sasa tidak meneruskan bisnis kuliner yang dibangun oleh keluarga.

Apa yang sebenarnya terjadi dari kisah di atas? Kisah di atas mengantarkan kita pada studi kasus mengenai gagalnya generasi kedua membuat generasi ketiga “yakin” bahwa bisnis keluarga adalah bisnis yang “wajib” diteruskan.

Apa yang menyebabkan generasi ketiga “menjadi enggan” dengan bisnis keluarga? jawabannya sederhana, karena “kurang mampunya generasi kedua mendekati generasi ketiga dengan gaya generasi ketiga”.

Ini yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi semua bisnis keluarga, yakni menumbuhkan passion atau hasrat dari generasi penerus tanpa membuat generasi yang seharusnya meneruskan menjadi “jenuh” bahkan “enggan meneruskan”.

Apakah bisa kondisi ini dirubah? tentu saja bisa, pertama, karena generasi ketiga yang masih “usia belia” kebanyakan masih “bingung” dengan masa depannya dan cenderung akan mengacu pada orang-orang yang “dikaguminya”.

Hal yang dapat dilakukan oleh generasi terdahulu adalah  berusaha menjadi “sosok yang dikagumi” oleh calon generasi penerusnya, dan menghindari intimidasi agar proses suksesi berlangsung mulus dari generasi pendahulu ke calon generasi penerus.

Dr. Anita Maharani

Konsultan Bisnis Keluarga, Akademisi di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia, staf pengajar di Program Studi Manajemen Universitas Paramadina (www.paramadina.ac.id)

Linkedin/Twitter: anitamaharani

Leave A Reply

Your email address will not be published.