Berita Nasional Terpercaya

Ormas Radikal di Ujung Tanduk

0

YOGYAKARTA, HarianBernas.com? Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas yang menggantikan UU Nomor 17 tahun 2013. Melalui Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini pemerintah dapat mencabut izin atau membubarkan ormas yang tidak sejalan dengan prinsip dasar negara Pancasila dan NKRI. Apakah itu berarti nasib ormas radikal di Indonesia sedang berada di ujung tanduk?

Pada sisi lain, diterbitkannya Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini sekaligus mengingatkan fenomena yang terjadi pada awal reformasi. Saat itu, aparat sengaja membentuk ormas untuk menghadang para aktivis reformasi.

Dalam perkembangannya, kiprah ormas itu kian membesar dan menjadi-jadi. Ibarat memelihara anak macan, pemerintah akhirnya kewalahan menghadapinya. Lalu, ormas mana sebenarnya yang dibidik oleh Perppu nomor 2 tahun 2017 ini?

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengisyaratkan bahwa Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini mengatur kewenangan Kementerian Hukum dan HAM secara langsung mencabut izin ormas yang bertentangan dengan Pancasila.

“Dalam Perppu ada azas contrario actus, maka lembaga yang memberikan izin dan mengesahkan ormas (Kemenkumham), diberikan kewenangan mencabut izin itu manakala ormas tertentu sudah melanggar ketentuan izin,” ujar Wiranto dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (12/7).

Wiranto menekankan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini dikeluarkan lantaran UU Ormas tidak lagi memadai dalam mencegah munculnya ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. “Lembaga yang memberi izin ormas harusnya yang punya wewenang mencabut dan membatalkan izin itu, dan hal ini yang tidak masuk dalam Undang-Undang 17 itu. Kemudian dalam undang-undang lama, ajaran bertentangan dengan Pancasila terbatas pada Atheisme, Marxisme Leninisme, padahal ada ajaran lain yang diarahkan untuk mengganti ideologi Pancasila dan UUD 1945 dan mengganti eksistensi NKRI,” katanya.

Wiranto menegaskan Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini tidak bermaksud membatasi kebebasan ormas, bukan juga merupakan tindakan kesewenangan pemerintah atau upaya mendiskreditkan ormas Islam. Perppu semata-mata untuk merawat persatuan dan kesatuan bangsa, dan untuk menjaga eksistensi bangsa Indonesia.

“Perppu diarahkan untuk kebaikan. Pemerintah meminta masyarakat tetap tenang, menerima Perppu dengan jernih dan matang,” ujarnya. Wiranto menekankan perlunya kewenangan dari lembaga pemberi izin ormas untuk melakukan pencabutan izin manakala ormas tertentu melanggar izin yang telah diberikan.

“Organisasinya yang bertentangan dengan Pancasila mana saja, itu nanti disampaikan oleh lembaga yang mengeluarkan izin, yakni ada di Kemenkumham dan sebagian di Kemendagri,” kata Wiranto.

Sementara Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly, menyatakan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan yang dikeluarkan pemerintah, tidak ditujukan untuk salah satu ormas seperti Hizbut Tahrir Indonesia.

“Tidak hanya ditujukan untuk satu ormas saja,? katanya di Jakarta, Rabu (12/7). Yasona mengatakan, selama ini UU nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas sangat tidak memungkinkan dilakukannya pembubaran ormas sehingga diperlukan Perppu agar tidak terjadi hal yang tidak baik kedepan.

“Kami dengar pendapat dengan semua pakar,? ujarnya. Pada 8 Mei 2017, pemerintah mengumumkan mendukung pembubaran organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena organisasi berbadan hukum itu dianggap tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian, dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Meski Yasona Laoly menyatakan diterbitkannya Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini tidak ditujukan kepada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), namun guru besar Fisipol UGM, Prof Purwo Santoso, dengan tegas menyebutkan bahwa penerbitan Perppu ini dilatarbelakangi oleh kiprah HTI selama ini, khususnya pada Pilkada Jakarta beberapa waktu lalu.

Purwo Santoso menyatakan, latar belakang dikeluarkannya Perppu 2 tahun 2017 bersumber pada fenomena Pilkada DKI. Artikulasi yang diperlihatkan Ormas pada Pilkada Jakarta, ada mobilisasi sentimen keagamaan luar biasa dahsyat yang membuat ketegangan antar-kelompok dan menjadi sangat vulgar.

Salah satu ormas yang dimaksud Purwo adalah HTI yang dalam telaah akademik dan telaah intelijen telah mengagendakan khilafah yang menafikan Indonesia sebagai negara bangsa.

?Ketika keindonesiaan dianggap tak relevan, yang ada adalah orang Indonesia, bukan negara Indonesia. Keindonesiaan menjadi tidak penting. Yang penting adalah keislamannya. Inilah yang disebut dengan paham radikal,? kata Purwo saat dihubungi Bernas, Rabu (12/7).

Menurut Purwo, HTI adalah partai politik yang tidak ikut berpartai di Indonesia. Karena itu, alasan utama untuk membubarkan HTI karena memang dalam kiprahnya telah menafikan keindonesiaan.

Kiprah HTI dalam konteks Pilkada Jakarta dianggap telah membahayakan karena lebih mengutamakan artikulasi keislaman daripada keindonesiaan. Karena itu, fenomena yang terjadi pada Pilkada Jakarta beberapa waktu lalu akan dapat terulang pada Pilpres dan Pileg 2018 nanti.

Menurut Purwo Santoso, apa yang terjadi pada Pilkada Jakarta beberapa waktu lalu adalah sebuah latihan. Karena dianggap berhasil, maka kemungkinan akan dipraktikkan juga dalam skala nasional pada Pilpres dan Pileg 2018 dan diharapkan berhasil.

?Bahwa ada orang bernama Ahok yang kinerjanya bagus, namun kemudian diputarbalikkan menjadi kinerja itu tidak penting. Yang penting adalah keislamannya. Karena gerakan tersebut dianggap berhasil, maka tidak ada halangan untuk dipraktikkan dalam skala nasional,? ujarnya.

Lalu, apa komentar Hizbut Tahrir Indonesia soal dikeluarkannya Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini? Juru bicara HTI, Ismail Yusanto, menyebut Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini terbit tanpa landasan hukum yang kokoh.

?Yang terjadi saat ini adalah pemerintah kesulitan menghadapi ormas, lalu membuat peraturan sendiri. Ini preseden buruk,? kata Ismail Yusanto saat dihubungi Bernas dari Yogyakarta, Rabu (12/7) petang.

Menurut Ismail Yusanto, terbitnya Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini membawa Indonesia ke era diktator dan otoriter. ?Ini ditunjukkan dengan sangat jelas dengan dihilangkannya proses peradilan dalam pembubaran ormas. (Melalui Perppu ini) Pemerintah menjadi satu-satunya pihak yang menuduh sekaligus memberi sanksi tanpa ormas yang bersangkutan bisa membela diri,? katanya kepada Bernas.

Pada Undang-undang Ormas yang lama, lanjut Ismail Yusanto, ada proses pengadilan sehingga tuduhan (bahwa ormas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945) bisa dijawab dalam proses pengadilan. Kententuan itu dibuat untuk menghindari kesewenangan.

?Hari ini pemerintah menghilangkan pasal itu. Dengan kata lain, pemerintah ingin bertindak sewenang-wenang,? ujarnya. Menjawab tudingan bahwa AD/ART HTI bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, Ismail Yusanto dengan tegas menyatakan bahwa HTI tidak bertentangan dengan Pancasila.

?HTI adalah gerakan dakwah yang berasaskan Islam. Dalam undang-undang disebutkan bahwa ormas harus berasaskan Pancasila atau asal lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Islam tidak bertentangan dengan Pancasila. Karena itu sungguh aneh jika pemerintah mau membubarkan HTI dengan tuduhan macam-macam,? ujarnya.

Menurut Ismail Yusanto, dengan diterbitkannya Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini pemerintah telah menghilangkan satu area yang bisa menguji segala macam tuduhan. Melalui Perppu ini, kata Ismail Yusanto, pemerintah sekaligus bertindak sebagai polisi, jaksa, hakim dan petugas Lapas.

Ismail Yusanto menolak saat diminta menyampaikan imbauan kepada anggota HTI berkait dengan keluarnya Perppu Nomor 2 tahun 2017. ?Itu persoalan internal, nggak ada masalah. Saya justru ingin mengingatkan publik bahwa Perppu ini sangat berbahaya, ibarat pisau tajam yang bisa mengiris siapapun,? ujarnya.(*/nil/age)

Leave A Reply

Your email address will not be published.