Berita Nasional Terpercaya

Jangan Bebani Rakyat

0

YOGYAKARTA, HarianBernas.com – Pemerintah mengusulkan kenaikan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari sebelumnya Rp 24,3 juta per tahun menjadi Rp 36 juta per tahun untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Usulan itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, beberapa hari lalu.

Sri Mulyani menjelaskan, salah satu alasan kenaikan batasan PTKP ini karena Upah Minimum Provinsi di Indonesia sudah mengalami kenaikan dan diantaranya ada yang telah mendekati Rp 3 juta per bulan atau Rp 36 juta per tahun. “Sekarang UMP sudah naik lebih tinggi, jadi memang harus dinaikkan PTKP, karena ini akan memperbesar daya beli masyarakat,” ujarnya.

Menurut Sri Mulyani, usulan kenaikan PTKP, yang apabila disetujui oleh DPR segera berlaku tahun ini, bisa mempengaruhi penerimaan pajak. Namun, kekurangan pajak tersebut akan ditutupi dengan meningkatnya konsumsi masyarakat.

Usulan tersebut disambut baik kalangan dewan. Ketua Komisi XI DPR RI, Fadel Muhammad, menyatakan kebijakan pembebasan pajak bagi pegawai berpenghasilan Rp3 juta per tahun merupakan langkah yang baik, karena bisa mendorong daya beli masyarakat.

“Saya rasa ini kebijakan yang bagus karena membantu masyarakat. Tapi ini harus kita konsultasi dulu. Kami akan membahasnya segera untuk menyetujui rencana tersebut,” kata politisi Partai Golkar ini.

Sebenarnya, kenaikan PTKP pernah dilakukan pada Januari 2013, dari batasan semula sebesar Rp15,8 juta per tahun menjadi Rp24,3 juta per tahun. Kebijakan tersebut waktu itu mampu memberikan konstribusi pada pertumbuhan ekonomi hingga 0,08 persen.. Kebijakan ini kembali diupayakan pemerintah untuk mendukung kinerja konsumsi rumah tangga serta membantu kinerja pertumbuhan ekonomi yang pada triwulan I-2015 hanya tercatat mencapai 4,71 persen.

Pengamat pajak, Darussalam, ikut menyambut positif rencana pemerintah untuk menaikkan PTKP tersebut karena sudah mencerminkan situasi perekonomian terkini serta mempertimbangkan tingkat inflasi dan beban biaya hidup dari wajib pajak.

“Kenaikan jadi Rp36 juta setahun itu angka yang wajar. Apalagi kebijakan ini juga akan meningkatkan daya beli dari wajib pajak,” ujar pengajar Universitas Indonesia itu.

Namun, pandangan berbeda disampaikan ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara. Dalam perbincangan dengan Bernas, Kamis (3/8), Bhima menyatakan perubahan PTKP dirasa kurang tepat mengingat kondisi perekonomian saat ini sedang mengalami kelesuan.

?Kalau PTKP diturunkan atau disesuaikan dengan UMP tiap-tiap daerah, tentu dampaknya akan sangat terasa ke masyarakat. Terutama kalangan bawah,? tandas Bhima.

Menurut Bhima, walaupun tujuan perubahan PTKP itu untuk mendorong penerimaan negara dan meningkatkan tax ratio, tapi waku pelaksanaanya harus dikaji serius. ?Jangan sampai kebijakan perpajakan justru kontra produktif terhadap perekonomian dan penerimaan pajak,? ujarnya.

Bhima menambahkan, perubahan batas PTKP akan mempengaruhi perilaku wajib pajak menjadi tax avoidance atau penghindaran pelaporan pajak karena PTKP-nya terlalu rendah. Apalagi bagi wajib pajak baru yang semakin berpotensi untuk menghindar.

Klaim pemerintah yang mengatakan bahwa PTKP Indonesia masih tinggi dibanding negara Asean lainnya, menurut Bhima, tidaklah tepat. ?Masalahnya, wajib pajak kita dengan negara Asean lainnya berbeda. Sebagai contoh Malaysia, kalau dirupiahkan, PTKP di sana sekitar 13 juta pertahun. Sedangkan di Indonesai Rp 54 juta pertahun.

Selain itu, lanjutnya, sebagian besar penduduk Malaysia bekerja pada sektor formal. Sedangkan di Indonesia, jumlah wajib pajak di sektor informal cukup dominan.

Karena itu, kata Bhima, Malaysia pencatatan pajak penghasil pribadinya relatif lebih baik dibandingkan dengan di Indonesia. Berdasarkan BPS, jumlah tenaga kerja sektor informal di Indonesia mencapai 57 persen lebih, atau sekitar 68,2 juta orang.

?Saran saya, Dirjen Pajak sebaiknya memperbaiki data wajib pajak dengan sosialisasi bagi wajib pajak sektor informal, ketimbang langsung membuat PTKP baru,? ujarnya.

Bhima juga mengingatkan, walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen, tetapi dibandingkan dengan negara lain, ternyata tertinggal. Maka, menurut Bhima, tidaklah tepat jika kemudian hal itu dijadikan alasan bahwa ekonomi global sedang lesu.

?Coba dilihat dari negara lain, misalkan India. India bisa tumbuh di atas 7 persen. Kemudian masih ada Vietnam dan ada Filipina juga pertumbuhannya masih cukup bagus dan cukup tinggi. Artinya, jangan-jangan memang daya saing kita mengalami penurunan. Artinya memang dari sisi domestik kita yang bermasalah,? ujarnya.

Indikator kedua yang tak kalah penting, menurut Bhima, adalah konsumsi rumah tangga. Sebab, 57 persen ekonomi Indonesia ditentukan konsumsi rumah tangga.

?Saya lihat, yang menyebabkan ekonomi kita kurang bagus, penyakitnya salah satunya adalah salah kebijakan dari pemerintah. Contohnya salah kebijakan dari pemerintah adalah yang paling baru mengenai gerebek beras. Malah bikin takut pedagang, bikin kacau, pasokan berasnya jadi berkurang, terutama kondisi di Jakarta seperti itu. Kalau semuanya menjadi takut kan modelnya kebijakan represif main tangkap, masukin penjara, itu ya hancur semua. Bukan memperbaiki keadaan, malah bikin kondisi ekonominya semakin lesu,? ujarnya.

Menurut Bhima, kondisi saat ini tidak bisa dikatakan dalam krisis. Namun, ia mengakui memang ada tanda-tanda ekonomi Indonesia mengalami kelesuan, slow down.

?Sekali lagi, kebijakannya dipukulin sama kenaikan tarif listrik juga terasa juga, di subsidinya itu. Januari sampai Juni otomatis cukup menguras kantung pajak listriknya. Itu lebih membuat lesu,? ujarnya.

Bhima tidak sependapat jika dikatakan kelesuan daya beli itu, salah satunya, karena orang lebih banyak belanja online. ?Datanya, ternyata online itu porsinya masih sangat kecil. Total ritel secara nasional porsinya masih di bawah satu persen. Masih sangat kecil,? ujarnya.

Bhima menambahkan, jika ada yang mencatatkan adanya kenaikan belanja hingga 200 persen di salah satu situs belanja online, menurut Bhima, itu tidak ada pengaruhnya. ?Mau JNE atau perusahaan logistik merekrut 500 karyawan baru misalkan, tidak pengaruh. Karena dilihat secara nasional, porsinya masih sangat kecil. Dan besarnya fenomena e-commerce itu sudah lama, bukan hanya tahun ini saja. Harusnya ini terjadi sejak lama. Jadi kalau dikaitkan dengan sekarang, faktornya bukan sifting atau pola belanja, saya gak percaya itu. Ini faktornya pada nahan konsumsi aja,? paparnya.

Bhima sepakat, saat ini terjadi penurunan sektor konsumsi. ?Yang menengah ke atas juga nahan konsumsi. Kenapa? Bukan karena pendapatannya turun. Kalau elit atas nahan konsumsi, itu karena memang mereka melihat kondisi ke depannya tidak terlalu bagus. Kalo kondisi ke depan tidak begitu bagus, otomatis, uangnya daripada dibelanjakan lebih baik ditabung di bank,? ujarnya.

Bhima memaparkan, dana simpanan di bank per Mei 2017 naik 11 persen. Kenaikan itu dinilainya cukup tinggi.

?Fenomenanya, kenapa nih orang pada banyak yang nabung? Mungkin risiko politik atau apa. Jadi kondisinya begitu. Mungkin kalau untuk kalangan atas kasusnya sudah beda,? ujarnya.

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, pada semester 1 tahun 2017 menurut data dari BKPN, investasi Indonesia hanya mampu menyerap 539.000 orang. Sementara pada tahun 2016 dalam 1 semester mampu menyerap 680.000 orang. Artinya, ada 100.000-an lebih penurunannya. ?Jika penyerapan tenaga kerja semakin jelek, otomatis daya beli secara umum akan jatuh,? ujarnya.

Menurut Bhima, pemerintah terlalu banyak apologi. Misalnya, soal ritel online, generasi melenial, pola belanja yang berbeda, dan daya beli yang turun. Yang terbaru, pemerintah mengumumkan PTN (Pajak Pertumbuhan Nilai) yang tumbuh 13 persen. Pemerintah juga mengklaim bahwa daya belinya tidak turun karena transaksi meningkat.

?Sebenarnya tidak. Bisa tumbuh 13 persen itu lebih ke arah tax complain dari wajib pajak pasca tax amnesty yang membuat tambah tertib, bukan dikarenakan kenaikan transaksi jual beli. (Makanya), daripada muter-muter nyari solusi, ya mereka nyari alasan,? ujarnya.

Bhima menegaskan, pemasukan utama dari Indonesia akan susah jika mengandalkan pajak, karena pertumbuhan pajak di Indonesia kurang bagus. Menurutnya, pemerintah melihat potensi pajak seperti mengintip tabungan sampai batas 200 juta, kemudian menurunkan PTKP. ?Padahal masih banyak wajib pajak yang seharusnya ikut tax amnesty, dan jumlahnya masih ribuan dan tunggakan pajaknya luar biasa,? ujarnya.

Menjawab pertanyaan Bernas tentang kemungkinan pemerintah mencari momen tepat untuk memberlakukan PTKP yang saat ini ditunda, Bhima mengatakan tergantung kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia. ?Pertumbuhan ekonomi kita harus diatas 7 persen. Waktu ekonomi kita lagi bagus-bagusnya, mungkin ide itu bisa dicoba diterapkan, meski masih mendapat perlawanan dari masyarakat,? ujarnya.

Menurut Bhima, jika PTKP diturunkan dan diberlakukan di Jogja yang UMP-nya Rp 1,5 juta, memang penerimaan pajak jadi besar. ?Tapi kalau kondisi kayak sekarang, sebenarnya misalkan ekonomi bagus tapi kalau tidak diotak-atik, penerimaannya itu nantinya masuk ke PPN karena kita akan belanja bareng lebih banyak. Artinya, diotak-atik, ini cuma beda kantongnya saja,? ujarnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.