Dilema Dana Desa
YOGYAKARTA, HarianBernas.com – Dana Desa sedang menjadi sorotan. Maksud pemerintah yang ingin menggelontorkan dana ke desa-desa, ternyata menuai persoalan. Dana besar yang digelontorkan untuk menggerakkan perekonomian di pedesaan itu justru menjadi ladang baru tindak pidana korupsi.
Contoh paling aktual dari kasus korupsi dana desa adalah ditangkapnya Bupati Pamekasan dan Kajari Pamekasan, Madura dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, 2 Agustus lalu. Pada OTT kali ini, KPK menahan lima orang tersangka. Mereka adalah Ahmad Syafii (Bupati Pamekasan) dan Rudy Indra Prasetya (Kajari Pamekasan), Sutjipto Utomo (Inspektur Pemkab Pamekasan), Agus Mulyadi (Kepala Desa Dassok), dan Noer Solehhodin (Kabag Inspektur Kabupaten Pameksan).
Menurut Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, kasus itu berhubungan dengan implementasi pelaksanaan dana desa yang ingin membuat 'paving block', tapi ada ketidakwajaran yang dilaporkan LSM ke Kejari Pamekasan karena anggaran Rp100 juta. Namun dinilai masih ada kekurangannya.
Akibat laporan itu, Kepala Desa Dassok ketakutan dan kemudian berupaya menghentikan penyelidikan dan penyidikan dengan melapor ke beberapa pihak. Salah satunya Inspektur Pemkab Pamekasan dan disampaikan ke Kajari. ?Kajari mengatakan proses di Kejari bisa distop kalau ada setoran Rp250 juta,” kata Laode.
Menyusul tertangkapnya Bupati dan Kajari Pamekasan tersebut, Presiden Jokowi saat membuka Rapimnas I Partai Hanura di Badung, Bali, 4 Agustus lalu,mengatakan penggunaan dana desa harus direncanakan sebaik-baiknya dan dilakukan secara terus-menerus untuk menghindari adanya penyimpangan.
“Saya selalu sampaikan bahwa manajemen dana desa itu harus betul-betul direncanakan dengan baik, diorganisasi yang baik. Ada pendampingan, dilaksanakan, tetapi juga harus ada pengawasan, pemeriksaan, yang terus menerus. Karena ini terkait uang yang besar sekali,” kata Jokowi.
Dana desa merupakan salah satu program pemerintah untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan desa serta pemberdayaan masyarakat desa.Jumlah dana desa yang dikucurkan pemerintah meningkat tiap tahunnya. Pada awal diuncurkan, dana desa dialokasikan sebesar Rp 20 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp 47 triliun dan saat ini dialokasikan sebesar Rp 60 triliun.
“Artinya, total dalam tiga tahun ini sudah Rp127 triliun. Apa yang kita harapkan dari dana desa ini? Ada perputaran uang dari dana desa, ada perputaran uang di bawah, ada perputaran uang di desa, sehingga apa? Daya beli rakyat di desa semakin naik,” Presiden menjelaskan.
Kedepan, Kepala Negara berharap agar dana desa yang telah diberikan dapat digunakan dengan penuh tanggung jawab agar desa-desa dapat lebih mandiri dan dapat berperan dalam pembangunan nasional.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Putro Sandjojo, tak kalah geram menyikapi adanya penyelewengan Dana Desa tersebut. “Saya ingatkan kepada semua pemangku kepentingan terhadap desa dan dana desa agar tidak main-main lagi dalam pengelolaan dana desa, karena pemerintah akan mengawasi dengan ketat. Jadi setiap penyelewengan dana desa sekarang pasti akan dapat dengan mudah diketahui. Jadi jangan main-main lagi dalam pengelolaan dana desa,” ujar Eko di Jakarta, Jumat (4/8) lalu.
Eko Putro Sandjojo bahkan kemudian dipanggil Presiden Jokowi, Senin (7/8) kemarin, untuk menanyakan efektivitas penggunanaan dana desa. “Beliau menanyakan penggunaan dana desa ini efektif atau tidak,” kata Eko Putro saat ditanya wartawan terkait pertemuannya dengan Presiden.
Mendes mengungkapkan Presiden minta segera diadakan survei lagi untuk mengetahui efektivitas dari penggunaan dana desa tersebut. “September BPS akan mengadakan survei potensi desa. Jadi nanti kita lihat ada peningkatan dana desa, pertumbuhan desa,” katnya.
Eko Putro mengatakan, penggunaan dana desa masih baik dan masyarakatnya belajar dengan cepat. Hal in terlihat dari penyerapannya, dimana pada 2015 sebesar 82 persen pada 2016 meningkat menjadi 97 persen. Eko Putro mengungkapkan pada 2016 sebanyak 74.744 desa mendapat dana sekitar Rp600 juta per desa dan pada tahun ini meningkat jadi Rp800 juta terhadap 74.910 desa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Mendes mengungkapkan bahwa dana desa itu digunakan untuk membuat jalan, sarana air bersih, pendidikan anak usia dini (PAUD), penahan longsor, MCK dan lain-lain. Eko Putro mengakui bahwa penggunaan dana desa tidak hanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup.
Pengawasan
Pentingnya pengawasan terhadap penggunaan dana desa disampaikan Dosen Fakultas Ekonomi UGM, Rimawan Pradiptyo, dalam perbincangannya dengan Bernas, Senin (7/8). Menurut Rimawan, tahun 2014, ada dua fenomena besar yakni digelontorkannya dana BPJS Kesehatan dan dana desa.
?Dua-duanya berpotensi bermasalah. Pada saat itu saya masih bisa masuk ke BPJS Kesehatan. Tapi, waktu itu dana desa dimulai dikucurkan. Banyak orang yang mengkhawatirkan desas-desus. Saya nyerah pada waktu itu, karena terlalu banyak riset yang harus dilakukan untuk hal-hal yang pada saat itu sebenarnya pemerintah itu nggak siap, tapi petugas itu dipaksakan untuk jalan,? ujarnya.
Menurut Rimawan, pemerintah sebenarnya tidak siap. ?Pertanyaan saya simpel. Balik lagi, masalah BPJS Kesehatan itu pemerintah nggak siap. Lalu kita lihat BPJS Kesehatan, semua orang tahu bahwa di sejarah menunjukkan untuk menjadi BPJS itu paling cepat itu 20 tahun di Costa Rica. Hal yang sama itu terjadi pada dana desa. Kalau kita ingin menggelontorkan dana desa untuk 72 ribu desa, pertanyaan saya simpel, pemerintah memiliki cukup aparat nggak untuk mengawasi itu? Itu kan jadi masalah. Problemnya di situ. Pengawasannya belum disiapkan, tapi dananya sudah digelontorin. Jadi jika terjadi sekarang ini, saya cuma bisa bilang ?gua kate juga ape??, gitu aja,? ujarnya.
Menurut Rimawan, sebenarnya sudah banyak yang mengingatkan bahwa program tersebut tidak layak dilakukan. ?Dari dulu tahun 2014, ketakutan kami sebenarnya adalah akan banyak teman-teman di pedesaan yang kemungkinan bisa terjerat pasal korupsi. Padahal, mereka itu belum tentu menikmati, dan belum tentu tahu itu korupsi,? ujarnya.
Rimawan mengatakan, posisi geografis Indonesia itu terdiri atas ribuan pulau dan banyak desa di pedalaman. ?Pertanyaan saya simpel, berapa banyak orang yang dapat mengawasi? Fakta bahwa dari sudut SDM dan sistem, kita belum mencukupi untuk mengontrol seluruh Indonesia,? katanya.
Menurut Rimawan, awal korupsi sebenarnya terletak pada regulasi yang memposisikan Bupati/Walikota berhak mengontrol dan menentukan pencairan dana desa. ?Saya tidak berani mengatakan itu pasti korupsi, karena banyak juga bupati yang mengembangkan sistem yang bagus seperti Bu Risma. Cuma yang menjadi masalah adalah apakah masyarakat di bawah cukup memiliki keahlian untuk membuat proposal dan makalah?,? ujarnya.
Bagi Rimawan, pengawasan merupakan bagian penting dari penggunaan dana desa. ?Kalau pengawasanya gak bagus, sistem pengawasannya tidak kita buat, kan tujuannya dari dana desa ini kan bagus, tapi fungsinya, asumsinya itu seolah-olah sukses kalau di Jawa. Problemnya, Indonesia kan gak hanya Jawa,? ujarnya.
Rimawan menyatakan tidak ikut masuk tim yang merencanakan dana desa. ?Saya waktu itu hanya mengamati ketika ada dana desa. Kemudian diminta teman-teman melakukan kajian mengenai dana desa, dan bagaimana mitigasi resikonya, saya sudah tidak mampu,? ujarnya.