Berita Nasional Terpercaya

Guru Semakin Mulia karena Karya

0

Bernas.id – Guru adalah profesi mulia. Begitu mulianya, guru diberi predikat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Predikat pahlawan yang disematkan pada guru mempunyai perluasan makna yaitu orang yang dikagumi atas hasil tindakannya, serta sifat mulianya sehingga diakui sebagai contoh dan teladan. Predikat guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa ini hendaknya dimaknai secara fleksibel, mestinya guru berbuat lebih banyak untuk pengembangan profesinya, yang bermuara pada kualitas peserta didik. Lantas, apa yang harus dilakukan guru untuk mengembangkan profesinya? Apa hambatan guru dan solusi untuk mengembangkan profesinya?

Mengembangkan Profesi Guru

Berdasar Permenpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan  adalah pengembangan kompetensi guru  yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bergradasi, dan berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitasnya. Pengembangan keprofesian berkelanjutan merupakan salah satu dari  unsur utama yang kegiatannya dapat diberikan angka kredit. Untuk mengembangkan kinerja dan kariernya, guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi profesional, pedagogis, personal, dan sosial. Dari keempat kompetensi tersebut, yang saat ini sangat memprihatinkan adalah kompetensi profesional. Kompetensi profesional guru diukur melalui pengembangan diri (diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru),  publikasi ilmiah (presentasi pada forum ilmiah, publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan ilmu di bidang pendidikan formal, publikasi buku pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman guru),  karya inovatif (menemukan teknologi tepat guna, menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum, mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya).

Tunjangan profesional atau sertifikasi yang diberikan kepada guru menunjukkan bahwa guru sudah diberikan imbalan jasa yang cukup layak, sekaligus menuntut guru untuk meningkatkan profesionalitasnya sehingga guru harus terus meningkatkan pengabdian dan profesionalitasnya demi melahirkan generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Ironisnya, tuntutan profesionalitas guru sampai sekarang belum memperlihatkan perkembangan signifikan. Kita tidak bisa menafikan bahwa banyak guru cenderung statis dan kering ide karena terjebak oleh ritual dan rutinitas mengajar serta tugas tambahan yang kadang melebihi beban guru mengajar. Mereka tidak sempat mengembangkan kompetensinya dan terjebak oleh pengetahuan akademik yang dimiliki. Hal ini karena guru hanya berkutat pada kesibukan mengajar, tetek-bengek urusan administrasi, dan tugas tambahan. Apalagi jika guru tersebut mengajar di kelas XII, mereka memperoleh tugas tambahan untuk memberikan les di sore hari. Faktor inilah yang membuat guru kurang wawasan dan tidak mempunyai waktu untuk menulis.

Realitas tersebut tidak dapat disangkal dan tidak sepenuhnya benar. Di satu sisi, guru kurang waktu untuk menulis, di sisi lain guru dituntut untuk senantiasa profesional. Oleh sebab itu, dibutuhkan manajemen waktu yang baik agar guru bisa mengajar dengan maksimal dan meningkatkan profesionalitasnya demi mengembangkan kinerja dan kariernya. Sebagai figur yang dijadikan teladan bagi siswanya, guru hendaknya literat. Bagaimana guru dapat menyuruh siswanya untuk membaca dan menulis jika guru tersebut enggan membaca dan tidak mempunyai pengalaman menulis.

Kemampuan menulis seseorang berbanding lurus dengan kemampuan membacanya. Jika seseorang enggan membaca, tentulah ia tidak akan terampil menulis. Menulis butuh ide, pengetahuan, dan wawasan yang cukup. Jika seseorang banyak membaca maka banyak pula pengetahuan yang dapat disimpan dalam otak. Jika sewaktu-waktu seseorang ingin menulis, ia akan mudah mengungkapkan ide-idenya karena dalam memorinya sudah tersimpan pengetahuan dan kosa kata yang cukup. Sebaliknya, jika seseorang tidak pernah membaca, ia akan mengalami banyak hambatan untuk menulis karena tidak mempunyai bekal pengetahuan dan kosakata yang tersimpan di dalam otaknya sehingga kepalanya seperti ruang hampa, ide pun akhirnya macet.

Secara psikologis, predikat pahlawan tanpa tanda jasa sedikit banyak telah menciptakan zona nyaman bagi sebagian guru. Mereka merasa terkesima dengan sanjungan sebagai pahlawan sehingga enggan mengembangkan ilmu dan wawasan berpikirnya untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang dinamis. Guru bisa berkarya melalui tulisan-tulisan, seperti menulis buku, Penelitian Tindakan Kelas, artikel, jurnal, dan sejenisnya.

Kendala Guru dan Solusi dalam Menulis

Banyak guru mengatakan bahwa mereka enggan menulis karena tidak mempunyai waktu. Hal ini linear dengan rendahnya minat membaca dan menulis para siswa. Ada peribahasa ?guru kencing berdiri, murid kencing berlari?. Guru-guru yang seharusnya memberikan contoh untuk membaca di perpustakaan dan menulis buku atau apa pun bentuknya agar dapat menjadi teladan bagi siswanya, ternyata belum memenuhi harapan. Bukti lainnya bahwa guru di Indonesia masih lemah dalam hal menulis adalah mandeknya kenaikan pangkat/golongan guru yang mensyaratkan penulisan karya tulis ilmiah berupa artikel ilmiah populer, modul, makalah, buku, diktat, maupun karya penelitian. Akibatnya, banyak guru yang hanya berpuas diri alias mentok pada golongan IV/a. Fakta seperti ini juga dialami oleh para mahasiswa yang hendak meraih gelar sarjana. Banyak mahasiswa drop out karena tidak bisa menyelesaikan skripsinya. Hal ini tentu saja menjadi keprihatinan bagi dunia pendidikan. Alangkah ironis dan tragisnya, guru yang identik dengan ?sumber ilmu atau gudang ilmu? malah kehabisan kata untuk menuangkan ilmu dan mencurahkan ide atau gagasan melalui tulisan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan motivasi menulis guru rendah. Pertama, reward  yang diberikan untuk kenaikan pangkat/golongan tidak sebanding dengan jerih payah dan biaya yang telah dikeluarkan guru. Apalagi dengan adanya sertifikasi yang tentu saja nilai rupiahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai nominal kenaikan pangkat/golongan. Kedua, punishment tentang sanksi guru yang tidak naik pangkat selama jangka waktu tertentu sampai saat ini belum dijalankan. Ketiga, guru tidak mempunyai cukup waktu untuk menulis. Adanya aturan bahwa guru harus mengajar minimal 24 jam per minggu plus tugas tambahan guru serta tetek-bengek urusan administrasi, sedikit banyak telah mengurangi waktu guru untuk menulis.

Beberapa langkah yang dapat ditempuh agar guru mempunyai motivasi untuk menulis adalah: Pertama, sekolah mengagendakan dan menganggarkan kegiatan menulis untuk para guru. Kedua, MGMP membentuk forum atau kelompok studi para guru agar mencintai budaya literasi (membaca, menulis, dan berdiskusi). Ketiga, sekolah/MGMP mengundang para penulis atau sesama guru untuk berbagi pengalaman menulisnya di sekolah atau mengundang widyaiswara dan dosen yang kompeten. Keempat, sekolah meningkatkan sarana dan prasarana (komputer, buku-buku di perpustakaan, langganan koran dan majalah). Kelima, sekolah memberikan reward kepada guru yang telah menulis, misalnya dengan memberikan hadiah berupa buku, sertifikat, dan mendokumentasikan hasil tulisan guru di perpustakaan.

Selain langkah-langkah di atas, kunci kesuksesan kita agar berani menulis adalah kita harus meyakinkan pada diri masing-masing bahwa menulis merupakan wujud ibadah, yang pahalanya selalu mengalir dan takkan terputus.

Penutup

Guru profesional adalah guru yang dinamis dalam meningkatkan kinerja dan kariernya. Mari kita bertransformasi diri untuk menjadi guru yang mulia karena karya. Seperti apa yang dikemukakan Pramoedya Ananta Tour ?Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.? Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Karya-karya guru yang telah dipublikasikan dapat dikenang abadi sepanjang masa oleh masyarakat luas. Di sinilah pentingnya para guru untuk mengubah mindset, yang semula hanya berpuas diri dengan predikat ?guru pahlawan tanpa tanda jasa? hendaknya kini menjadi guru yang mulia karena karya. (*Penulis: Dra Siswandarti, MPd, Guru SMA Negeri 2 Bantul)

Leave A Reply

Your email address will not be published.