Berita Nasional Terpercaya

Pilkada 2018, Dana Kampanye Rentan Jadi Celah Korupsi

0

Bernas.id – Kegiatan politik juga bisa bergerak karena adanya dana. Dalam Pilkada, dana kampanye menjadi salah satu dana besar untuk bisa menarik perhatian warga. Dana kampanye ini dikumpulkan lewat penggalangan dana oleh para kandidat untuk memenuhi kebutuhannya saat proses Pilkada.

Hestu menjelaskan bahwa dana kampanye pasangan calon menurut Pasal 4 Peraturan KPU No. 5 tahun 2017 bersumber dari a. Pasangan Calon; b. Parpol atau gabungan parpol pengusul; dan c. Sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.

Sementara, Pasal 5 Peraturan KPU. Komposisi dana kampanye itu bersumber dari pasangan calon berasal dari harta kekayaan pribadi. Kemudian, bersumber dari parpol/gabungan parpol pengusul berasal dari keuangan masing-masing parpol dengan nilai paling banyak Rp 750 juta rupiah (pasal 7 ayat 1). Sumbangan pihak lain berasal dari perseorangan, kelompok atau badan hukum swasta. Nilai paling banyak untuk perseorangan paling banyak Rp 75 juta. Sedangkan, sumbangan kelompok atau badan hukum swasta paling banyak Rp 750 juta rupiah.

Sumber dana dan penggunaan dana kampanye mesti dilaporkan secara transparan. Padahal, untuk kampanye saja, setiap pasangan bisa mengeluarkan dana hingga puluhan miliar. Pembuatan kaus, stiker, mug, kalender boleh dicetak tetapi di luar pembiayaan KPU. Alat peraga yang ditentukan KPU meliputi baliho/videotron, umbul-umbul, spanduk yang dipasang di setiap kelurahan/kecamatan. Alat peraga ini memang dibiayai oleh KPU.  

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, menduga praktik uang masih akan terjadi dalam Pilkada Serentak 2018. Tidak sedikit masyarakat yang belum mendapatkan pendidikan politik.

?Kalau belajar dari Pilkada sebelumnya, bedasarkan hasil penelitian oleh beberapa lembaga, politik uang sepertinya masih akan mewarnai Pilkada tahun ini,? ungkap Ade sebagaimana dikutip Bernas, Rabu (10/1).

Lemahnya pengawasan lembaga pemerintah untuk mengawasik prkatik politik uang menjadi salah satu celah adanya kecurangan tersebut. ICW mengimbau masyarakat agar menolak segala bentuk praktik politik uang jelang Pilkada. Sebab, kandidat yang menggunakan politik uang akan terindikasi melakukan kecurangan saat berkuasa nanti. Salah satunya adalah upaya korupsi. Padahal, Pilkada serentak 2018 digelar di 171 daerah, terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten.

?Kepada kandidat maupun parpol pendukung harus dicegah, jangan sampai mereka menjadikan politik uang sebagai salah satu strategi pemenangan,? imbuh Ade.

Apalagi wilayah Jawa memiliki jumlah pemilih banyak yang bisa menjadi modal dalam Pemilihan Legislatif maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Pilkada menjadi pertaruhan parpol untuk mendapat modal menuju Pilpres 2019. Semua parpol tentu harus bersiap menghadapi gelaran Pemilu dan Pilpres 2019 mendatang.

Beberapa Pilkada yang cukup besar yakni Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Daerah yang punya potensi sumbangsih besar terhadap peta politik pilpres 2019 mendatang. Maka politik uang adalah hal yang paling bisa dilakukan untuk meraih suara banyak dari masyarakat.

OTT Kepala Daerah

Dalam kurun waktu setahun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap beberapa kepala daerah. Setidaknya 7 orang kepala daerah terciduk KPK selama tahun 2017, di antaranya Bupati Achmad ditangkap pada 2 Agustus 2017 di kasus dugaan penyelewengan pengelolaan dana desa, Wali Kota Tegal Siti Masitha alias Bunda Sitha juga terkena OTT KPK atas dugaan suap proyek rumah sakit. Bupati Buton Samsu Umar ditangkap atas dugaan suap Rp 1 miliar ke mantan ketua MK Akil Mochtar. Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti ditangkap atas dugaan gratifikasi sejumlah proyek.

Mungkinkah maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah karena ingin mengembalikan modal kampanye yang menghabiskan dana miliaran rupiah? Pakar hukum dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) B. Hestu Cipto Handoyo, SH.,M.Hum mengungkapkan maraknya kepala daerah terkena OTT KPK karena dugaan kasus korupsi sejatinya tidak semata-mata karena pengembalian modal kampanye. Menurut Hestu, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seorang kepala daerah itu korupsi dan terciduk KPK. Menurutnya, korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan kekuasaan dan kekuasaan itu pada hakikatnya berdimensi ganda.

?Pertama, mempesona karena dengan kekuasasn itu pihak pemilik kekuasan akan mendapatkan fasilitas yang menggiurkan. Kedua, kekuasaan itu menakutkan karena karakternya yang menindas, korup dan sewenang-wenang. Dua paradigma ini bagi politis menjadi semacam tantangan tersendiri untuk diraih,? jelas Hestu kepada Bernas, Selasa (9/1).

Melalui kepemilikan kekuasaan itulah bagi politisi yang moralnya serakah maka bisa menjadi ladang subur bagi perilaku koruptif. ?Modal kampanye bisa saja menjadi pemicu tindakan koruptif, manakala kekuasan politik dianggap sebagai investasi ekonomi yang dihitung berdasarkan untung rugi,? imbuhnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.