Berita Nasional Terpercaya

Waspadai Gempa Berikutnya

0

Bernas.id – Rakyat Indonesia pasti masih mengingat gempa dahsyat yang melanda Aceh, 26 Desember 2004. Gempa berkekuatan 9,1 skala Richter itu tak hanya meratakan hampir seluruh bangunan di Aceh, namun juga menimbulkan bencana tsunami yang menewaskan lebih dari seratus ribu jiwa. Warga Jogja pasti juga masih mengingat gempa besar yang terjadi 27 Mei 2006 yang meluluhlantakkan bangunan dan merenggut ribuan nyawa. Namun, dua kejadian tersebut sebenarnya hanyalah contoh kecil dari serentetan gempa dahsyat yang pernah melanda wilayah Indonesia sejak zaman dulu. Kejadian serupa masih mungkin saja terjadi di masa mendatang mengingat posisi geografis Indonesia yang menjadi bagian dari Ring of Fire. Karena itu, menyiapkan rakyat Indonesia menghadapi bahaya gempa, menjadi pekerjaan penting yang harus dilakukan semua pihak.

Ring of Fire memiliki panjang 25.000 mil atau 40.233 km yang terbentang mulai dari Selandia Baru, Indonesia, Filipina, Jepang, melintasi Kepulauan Aleutian, pesisir Alaska, Kanada, Pantai Barat Amerika Serikat hingga ujung Amerika Selatan. Indonesia terletak di antara Cincin Api dan Sabuk Alpide yang membentang dari Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sumatra, terus ke Himalaya, Mediterania dan berujung di Samudera Atlantik. Karena itu, wajar jika Indonesia memiliki banyak gunung berapi aktif. Gunung-gunung berapi di Indonesia termasuk yang paling aktif pada Ring of Fire. Gunung berapi itu terbentuk dalam zona subduksi lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia.

Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) United Nations Secretariat for International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) melalui Twitter-nya, Selasa (23/1), mengingatkan bahwa Ring of Fire telah aktif kembali. UNISDR mencatat aktivitas yang terjadi di Ring of Fire Pasifik, yakni erupsi Gunung Mayon di Filipina dan Gunung Kusatsu Shirane. Gempa berkekuatan 7,9 SR juga sempat menimbulkan peringatan tsunami di Alaska. Retetan bencana ini memunculkan spekulasi Ring of Fire telah aktif kembali dan perlu diwaspadai.

Lalu, bagaimana kesiapan pemerintah Indonesia? Kasie Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta, Danang Samsu, mengakui bahwa gempa bumi yang terjadi Indonesia belakangan ini dan aktivitas sejumlah gunung berapi, ada kaitannya dengan Ring of Fire.

?Iya. Yang jelas ada kaitannya dengan Ring of Fire karena di Ring of Fire itu adalah pusat gempa dan gunung api. Jadi, negara yang dilewati oleh Ring of Fire itu potensi gempanya tinggi. Juga banyak gunung api, itu pun karena ada di Cincin Api itu. Indonesia yang punya 130 gunung berapi itu karena berada di Ring of Fire,? terang Danang saat dihubungi Bernas, Senin (29/1).

Peristiwa paling aktual adalah gempa berkuatan 6,1 SR (skala Ricgter) berpusat Barat Daya Kabupaten Sukabumi dan perbatasan Lebak mengguncang keras wilayah Banten, Bogor, DKI Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Depok, hingga Cirebon, Selasa (23/1). Gempa datang lagi pada Rabu (24/1) yang dirasakan oleh warga di Jawa bagian barat berkekuatan 5,1 SR.

Dua gempa yang hanya berselang sehari itu berpusat pada tempat yang berdekatan di wilayah selatan Jawa. Gempa yang terjadi Selasa dan Rabu pekan lalu menandai aktifnya zona tektonik di kawasan tersebut. Gempa ini juga menjadi peringatan karena dampaknya bisa mencapai Jakarta.

Indonesia berulang kali dilanda gempa bumi hampir setiap tahunnya di beberapa daerah, yakni  Gempa Aceh disertai tsunami pada 2004, Gempa Nias 2005, Gempa Yogyakarta 2006, Gempa Bengkulu 2007, Gempa Padang 2009, Gempa Mentawai 2010 dan Gempa Tasik 2017. Gempa Banten, demikian sebutan untuk gempa yang terjadi pada 23 Januari 2018 ini.

Pertemuan Lempeng

Posisi georafis Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Gempa bumi yang terjadi di wilayah lepas pantai Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara disebabkan tumbukan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Sementara, gempa bumi yang terjadi di wilayah Maluku dan Irian dikarenakan tumbukan lempeng Pasifik dan Filipina.

Posisi Indonesia yang rawan bencana gempa karena berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar tersebut juga disampaikan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Mochammad Riyadi, M.Si. Ia menegaskan, tiga lempeng tektonik memang terus bergerak dan bertemu di Indonesia. Ditambah ada gesekan antarlempeng yang bisa menimbulkan energi.

“Nah, ini dipicu karena lempeng-lempeng itu tidak diam, melainkan terus bergerak sehingga ada pengumpulan energi. Ketika dia bertumbukan antara dua lempeng tadi, jadi ada ketemu kemudian saling bertumbukan, maka ada energi yang tersimpan,” terang Riyadi, Rabu (24/1).

Menurutnya, jika lempeng terus bergerak dan salah satunya tidak bisa menahan energi itu maka akan terlepas dan terjadilah gempa bumi. ?Itu yang di Indonesia. Jadi terlepas dari yang Cincin Api tadi. Di Indonesia seperti itu,” ujarnya.

Namun, Riyadi tidak sependapat jika gempa di Lebak, Banten ada kaitannya dengan kabar dan spekulasi Cincin Api Pasifik aktif kembali. Hal ini sekaligus menanggapi kabar dari UNISDR. “Belum tentu, karena di sana belum muncul ke sini. Belum ada kaitannya,” tegas Riyadi.

Gempa Megathrust

Pakar gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengungkapkan aktivitas tektonik di selatan Jawa makin memperlihatkan peningkatan. Keaktifan zona tektonik ini mengindikasikan tingginya potensi kegempaan. Peristiwa gempa yang terjadi di selatan Jawa tak lepas dari aktivitas tumbukan yang terjadi pada zona subduksi yang merupakan pertemuan dua lempeng tektonik, Eurasia dan Indo-Australia. Pergerakan lempeng Indo-Australia menekan lempeng Eurasia inilah yang biasanya memicu gempa di selatan Jawa.

Irwan Meilano mengungkapkan, dua kali gempa Banten itu dipicu karena gempa intraslab. Ada pertemuan lempeng yang patah. Bahkan, gempa intraslab berpotensi memiliki guncangan hingga 8 SR. Gempa bumi ini cenderung lebih sering terjadi. Meski kedalaman gempa sekitar 61 km dan magnitudonya kecil tapi jangkauannya luas. Dampak  gempa dapat diibaratkan seperti kerucut terbalik, sehingga semakin dalam pusat gempa, maka wilayah yang terkena dampaknya akan semakin luas. Tetapi, kekuatannya berkurang seiring cakupan wilayahnya yang luas.

Gempa itu merembet melalui kerak bumi. Hal itu pernah terjadi saat gempa Tasikmalaya pada Desember 2017. Getarannya dirasakan sampai ke Yogyakarta dan Lampung. Sementara, semakin dangkal pusat gempanya maka cakupan wilayah terdampaknya semakin sempit. Gempa ini disebut gempa megathrust.

“Beberapa gempa yang terjadi akhir-akhir ini menguatkan dugaan bahwa di bagian bawah lempeng subduksi ada yang patah di beberapa tempat,” terang Irwan.

Sedangkan ahli gempa bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaya,mengkhawatirkan semakin aktifnya zona tektonik di selatan Jawa. ?Meskipun lokasi sumber gempanya berbeda-beda, kalau dari aspek mitigasi bencana, yang harus paling diperhitungkan yang megathrust selatan Jawa,? ungkapnya.

Gempa megathrust merupakan gempa yang terjadi pada zona subduksi di batas lempeng di mana satu lempeng tektonik mendorong lempeng lainnya. Kemudian terjadilah subduksi dan menimbulkan getaran gempa. Hal ini menyebabkan salah satu lempeng akan bergerak turun sedangkan yang lainnya bergerak naik. Gempa ini hanya terjadi di batas lempeng yang dangkal, yang dekat dengan permukaan bumi sehingga dapat menghasilkan gempa yang sangat dahsyat hingga di atas 9 SR dan berpotensi tsunami.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan tiga titik yang menjadi celah utama lokasi prediksi gempa megathrust. Tiga celah tersebut di Barat Daya Mentawai, Barat Daya Selat Sunda, dan Selatan Bali. Tahun 2010 lalu, Mentawai dilanda gempa dengan kekuatan 7,7 SR.

Mitigasi Bencana

Yogyakarta pernah dilanda gempa bumi pada Mei 2006 dan memporak-porandakan wilayah DIY hingga Jawa Tengah. Banyak rumah-rumah ambruk dan ribuan korban meninggal dunia akibat runtuhan bangunan.

Kasie Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta, Danang Samsu, mengungkapkan dampak gempa memang berbeda-beda tergantung kekuatan gempa, kekuatan bangunan dan lainnya. Mengingat potensi gempa bumi di selatan Jawa bisa terjadi kapan saja, Danang mengungkapkan salah satu mitigasi yang perlu dilakukan adalah memperkuat infrastruktur. ?Ya kita perkuat strukturnya menjadi struktur yang tahan gempa,? ungkap Danang saat dihubungi Bernas, Senin (29/1).

Menurutnya, pembangunan rumah ataupun gedung-gedung pasca gempa Yogyakarta harus mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan dilakukan proses pengecekan rumah tahan gempa. ?Kalau rumah yang lama,bisa memperbarui IMB-nya atau mereka tanya kepada ahlinya apakah rumahnya itu tahan gempa atau tidak?,? sambung Danang.

IMB adalah produk hukum untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban, keamanan, keselamatan, kenyamanan, sekaligus kepastian hukum suatu bangunan. IMB ini diberikan oleh kepala daerahkepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

Kembali ke Titik Nol

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tak hanya mengejar kuantitas pembangun infrasktuktur tetapi juga memperhitungkan risiko bencana di Indonesia sehingga menghasilkan infrastruktur yang tangguh. “Kita tidak ingin hasil pembangunan yang telah susah payah kita capai, kembali ke titik nol karena terjadinya bencana,” ungkap Menteri PUPR Basuki Hadimuljono saat menjadi pembicara Talkshow Kesiapan Infrastruktur dan Transportasi dalam Menghadapi Risiko Bencana Hidrometeorologis di Gedung Auditorium BMKG, Jakarta, Jumat (26/1).

Dalam rilisnya, Basuki menyampaikan akan memperdalam kerjasama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Informasi BMKG tentang prakiraan cuaca dan bencana alam itu bermanfaat dalam pembangunan infrastruktur tangguh bencana.

Menteri Basuki mengungkapkan, pihaknya telah memiliki MoU dengan BMKG dalam penggunaan data risiko gempa di Indonesia yang berfungsi sebagai dasar perencanaan pembangunan gedung, jembatan dan bendungan. Semua data tersebut dibutuhkan untuk memastikan keamanan infrastruktur melalui berbagai upaya meminimalkan dampak kalau terjadi gempa bumi.

Kementerian PUPR sendiri pada tahun 2017 lalu juga telah mengeluarkan peta gempa yang terbaru, sebagai pemutakhiran atas peta gempa yang dirilis tahun 2010 yang memuat 81 sesar aktif pemicu gempa. Dikutip Harian Bernas, Senin (29/1), peta gempa 2017 telah berhasil diidentifikasi sebanyak 295 sesar (retakan pada batuan yang telah mengalami pergeseran) aktif yang tentunya akan mempengaruhi parameter desain dan konstruksi infrastruktur PUPR.

Antisipasi Gempa

Indonesia sebagai wilayah rawan gempa memerlukan kesiapan khusus untuk mengantisipasi dampak gempa bumi besar dan tsunami yang tidak dapat diprediksi kedatangannya. Belajar dari gempa Banten, banyak warga di wilayah Jakarta yang beraktivitas di gedung bertingkat melakukan evakuasi dalam kepanikan. Mereka berhamburan keluar dari gedung dan berkumpul di halaman, bahkan di jalan raya, sesaat gempa terjadi.

Kepanikan warga dengan berhamburan keluar gedung tersebut mengindikasikan bahwa kesiapan menghadapi kondisi darurat akibat gempa bumi belum maksimal. Padahal, gedung perkantoran di Jakarta mencapai belasan atau puluhan lantai. Banyak orang memilih berlari turun dari lantai atas saat terjadi gempa. Tindakan ini sebenarnya justru berbahaya.

“Karena untuk lari keluar, gempa itu hanya hitungan detik untuk robohkan rumah. Kemudian gedung bertingkat, kalau ada gempa kuat, jangan turun ke lantai. Mana bisa dalam waktu 10 sampai 20 detik mencapaiground, malah kita kejebak di tangga,” ungkap Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, Sabtu (27/1).

Menurutnya, hal yang perlu dilakukan adalah segera mencari perlindungan, yakni bisa kolong meja, kolong tempat tidur atau perabotan yang kuat. Lindungi juga kepala dengan tangan.

Hal yang sama juga disampaikan Kolonel (Mar) Bambang Suryo Aji, Direktur Operasi Basarnas. Menurutnya, dalam situasi gempa, tetap harus tenang. Rasa panik justru akan membuat gaduh dan tidak sigap melakukan sesuatu, apalagi saat terjadi guncangan. Jauhi dinding kaca atau lampu agar terhindari dari pecahan.

Bambang mengimbau tidak menggunakan lift saat terjadi gempa bumi. Penggunaan lift saat terjadi gempa malah berbahaya bagi keselamatan karena kondisi darurat bisa terjadi kerusakan sistem lift dan akhirnya terjebak. (mta)

Pentingnya Pendidikan Mitigasi Bencana di Sekolah

Gempa dahsyat sempat terjadi di wilayah Yogyakarta pada 27 Mei 2006 silam. Mengingat banyaknya korban yang meninggal dunia, maka dilakukanlah berbagai upaya mitigasi. Aktivitas lempeng tektonik memang tidak bisa diperkirakan dan bisa terjadi pergeseran, patahan, tumbukan sewakt-waktu dan mengakibatkan gempa bumi.

Gempa bisa terjadi saat para siswa sedang belajar di sekolah. Padahal ada ratusan anak ada sekolah. Amankah bangunan sekolah untuk anak-anak? Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta pun merespon potensi bencana dengan membentuk Sekolah Siaga Bencana (SSB) pada 2016 silam. Pelatihan mitigasi di sekolah dilakukan untuk jenjang SD dan SMP yang fokus pada jenis bencana gempa bumi. SSB disiapkan sebagai upaya mitigasi bencana di setiap sekolah. 

Kasie Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)Daerah Istimewa Yogyakarta, Danang Samsu, mengungkapkan untuk sekolah-sekolah yang hancur saat gempa Jogja 2006 silam sudah dibangun kembali dan sesuai standar IMB yang tahan gempa. ?Kalau untuk sekolah-sekolah yang baru itu sudah ada IMBnya, apalagi kemarin rusak karena gempa,? ujarnya saat dihubungi Bernas, Senin (29/1).

Ada sekolah-sekolah di Jogja yang sudah melakukan sosialisasi penanganan saat terjadi gempa bumi. Menurut Kepala Sekolah SMP Budi Utama Yogyakarta, Maria Rina Kurniasari, S.Si, sekolahnya sudah rutin melakukan sosialisasi mitigasi.

?Setiap tahun di awal tahun ajaran kami bekerja sama dengan Basarnas untuk simulasi evakuasi gempa,? kata Maria kepada Bernas dalam keterangan tertulis, Selasa (30/1).

Ia mengungkapkan dalam periode tiga bulan sekali diadakan simulasi evakuasi gempa secara mandiri. Kegiatan ini sudah dikoordinasi oleh bagian kesiswaan. Menurutnya, pihak sekolah juga mensosialisasikan jalur evakuasi dan titik kumpul secara periodik.

Meski demikian, belum semua sekolah di Yogyakarta mendapat sosialisasi mitigasi gempa bumi. Seorang guru di SD BOPKRI Wirobrajan mengaku murid-murid belum pernah mendapatkan sosialisasi mitigasi bencana gempa. Diakuinya, mitigasi itu baru diterima guru-guru saja di Unit Pelaksana Teknis (UPT) setempat. ?Belum. Baru gurunya di UPT,? kata Ana Tanti kepada Bernas, Selasa (30/1).

Menurutnya, sosialisasi seperti simulasi tanggap bencana di sekolah perlu dilakukan. Apalagi murid-murid saat masih belajar di kelas tentu akan panik.

Basarnas, BPBD, Dinas Pendidikan, maupun sekolah-sekolah masih memiliki ?PR? untuk melakukan simulasi. Tak cukup sekali atau dua kali, evakuasi utamanya saat terjadi gempa harus cepat dan sigap. Dengan demikian, bisa saja dilakukan simulasi setiap semester.  Sudah saatnya persoalan mitigasi bencana masuk dalam kurikulum pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga universitas. (mta)

Leave A Reply

Your email address will not be published.