Berita Nasional Terpercaya

Sejak Awal, Reklamasi Menuai Perdebatan. Ini Pandangan Pakar Antropologi

0

Bernas.id – Reklamasi Teluk Jakarta semakin kencang diperdebatkan lagi. Berbagai kebijakan pemerintah muncul, ada yang melarang, tetapi tak jarang melegalkan reklamasi. Rencana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Namun, sudah 10 tahun bergulir, reklamasi tersebut belum juga membuat semua pihak setuju. Berbagai pendapat mendukung dan menentang rencana reklamasi tersebut.

Reklamasi memang tidaklah hal baru untuk Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak 1980-an. Misal, PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara. Tahun 1981, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi.

Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda.

Ketika itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi pun sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU.

Tak hanya itu, sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu tenggelam diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota negara.

Saat itu, Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.

Muncul lagi rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain. Disahkannya Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Alhasil, dua kebijakan ini “menabrak” Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.

Sejak 1995 terjadi sengkarut aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan.

Tahun 2003, KLH menyatakan proyek reklamasi tidak bisa dilakukan Pemprov DKI karena tidak memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.

Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Lalu, Juli 2009, Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA, lalu mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.

Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi. Syaratnya,  Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003 dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta.

Tahun 2014, Pemprov DKI di era Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.

Dengan moratorium, Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta.

Kementerian Koordinator Kemaritiman meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi. Akhir September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik.

Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi. Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta.

Di sisi lain, muncul berbagai pendapat yang mendukung bahwa reklamasi berdampak positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara. Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi.

Dari segi sosial, Dosen Antropologi UGM, Drs Pande Made Kutanegara, MSi pun memberikan pendapatnya terkait reklamasi. ?Reklamasi itu mengubah aspek lingkungan sebuah masyarakat. Kalau di sana ada nelayan, (lingkungan ?red) nelayan pasti berubah.  Kalau di sana ada kelompok-kelompok lain, misal pedagang ikan, pengolah ikan, industri perikanan, dsd, pasti akan mengubah semua lingkungan itu. Karena itu, dampak aspek sosial akan sangat besar sekali. Akan memengaruhi hidup mereka. Aspek ekonomi akan berpengaruh, turunya pendapatan, meningkatnya cost yang harus dikeluarkan.  Aspek lain juga harus kita perhatikan karena begitu komposisi lingkungan berubah maka komposisi masyarakat juga akan berubah karena orang akan semakin jauh  ke laut, relasi sosial juga akan berubah di dalam keluarga dan komunitas,? paparnya kepada Bernas (1/11).

Dikatakannya, karena ada tekanan akan ada reklamasi, ketegangan sosial juga akan meningkat karena ada kelompok yang setuju dan tidak setuju sehingga di internal masyarakat tercerai berai. Hal-hal ini yang harus dilihat dan diperhatikan. ?Saya melihat Pemerintah pasti tidak hanya melihat aspek ekonomi semata seperti yang dibicarakan banyak orang, yang untung itu orang tertentu. Pasti ada persoalan-persoalan lain, misalnya banjir rob meningkat, dsb sehingga perlu ada jalan keluar. Perencanaan itu pasti ada plus dan minusnya, menambah ruang yang lebih baik. Barangkali, kalau saya lihat gambarnya sekilas, itu nanti akan menjadi daerah wisata baru, pengembangan baru sehingga  akan membawa wajah Indonesia,? tuturnya.

Menurut Drs Pande Made Kutanegara, MSi, terlepas dari semua itu, siapa berkepentingan dan sebagainya. ?Menurut saya,  kalau (reklamasi-red) diteruskan, yang perlu dilakukan adalah komunikasi yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Masyarakat juga harus paham bahwa kita akan mengalami perubahan terus-menerus. Yang lebih penting, melakukan pendekatan persuasif dengan masyarakat dan yang kedua, memberikan jalan keluar yang memungkinkan masyarakat yang menjadi korban (dalam tanda petik) justru mendapat peluang dan nilai tambah ke masa depan dengan memberikan peluang-peluang pekerjaan atau peluang2-peluang akses dengan kehidupan yang lebih baik. Misalnya, ketika harus pergi jauh, misalnya kalau bicara nelayan sampai muaranya jauh, berarti harus ada subsidi kepada mereka tentang transportasinya. Subsidi bukan dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk perbaikan kampung atau rumah sehingga hidup menjadi lebih baik. Reklamasi tidak selalu berdampak buruk karena secara teknis akan memberi ruang yang lebih kepada wilayah tertentu. Plus dan minusnya itu sangat kontekstual, konteks lingkungan setempat dan konteks masyarakatnya,? katanya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.