Berita Nasional Terpercaya

Komentar Cak Nun tentang Perbedaan Arsitektur Mesjid Era Dulu dan Sekarang

0

Bernas.id – Terkait riuhnya polemik praktik kebudayaan yang diduga berbalut keagamaan atau sebaliknya, Emha Ainun Najib atau akrab disapa Cak Nun menegaskan bahwa pertentangan antara kebudayaan dan agama itu mungkin hanya sekitar 5 sampai 7 persen di Indonesia.

“Kalau level mainstream bawah tidak masalah. Itu kan lahir karena adanya sejumlah submazhab Wahabi dan itu cirinya kesempitan berpikir seperti perusakan di Parangkusumo kemarin atau perusakan makam Ndoro Purbo,” kata Cak Nun dalam sarasehan budaya di pembukaan Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada, di ruang sidang Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Kamis 1 November 2018, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ia pun menyebut kejadian pertentangan-pertentangan agama dan kebudayaan itu hanya cuma model saja yang nantinya seperti meteor, melintas saja. “Cirinya kesempitan, pendek pikir, kedangkalan cara pandang. Selama ini NU dan Muhammadiyah tidak mengantisipasi dan menyiapkan fatwa,” ujarnya.

Di sisi lain, Cak Nun mengatakan tentang perubahan arsitektur mesjid dulu dan sekarang itu sebetulnya mencerminkan cara pandang masyarakat terhadap segala hal yang tentunya dipengaruhi arus besar pemikiran yang ada saat itu. “Itu juga tergantung gelombang mainstream dari internasional yang masuk apa. Kalau lihat masjid di daerah-daerah, betul-betul Arab. Dalam arti, bukan arsitekturalnya, memang yang ngasih orang Arab dan mereka mewajibkan harus seperti itu. Itu kan sudah soal proyek,” katanya.

“Kalau yang saya gelisahkan, arsitektur modern itu tidak mempertimbangkan ekologi manusia. Jadi, kalau orang bikin mesjid dulu, misal Mesjid Gede, Kauman itu mempunyai perhitungan spiritual, perhitungan psikologis, dan perhitungan ekologis,” imbuhnya.

Cak Nun mengilustrasikan kalau ada orang ingin masuk Mesjid Gede dari alun-alun atau dari mana maka akan dibimbing dulu oleh alur arsitektur supaya hatinya itu pelan-pelan ditata supaya begitu masuk mesjid, hatinya sudah siap. “Maka ada lorong panjang dan ada beranda sekian lapis. Itu semua adalah transisi dari situasi kultural dan spiritual,” ujarnya.

“Yang terjadi di Indonesia sekarang bukan soal kekalahan dan kemenangan, yang terjadi adalah kekalahan umat manusia, khususnya umat Islam sendiri untuk terombang-ambing oleh tren-tren berpikir. Dan mereka tidak pernah mendasar. Arsitektur juga tidak pernah mendasar. Maksudnya, dia berkomposisi dan berharmoni dengan bumi pun tidak, jangankan berkomposisi dan berharmoni dengan jiwa manusia,” imbuhnya.

Arsitektur mesjid sekarang, polanya itu hanya kasat mata, misal bentuknya begini, catnya begitu, dan cahayanya di sini. “Jadi, mereka itu sangat materialistik,” katanya.

Ia pun meyakini arsitektur mesjid zaman dulu itu sangat ada perhitungan ekosistemiknya, baik alam maupun manusia, termasuk alam dan manusia. “Kalau orang-orang dulu, tahu bahwa mereka tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi kalau orang sekarang, alam itu hanya menjadi alat yang dia eksploitisir, jin dianggap tidak ada, malaikat dianggap tidak ada. Akhirnya mereka ngawur merusak bumi,” tuturnya.

Ia pun bertanya, kenapa Majapahit tidak punya bekas kerajaan karena kerajaan-kerajaan kita itu dulu tidak materialistik. “Mereka tidak ingin kemegahan, mereka ingin fungsi. Yang mereka ingin wariskan adalah nilai,” ucapnya.

“Itulah kenapa Indonesia merasa inferior karena merasa tidak mempunyai masa silam, merasa tidak mempunyai kemegahan. Terus kita jadinya tertarik untuk mengikuti Barat, jadi ekornya Barat dan sekarang sebagian orang Islam jadi ekornya Arab,” pungkasnya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.