Berita Nasional Terpercaya

Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945?

0

SLEMAN, BERNAS.ID- Dewan Guru Besar UGM bekerjasama dengan Gerakan Kebangkitan Indonesia mengadakan bedah buku “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945” di Balai Senat UGM, Rabu 14 Maret 2019.

Prof Koentjoro, Ketua Dewan Guru Besar UGM mengatakan UGM akan tetap mengawal apa yang menjadi jati diri UGM sebagai Universitas Pancasila bisa teraktualisasi. “Sejak SPMB, mahasiswa bukan hanya mengenal Pancasila, juga diperkenalkan sebagai warga UGM yang mau berinteraksi dengan warga Jogja, serta mau melawan radikalisme dan narkoba,” jelasnya, Rabu 13 Maret 2019.

Setelah kuliah, Prof Koentjoro pun menyebut mahasiswa akan mendapatkan nilai-nilai kebangsaan sehingga saat bekerja tidak akan korupsi.

Sedangkan, Jenderal TNI (Purn) Agustadio Purnomo, SIP dari Gerakan Kebangkitan Indonesia mengatakan sebuah bangsa harus punya ketahanan nasional untuk menerima hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk di percaturan globalisasi. “Di era globalisasi, ada Survival of The Fittest, yang kuat akan hidup, yang lemah punah. Globalisasi mempengaruhi kehidupan masa sekarang ini,” ujarnya.

Di dalam era globalisasi, ia menyebut perang jenis baru atau Proxy War, sebuah perang yang tidak memerlukan kekuatan senjata. “Kita perlu cermati, pahami, dan waspadai, lalu kita jinakkan. Kalau kita mengabaikan, kita akan dijajah bangsa lain,” ucapnya.

“Dalam proxy war itu, bangsa yang kuat itu membawa manusia, teknologi, dan modal, lalu melaksanakan penjajahan yang tidak kelihatan melakukan hegemoni,” imbuhnya.

Dalam era Reformasi, Jenderal TNI (Purn) Agustadio mengatakan ada amandemen empat kali UUD 1945 yang tergesa-gesa dan mengubah total. “Ada campur tangan asing. Dekrit presiden belum dicabut, sudah diubah lagi. Bertentangan dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945,” katanya.

“Untuk mengubah UUD 1945, harus ada referendum. 197,3 persen berubah, misal pasal penjelasan dihilangkan, penjelasan dari batang-batang tubuh, lalu lahirlah UUD tahun 2002 dengan sistem pemerintahan yang kurang jelas, mau parlemen atau presidensial,” imbuhnya.

Untuk itu, ia menyebut perlunya upaya konstitusional kembali ke ideologi sendiri Pancasila dan kembali ke sistem perwakilan karena sudah banyak dilakukan kajian oleh forum-forum akademisi agar kembali ke UUD 1945 karena ibarat baju, UUD 2002 sudah tidak sesuai sehingga perlu dipermak dahulu. “Tata kelola negara menyimpang dari UUD 45 dan Pancasila. Ada cacat hukum UUD 2002. Ada perubahan sistem pemerintahan dan nilai-nilai kebangsaan kita,” ujarnya.

Dengan adanya bedah buku ini, Jenderal TNI (Purn) Agustadio berharap nurani dan pikiran para cendekiawan, akademisi, mahasiswa sebagai agen perubahan mampu menggerakkan kekuatan besar untuk memurnikan kembali UUD 1945.

Sementara itu, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X berceloteh bahwa dirinya tidak akan berkomentar tentang kembali ke UUD 1945, bahkan selama membuat materi makalah untuk keynote speaker bedah buku ini merasa susah untuk memilih kata-kata karena sudah bersumpah kepada Presiden agar melaksanakan konstitusi yang berlaku di seluruh Indonesia. 

“Saya tidak mau berbicara benar atau tidak, membandingkan UUD yang lama atau yang baru. Saya serahkan ke akademisi agar tidak dituduh mengkhianati konstitusi,” katanya.

Namun, Sultan bercerita bahwa Pancasila sebagai dasar negara lahir ditengah tekanan penjajah dan Pancasila bukan hanya dasar negara, tapi melekat pada jati diri bangsa. “Namun, saat ini ada ancaman laten yang memimpikan khilafah dan memimpikan menghidupkan Piagam Jakarta, bahkan marak gerakan masif dengan ideologi transnasional yang bukan berakar pada Kebhinekaan Tunggal Ika dari Ibu Pertiwi,” bebernya.

Untuk membentuk NKRI, Sultan mengatakan bangsa ini memerlukan suatu visi yang melampaui tata nilai keanekaragaman, yaitu Pancasila. “Bangsa yang tidak memahami sejarah seperti wayang kulit yang tidak bisa berdiri tegak. Dalam sidang PBB, Soekarno mengatakan semua bangsa memerlukan nilai-nilai bangsa dan konsepsi. Jika nilai-nilai suram, akan sulit mewujudkan cita-cita,” urainya.

“Jangan salahkan anak millenial merumuskan versi nilai-nilai bangsa menurut versi mereka. Untuk itu diperlukan rumusan yang jelas dari Pancasila, misal dari sisi What is, Pancasila itu apa? What for, Pancasila untuk apa? dan, How to, Pancasila sebagai kaedah penuntut dan motor penggerak kehidupan berbangsa dan bernegara,” tandasnya. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.