Berita Nasional Terpercaya

Kurikulum Agama Harus Ditinjau Secara Radikal

0

SLEMAN, BERNAS.ID- Persoalan-persoalan intoleransi sudah diprediksi oleh para pendiri bangsa Indonesia. Jauh-jauh hari, para pendiri bangsa sudah mencari situs-situs bersejarah yang bisa monumental dijadikan pilihan pijakan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyebutkan salah satu buktinya yaitu falsafah Bhinneka Tunggal. “Indonesia itu punya kekuatan keagamaan yang kuat dan multikultural dengan syarat menjaga kebhinekaan dengan toleransi sebagai perekat atau semennya,” katanya ketika memberikan arahan dalam kegiatan ?Memperkuat Peran Auditor dan Pengawas Sekolah Dalam Mempromosikan Toleransi dan Multikulturalisme di Sekolah? di P4TK Matematika Yogyakarta, Condongcatur, Sleman, Senin 25 Maret 2019.

Mendikbud mengatakan kalau toleransi ingin dimasukkan dalam kurikulum maka pendidikan agama harus ditinjau secara radikal karena orientasinya serba pengetahuan dan deterministik, yaitu intinya agama yang dianut seorang siswa itu paling benar.

“Kalau toleransi mau dimasukkan ke kurikulum, kita harus meyakinkan agama yang dianut benar, tapi di saat yang sama, ada juga anak lain yang menganut agama lain juga meyakini agamanya benar,” imbuhnya.

Ia menyebut ruang kesadaran itu harus dibenahi secara menyeluruh agar pemahaman siswa tentang agama tidak menjadi sempit.

Sedangkan, Guru Bangsa, Buya Syafii Maarif bercerita sekitar 65 tahun yang lalu pada tahun 1963, keluar buku berjudul “Civilization on Trial in the World and West” karangan Arnold Toynbee.

Lalu, pada halaman 254, Arnold Tonybee menyinggung Islam dengan universal brotherhood atau persaudaraan universalnya. “Toynbee menyebut itu kekurangan Barat, nasionalisme yang tak terkontrol menjadi patriotisme sempit yang memecah manusia. Harusnya Barat meniru tradisi Islam itu,” katanya.

Buya juga mencontohkan ayat di Quran pada Al Hujurat ayat 13 yang intinya mengatakan bahwa perbedaan atau keragaman multikulturalisme bisa menjadi kekuatan untuk membangun perumahan kemanusiaan kita dengan saling berbagi dan menolong. “Namun saat ini, kaum kita mudah marah, tidak stabil, mudah meneror, dan menang sendiri apalagi saat ini dibangun teologi kebenaran tunggal yang tidak sesuai dengan Al-quran,” ujarnya.

Buya mengatakan dampaknya saat ini umat Islam berkeping-keping, berperang atas nama Tuhan seperti di Suriah, Libia, dan Afghanistan dengan saling menembak saudaranya sendiri atas nama Tuhan. “Ini krisis yang berat, untuk penyembuhan tidak mudah. Banyak orang yang mengaku beriman, dengan imannya itu dipakai untuk meruntuhkan pilar-pilar kemanusiaan,” tuturnya.

Ia mengatakan imannya itu bukan untuk membangun peradaban, tapi menyebarkan malapetaka. (jat)

Leave A Reply

Your email address will not be published.