Berita Nasional Terpercaya

Menagih Janji para Pemimpin

0

SETELAH Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Calon Anggota Legislatif (Pileg) 17 April 2019 lalu dilaksanakan serentak, kini seluruh rakyat sedang menantikan selesainya rekapitulasi real count oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil lengkap real count akan digunakan untuk menentukan pasangan capres dan cawapres mana yang menang dan siapa caleg yang akan menduduki kursi parlemen periode 2019-2024.

Jauh sebelumnya, KPU telah menetapkan 20 partai termasuk 4 partai lokal, dua pasang capres-cawapres, 7.968 caleg serta 907 calon DPD, kontestasi dimulai (news.detik.com). Masa kampanye yang panjang memberi kesempatan kepada para calon untuk menyampaikan visi dan program-programnya. Saat kampanye, para calon menjual gagasan dan saat pemilu rakyat membeli gagasan, dengan mencoblos jago pilihannya. Dengan slogan, jargon atau yel-yel para calon menjual ?dirinya?.

Untuk meyakinkan pemilih, tak jarang mereka melakukan blusukan ke tempat-tempat yang tidak biasa dijangkau sebelumnya. Masa kampanye sendiri telah lewat, tetapi justru mulai saat ini, substansi janji kampanye perlu ingat kembali.
Janji kampanye sudah dibeli para pemilih, tinggal menunggu realisasi. Waktu lima tahun ke depan bisa dikatakan sebagai masa yang cukup untuk mewujudkan. Selama periode tersebut para pemimpin yang terpilih diberi kesempatan merealisasikan janji. Para pemimpin harus bisa menjaga stamina untuk tetap bersemangat memenuhi janji, konsekuen dan konsisten.

Kenyataannya, pemimpin tidak dapat steril dari gangguan dan godaan yang dapat membuat lunturnya rasa tanggungjawab, dan justrutumbuh niat-niat tidak jujur, tidak baik,  serta ketidaktulusan lainnya. Jelas ini merupakan perilaku tidak terpuji, ingkar janji dan tidak etis. Salah satu sebab terjadinya inkonsistensi ini adalah munculnya kepentingan pribadi (self interest).

Kepentingan Pribadi
    

Dalam Cambridge Dictionary, kepentingan pribadi (self interest) diartikan sebagai tindakan ketika membuat keputusan dengan mempertimbangkan keuntungan bagi diri sendiri dan memutuskan hal terbaik bagi diri sendiri. Kepentingan pribadi sinonim dengan egois. Kepentingan pribadi melekat pada setiap orang. Ada kepentingan pribadi yang besar dan ada yang kecil. Ada yang mendesak ada yang dapat ditangguhkan. Kepentingan pribadi dapat menyelinap, membesar dan membuntuti di dalam pemikiran atau keputusan seseorang.

Dalam diri pemimpin, ketika (seharusnya) berpikir dan bekerja untuk kemajuan dan kesejahteraan orang lain tetapi kemudian muncul kepentingan pribadi, maka yang terjadi adalah konflik kepentingan. Setiap pemimpin harus memiliki kecakapan mengelola konflik kepentingan ini. Pemimpin yang dikendalikan kepentingan pribadi akan menjadi egoistik. Sudah pasti, yang akan dikorbankan adalah kepentingan umum.

Janji kampanye dikemas secara manis, indah dan menarik. Pilihan kata dan rangkaian kalimat dibuat agar menarik dan menjadi suara(vote). Tentunya, janji tersebut disampaikan secara sadar dan sudah dipikirkan secara mendalam. Janji tersebut harusnya sudah mempertimbangkan urgensinya bagi masyarakat umum. Selain itu, tentu janji sudah diukur dengan kemampuan dan kapasitas diri dalam mewujudkan. Apakah kapasitas diri, sumber daya dan waktu tersedia cukup atau tidak.

Di sisi lain, janji harus dilunasi dan direalisasi. Terkait dengan dorongan untuk menepati janji ini, Ricoeur seperti dikutip Haryatmoko (2015), menggunakan istilah ?identitas naratif?. Dalam hal ini, kemampuan menepati janji merupakan identitas yang lebih tinggi karena meskipun ada perubahan-perubahan, masih tetap bisa diandalkan. Pada titik inilah integritas pemimpin dipertaruhkan. Integritas merupakan menjadi pondasi konsistensi seseorang. Dikatakan berintegritas ketika, apa yang (telah) diucapkan atau dijanjikan itulah yang diwujudkan.

Gagal beretika

Di antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama (umum) terdapat etika. Etika menjadi filter tentang apa atau siapa yang akan dipenuhi kebutuhannya. Siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan. Kesungguhan untuk memenuhi janji merupakan sebuah perjuangan mempertahankan integritas, perjuangan menjunjung tinggi etika publik. Etika berada di mana-mana. Etika berada di balik setiap pilihan-pilihan, baik personal maupun politis, atau menjembatani perbedaan dari dua hal. Terkadang, etika datang dengan mudah dan alami, di saat lain datang dengan berat. Kadang-kadang etika datang mengganggu kita (Singer, 1983).Terjadinya pelanggaran etika dengan pengingkaran terhadap janji-janji politik (political promises) jelas-jelas menunjukkan perilaku tidak berintegritas, tidak etis. Kegagalan beretika ini berdampak luas bagi orang lain. Kemajuan tidak terwujud, kekecewaan, ketidakpercayaan, sampai apatisme.
    
Pemimpin diikuti, diyakini dan dipercaya karena integritasnya. Namun, realitasnya, tidak sedikit pemimpin yang mencederai kepercayaan orang lain, yang bertindak tidak dilandasi integritas.Sehingga, yang terjadi adalah penolakan atau ketidakpercayaan kepada pemimpin. Lurus atau tidaknya pemimpin tidak hanya ditentukan oleh kapabilitas  dirinya semata. Kepemimpinan tidak terjadi dalam ruang kosong, tetapi dalam sebuah konteks.Memang, penentu akhirnya adalah kapasitas pemimpin itu sendiri. Beretika atau tidaknya seorang pemimpin dipengaruhi oleh interaksi tiga faktor, yaitu pemimpin, pengikut, dan lingkungan, serta ada atau tidaknya pemicu (Chandler, 2009). Tiga faktor ini disebut juga sebagai segitiga beracun (the toxic triangle), yaitu ketika berinteraksi satu dengan lainnya kemudian dapat menyebabkan seorang pemimpin bersikap tidak etis atau bahkan destruktif (Padilla, 2007). Jadi, sikap tidak etis pemimpin merupakan sebuah potensi.
    
Faktor pemimpin, berkaitan dengan situasi intra dan interpersonal pemimpin sendiri. Dalam diri pemimpin tergambar nilai yang diyakini, seberapa orientasi pada diri dan orang lain, bahkan dipengaruhi pula oleh pengalaman masa lalunya. Faktor pengikut adalah berkaitan dengan kondisi pengikut, konsep diri pengikut, nilai diri pengikut. Aneka macam sifat pengikut yang dapat mendukung terjadinya perilaku tidak etis atau destruktif pemimpin, baik secara pasif maupun aktif. Sedangkan faktor lingkungan terkait dengan situasi eksternal, di luar relasi pemimpin-pengikut. Dalam hal ini juga menyangkut nilai atau budaya yang berlaku, ketersediaan sistem aturan, dan mekanisme pengawasan. Namun, di atas itu semua perilaku etis, tetap bermakna reflektif, bukan sekedar pemenuhan terhadap peraturan normatif. Dalam situasi ini, setiap pemimpin ditantang untuk menjadi pribadi yang ?sudah selesai dengan dirinya?, yang tidak lagi kawatir dengan ?nasib? dirinya.
    
Di balik kursi jabatan adalah integritas dan etika. Bagi pemenang kontestasi dan para legislator yang akan lolos ke parlemen, diharapkan segera mempelajari kembali visi, misi, slogan, jargon serta janji-janji yang sudah (terlanjur) diucapkan. Janji-janji tersebut harus mulai dikaji, dirinci, dan dirumuskan bagaimana segera merealisasikannya. Kemampuan, sarana, dan cara-cara apa saja yang diperlukan. Janji-janji yang dulu diucapkan itu sekarang sudah berubah menjadi amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Janji-janji itu tidak bisa diganti, dikurangi apalagi dilupakan. Tidak boleh lagi ada yang akhirnya hanya bisa gigit jari. (Ignasius Triyana, Dosen Kepemimpinan di ASMI Santa Maria Yogyakarta, Sekretaris ISKA DPD DIY, aktif di bidang sosial kemasyarakatan)

Leave A Reply

Your email address will not be published.