Berita Nasional Terpercaya

Penetapan Upah Minimum DIY, KSPSI Tolak Penggunaan PP 78

0

YOGYA, BERNAS.ID-Merespons penetapan UMK Kabupaten-Kota dan UMP DIY 2020 yang masih dinilai rendah karena sebatas berpatokan pada PP 78, Konferensi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY menggelar aksi di depan Kantor Gubernur DIY dan titik nol, Kamis (31/10/2019). Belasan buruh tersebut menyuarakan penolakan Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY yang akan diumumkan 1 November 2018.

Irsyad Adi Irawan Koordinator Aksi mengatakan pihaknya menilai besaran UMP yang bakal disahkan yakni Rp 1.570.992 belum memenuhi ekspektasi para buruh DIY. Menurut dia, apabila nantinya diumumkan Pemda dinilai tidak berusaha mewujudkan tujuan keistimewaan DIY. Ia menjelaskan aksi ini untuk mengawal Gubernur agar tidak menetapkan UMK dan UMP DIY menjadi yang paling rendah se-Indonesia.

“UMP DIY saat ini paling rendah,” ujarnya.

Rendahnya upah minimum ini kata dia, berbanding lurus dengan tingginya angka kemiskinan, tingkat ketimpangan ekonomi, tingkat pendidikan dan indeks Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). 

“Biaya pendidikan selalu naik sementara upah minimum cuma mengikuti inflasi,” katanya.

Jika berpatokan PP 78, maka kenaikan UMK dan UMP setiap tahun hanya mengikuti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sementara upah minimum di DIY pada dasarnya memang sudah rendah, sehingga jika hanya berpatokan pada regulasi itu selamanya akan selalu terendah di Indonesia.

Menurutnya, berdasarkan UU Ketenagakerjaan, seharusnya Pemda menetapkan kenaikan UMK dan UMP berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Pihaknya telah melakukan survei KHL di lima Kabupaten-Kota se-DIY dan menemukan selisih cukup besar dengan UMK yang telah ditetapkan.

Berdasarkan surveinya yang mengacu pada Permenakertrans No.13/2012, didapati KHL Kota Jogja sebesar Rp2,7 juta, Sleman Rp2,6 juta, Bantul Rp2,5 juta, Kulonprogo Rp2,5 juta dan Gunungkodul Rp2,5 juta. 

“Jika dibandingkan besaran UMK, buruh di DIY rata-rata  mengalami defisit sebesar Rp925.993,” ungkapnya.

Sebelumnya KSPSI DIY juga telah beraudiensi menyampaikan hasil survei ini kepada DPRD Kota Jogja, DPRD Sleman, DPRD Bantul dan DPRD DIY. Tetapi menurutnya, audiensi itu tidak memberi hasil signifikan karena anggota dewan hanya menampung tapi tidak responsif.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Niaga Bank dan Jasa, Patra Jatmika, mengatakan selain menolak PP 78 sebagai landasan penetapan upah minimum, ia juga mengajukan sejumlah tuntutan lain diantaranya menerapkan upah minimum sektoral, subsidi pendidikan hingga perguruan tinggi bagi anak buruh, dan mengawasi struktur dan skala pengupahan di DIY.

“Angka putus sekolah di Jogja juga tertinggi, di media disebutkan 1.232. Maka kami mendorong adanya beasiswa bagi anak buruh yang berserikat. Sebab banyak anak-anak anggota kami yang tidak bisa mengenyam bangku kuliah,” katanya. (den)

Leave A Reply

Your email address will not be published.