Berita Nasional Terpercaya

Dwi Ratna Nurhajarini: Sejarah Harus Menginspirasi Bangsa

0

YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Banyak kisah sejarah yang luput dari perhatian masyarakat sehingga hilang begitu saja tanpa sempat diambil makna dan pelajarannya. Padahal, banyak sekali kisah heroik yang terjadi di kalangan rakyat masa perjuangan yang belum diidentifikasi dan didokumentasikan.

Untuk itulah, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) mencoba membuka diri dan memfasilitasi kegiatan kreatif. Terutama dari generasi muda, apalagi yang menyangkut inventarisasi sejarah dan kebudayaan.

Kepala BPNB, Dra Dwi Ratna Nurhajarini, M.Hum, menyampaikan hal itu usai membuka acara nonton bareng dan diskusi film ?Paintings of War: Agression in the Eyes of Children? di nDalem Jayadipuran, Jum?at (29/11/2019).

Ratusan penonton memenuhi Pendopo Joyodipuran berasal dari generasi muda yang sangat menentukan wajah dan karakter bangsa pada masa depan. Mereka antara lain Saka Widya Budaya Bhakti, SMA/SMK, mahasiswa, komunitas film, MGMP sejarah dan seni serta beberapa komunitas peduli sejarah.

Program BPNB yang meliputi tiga provinsi: Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, berkaitan kajian dan internalisasi nilai sejarah dan budaya.

?Secara berkala kami mengadakan lawatan sejarah, terutama di luar tema-tema politik,? kata Dwi Ratna Nurhajarini.

Hal itu penting agar cakrawala generasi muda lebih luas. ?Sehingga berperan membentuk karakter dan ketahanan budaya lokal,? paparnya.

Selain itu, pihaknya juga penelitian ke beberapa tempat yang pernah menjadi pilar sejarah, seperti perkebunan, pabrik gula, sanggar seni dan lain-lain.

Dalam menggerakkan program itu, BPNB berkoordinasi dengan institusi daerah seperti Dinas Kebudayaan, misalnya dalam program lawatan sejarah dan budaya yang melibatkan pelajar, pembuatan film sejarah dokumenter.

Film dokumenter Paintings of War karya Agustinus Dwi Nugroho ini, merupakan kerja bersama Montase, Dictiart dan Museum Dullah.

Dikatakan Ratna, BPNB mempunyai tanggung jawab moral untuk menyediakan referensi bagi generasi penerus. ?Dengan mempelajari dan mengembangkan seni, tradisi, budaya dan sejarah, mereka tak tercabut dari jatdiri dan identitasnya? katanya lagi.

Nonton bareng dan diskusi film merupakan salah satu program Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) untuk menyediakan ruang kreatif agar sesama komunitas bisa saling menginspirasi.

Program itu untuk menghidupkan pendopo Joyodipuran untuk proses kreatif. Dan film ini mengisahkan lima bocah pelukis didikan Dullah. Mereka adalah Mohammad Toha (11 tahun), Muhammad Affandi (12), FX. Soepono (15), Sri Suwarno (14) dan Sarjito (14).

Kelimanya digembleng Dullah di Yogyakarta pada masa revolusi. Selain sarat pesan moral dan pendidikan karakter yang amat penting bagi generasi muda bangsa, film ini juga merupakan bukti dan karya nyata generasi penerus bangsa.

Kepala BPNB berharap, mereka bisa bergandengan tangan memajukan budaya Indonesia dengan kreatifitas yang dimiliki.

Narasumber yang juga dosen ISI, Dr. Mikke Susanto, MA, menjelaskan, peranan Dullah dalam film dokumenter tersebut.

?Masa kecil Dullah ibarat salah satu isi kotak pandora merupakan irisan yang dinamis, unik sekaligus misterius,? kata Mikke Susanto.

Lahir pada 19 September 1919 dari strata sosial rendah, tetapi kisah hidupnya jauh melampaui kisah sejarah seni di Indonesia.

Kurator lukis ini menambahkan, naluri seni Dullah turun dari sang ibu yang suka dengan dunia sastra dan seni.

Selama periode 1942-1945, Dullah menemukan jalan hidup di Jakarta dan menemukan tumbuh kembang seni lukisnya.

?Saat ibukota pindah ke Yogyakarta 1946-1949, Dullah menjadi pelukis Istana Kepresidenan,? kata Mikke yang menambahkan dia sering dipanggil Bung Karno di Gedung Agung.

Puncaknya, antara 1950-1960 Dullah tak bisa lepas dari dinamika seni kepresidenan.

Mikke mengatakan, film ini merupakan artefak sejarah yang amat penting untuk menampilkan sisi lain sejarah era kemerdekaan.

Keberanian lima pelukis dan masih sangat muda dalam melakukan kreatifitas yang sangat berisiko ini, sungguh menginspirasi. ?Anak-anak ini berani melukis saat perang yang sangat menakutkan tengah terjadi,? tandasnya.

Mereka berani berkarya yang dampaknya lintas zaman hingga bisa kita nikmati sampai detik ini.

Sutradara film dan dosen muda ISI Yogyakarta, Agustinus Dwi Nugroho, menjelaskan latar belakang pembuatan film.

Selama masa Agresi Militer II Belanda, ada sekelompok anak yang berusaha mendokumentasikan peristiwa tersebut dengan medium lukisan.

?Dalam situasi genting dan krisis, anak-anak mampu melukis peristiwa dalam kanvas-kanvas kecil secara on the spot,? kata Agustinus Dwi Nugroho.

Dari kelima pelukis yang menjadi tokoh dalam film ini, meskipun paling muda, Toha yang paling produktif. Mereka dididik Dullah di Sanggar Seniman Indonesia Muda. (fan)

Leave A Reply

Your email address will not be published.